Kala angin sore berembus lebih kuat melalui jendela kamar yang terbuka, Amaya mengencangkan cardigan hitam yang dikenakan. Dia menarik cairan di hidung, merasa agak sumbat karena terserang flu setelah semalam tertimpa hujan deras bersama Shankara.
Amaya sedikit mencondongkan tubuh ke depan, menumpu badan dengan siku di atas meja belajar, perlahan, dia menarik kaca jendela agar turun. Durasi menghirup udara sore sudah cukup, pikirnya.
Atensi gadis itu beralih ke ponsel yang berada di sebelah laptop. Terlihat jelas ada pesan baru masuk yang dikirim oleh Shankara.
Amaya, aku enggak bisa belajar sama kamu hari ini. Soalnya aku lagi enggak enak badan.
Setelah membalas hanya dengan emoji ibu jari, Amaya kembali meletakkan ponsel ke tempat semula. Dia menarik kedua kaki ke atas kursi, meletakkan lengan di atas lutut, kemudian menutup mata sambil menyandarkan kepala ke belakang.
"Jangan mati ...."
Amaya mengerutkan kening kala mengingat apa yang dikatakan Shankara malam tadi. "Sebenarnya, apa yang udah pernah terjadi sama dia? Setelah dia berhenti nangis, dia cuma diam tanpa kasih penjelasan apa pun. Sekarang, dia juga kayaknya lagi coba menghindar dari saya. Apa saya coba jenguk aja, ya? Tapi, saya enggak tau di mana rumahnya," ucapnya setelah membuka mata.
Helaan napas keluar dari bibir mungil Amaya. Dia meletakkan kepala ke lutut, menoleh ke kanan, lalu melihat bingkai foto yang terpajang di sana, seorang gadis berseragam putih dan biru tengah memegang piala juara tiga olimpiade matematika dengan latar tempat sebuah gedung sekolah di belakangnya.
Karena merasa sedikit pusing, gadis itu terpejam perlahan. Seakan-akan tanpa diminta, ingatan tentang masa lalu berputar sangat apik di pikiran Amaya saat langit mulai bercampur warna dengan rona jingga yang indah.
Seorang gadis berusia empat belas tahun berdiri di ruang tamu bercat putih itu. Terlihat mata cantik tersebut berlinang, menahan kuat agar air yang dibendung tidak turun, bahkan bisa tampak jelas piala yang dibawa digenggam cukup erat dalam pelukan.
Bibir mungilnya bergetar hebat sampai gigi terpaksa menggigit agar tidak mengeluarkan suara. "Apa yang udah terjadi?" tanyanya kepada seorang wanita paruh baya yang berdiri tidak jauh dari televisi yang berada di tengah ruang tamu, berjarak beberapa meter di depan sosok berseragam sekolah menengah pertama tersebut.
"Amaya, dengar. Ini salah paham!" teriak wanita itu, lantas membuang ke sembarang arah pisau dapur di tangan yang sudah berlumuran darah.
Gadis yang dipanggil Amaya itu menjatuhkan piala dalam pelukan begitu saja. Dia membekap mulutnya sendiri dengan kedua tangan, kemudian mundur beberapa langkah ketika wanita dengan rambut kusut di sana mulai mendekat.
Amaya berkedip sekali, membuat bulir air turun dari mata indah itu. Dia menarik turun tangannya yang bergetar, menjauhkan dari mulut, lantas berkata lirih, "Mama udah bunuh papa dengan pisau itu ...."
"Eng-Enggak, Amaya! Bukan itu yang terjadi!"
Wanita paruh baya di sana berlari mendekati sang anak tunggal dengan sedikit pincang karena lutut yang berdarah, melewati raga seorang pria tidak bernyawa yang tergeletak dengan berlumuran darah pada bagian perut di depannya beberapa saat lalu. Dia memegang bahu ramping Amaya dengan tangan bernoda cairan kental merah itu, membuat seragam putih yang dikenakan Amaya kotor dengan penuh aroma amis menguar.
"Amaya, ini enggak seperti yang kamu pikir," ungkap wanita berambut kusut dengan sudut dahi yang tergores itu seraya menangis tersedu-sedu.
Sosok cantik berpenampilan semrawut itu meluruhkan tubuh, seakan-akan energi terkuras bersamaan dengan air mata yang turun. Dia menggenggam tangan mungil Amaya yang masih terus bergetar.
"Mama enggak sengaja, Amaya. Papa terus pukul dan siksa mama karena semua uang yang dia pakai untuk inventasi dibawa lari sama temannya. Mama hanya membela diri, Amaya. Mama enggak salah ...." Wanita itu tertunduk lemah, pundak kurusnya terus naik dan turun, mengikuti tarikan napas yang semakin terdengar menyakitkan setiap kali tangis tersebut masuk ke telinga Amaya.
"Mama harus ke kantor polisi sekarang," tutur Amaya sambil duduk bersimpuh di depan sang ibu.
"Ma-Mama harus jelasin semua ke kantor polisi kalo ini kesalahpahaman," imbuhnya, kemudian memegang bahu wanita paruh baya di sana.
Sang ibu mengangkat wajah, menatap Amaya, lantas tertawa getir. "Ke kantor polisi? Kamu mau mama dipenjara?"
Wanita itu menepis kuat tangan Amaya yang ada di bahunya sampai sang empu meringis pelan. "Bisa-bisanya kamu bilang hal bodoh kayak gitu di waktu seperti ini!" Lanjutnya, lalu menjambak rambut lurus Amaya yang tergerai.
"Aduh, Ma! Tolong lepasin! Sakit ...," rintih Amaya, lalu mencoba memegang pergelangan tangan sang ibu agar melepaskan cengkeraman di rambutnya.
"Ini semua karena kamu, Amaya! Kamu seharusnya sadar itu! Kehadiran kamu hanya bencana dalam hidup mama. Andai kamu enggak ada di janin mama dulu, mungkin mama enggak perlu menikah dengan lelaki seperti papamu itu, dan berakhir seperti ini sekarang!" Ibu Amaya mengoceh frustrasi dengan terus membawa jambakannya ke kanan dan kiri.
"Ma, maafin Amaya. Maaf ...." Amaya terpaksa berdiri karena sang ibu yang sudah membawanya secara paksa ke meja yang berada tepat di depan sofa ruang tamu.
Kepala Amaya dibenturkan cukup kuat beberapa kali oleh sang ibu ke sudut meja persegi itu, membuat sudut dahi si gadis berambut lurus berubah membiru dan sobek sedikit.
"Kamu anak sial yang buat hidup mama jadi susah!"
Amaya menengadah karena sang ibu menarik, lantas melepas genggaman pada rambut lurusnya. Dia bersimpuh dengan kedua tangan yang menutup rapat di depan mulut. Gadis itu menangis lagi, kali ini sisi wajah juga ikut terhiasi oleh darah yang sudah mengucur turun dari sudut jidatnya.
"Ma-Maaf, Ma. Maaf karena udah datang ke hidup Mama. Tapi, tolong jangan pukul Amaya lagi. Amaya janji bakal jadi anak baik, Amaya akan jaga rahasia—"
"Kamu juga harus mati seperti papamu itu!"
Wanita paruh baya itu menjauh dari Amaya, berjalan menuju lemari tempat televisi diletakkan untuk mengambil pisau dapur yang dia lempar asal begitu saja beberapa saat lalu.
"Jauh ke bawah sana lagi, sial," umpatnya kala melihat benda yang dicari berada di bawah kolong lemari kayu itu.
Amaya terdiam seribu bahasa, hatinya terasa sakit sampai tangan ikut meremas baju pada bagian dada cukup erat. Pening mulai menguasai kepala gadis itu secara mendadak. Pandangan juga menjadi kabur perlahan. Dia berkedip secara lambat, berusaha mendapatkan kesadaran yang dirasa hampir hilang.
Suara sirine polisi samar-samar masuk ke pendengaran Amaya. Gadis itu berusaha bangkit dari duduk, tetapi kaki ramping tersebut seakan tidak memiliki tenaga sampai akhirnya membuat dia jatuh terlungkup ke lantai dengan wajah menghadap ke kanan.
"Halo! Ada orang di dalam! Kami mendapatkan laporan ada keributan di rumah ini dari beberapa warga setempat! Mohon ijinkan kami masuk. Jika tidak, pintu akan kami buka secara paksa!"
Suara pintu digedor cukup keras dari luar masih bisa didengar oleh Amaya. Dia mengulurkan tangan ke depan, berusaha menyeret tubuh secara pelan, tetapi usaha itu sia-sia.
"To-tolong, siapa pun, tolong ...," lirih Amaya pelan, sampai akhirnya terpejam sempurna, bisa terlihat jelas air yang turun dari mata gadis itu, lalu mengalir hingga ke hidung mancungnya.
Suara alarm dari ponsel di atas meja membuat Amaya tersadar dari lamunan akan masa lalu. Dia mengangkat wajah yang sekarang terlihat berkeringat cukup banyak. Gadis itu segera mengambil benda pipih pintarnya, melihat jam, kemudian mendesah pelan.
"Udah jam tujuh malam aja. Harus bantuin tante di kedai, nih," gumamnya, kemudian segera beranjak dari sana.
.
.
Halo para readerku (Kuaci) 😗 jangan lupa untuk vote, komen, dan share yaa
Terima kasih banyak sudah mau membaca 🥺
Aku harap kalian terus diberikan hal-hal yang membuat kalian bahagia 🥰
.
.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kenangan Bersama Hujan [Tamat]
RomanceAmaya, seorang gadis yang tidak percaya dengan orang lain, menikmati kehidupan perkuliahan dengan biasa saja, bahkan cenderung sendirian. Dia tidak memiliki teman dekat meski hanya untuk berbincang sebentar saja. Pada semester lima, Amaya terpaksa m...