Setiap Orang Punya Goresannya Masing-Masing

48 17 1
                                    

Amaya menenteng satu plastik besar di tangan kanan, sedangkan satunya yang bebas untuk mengangkat catatan belanja yang diberikan Anna sebelum gadis itu pergi ke pasar Sabtu pagi ini. Dia terus berjalan, menghindar dari beberapa orang yang berdesakan di sana, sampai akhirnya kaki membawa gadis itu menuju ke salah satu meja penjual ayam potong.

Meja keramik di depan Amaya kosong, tidak ada siapapun di sana. Gadis itu menghela napas panjang, sepertinya tempat langganan Anna membeli ayam tidak buka hari ini.

"Ayo, dibeli ayam potong segarnya, para bunda! Harga murah, ayamnya juga montok dan semok kayak babi!"

Amaya mengerutkan kening, merasa tidak asing dengan suara yang baru saja terdengar. Biasanya, setiap Sabtu Amaya selalu pergi berbelanja, tetapi tidak pernah mendengar teriakan dari meja penjual ayam potong di sebelah langganan Anna tersebut.

Karena penasaran, Amaya menoleh ke kiri. Dia agak melebarkan mata ketika menatap sosok gadis tinggi hampir 170 sentimeter yang memegang pisau daging sambil terus memanggil para pelanggan untuk mampir ke meja ayam potong di sana.

Amaya menggenggam erat kantung plastik isi belanjaan yang dibawa, kertas yang sejak tadi dipegang pun kembali dia masukkan ke dalam saku outer rajut abu tua yang dikenakannya.

Perlahan, Amaya melangkah dengan sedikit mengangkat celana kulot hitam yang dipakai. Susah payah gadis itu menarik sandal jepit yang dikenakan saat masuk ke dalam becek karena kurang hati-hati dalam berjalan. Setelah kaki kembali bebas, dia berdiri di depan meja keramik yang berada di sebelah penjual ayam potong langganannya.

"Hani!" panggilnya sedikit menjerit karena takut sang pemilik nama tidak menoleh ke arahnya.

Hani berhenti bersuara. Dia segera menurunkan toa yang dipakainya beberapa saat lalu. Gadis tinggi itu membuka topi ember yang dikenakan, menunjukkan rambut ikal sebahunya yang dikuncir asal.

"Amaya?" gumam Hani dengan sedikit melotot, tetapi raut terkejutnya itu berganti menjadi tatapan tajam kala mengingat kejadian dua hari lalu.

"Apa bisa kita bicara sebentar?" tanya Amaya sambil menyentuh ayam di meja dengan telunjuknya.

"Aku sibuk, enggak ada waktu."

Hani mengangkat pisau daging yang dipegang, kemudian membanting ke arah ayam yang masih utuh di atas talenan kayu. Aksinya itu berhasil membuat Amaya sedikit tersentak dan terpejam sebentar.

"Tapi enggak ada pelanggan yang datang untuk beli, kamu sibuk ngapain emangnya?"

Ucapan Amaya itu membuat Hani berhenti. Dia meletakkan pisau ke talenan, menopang tubuh dengan kedua tangan di atas meja, kemudian tersenyum miring seraya memandang wajah Amaya.

"Enggak ada alasan untuk aku bicara sama kamu, Amaya," ucapnya, kemudian mengambil seember air yang berada di belakang tubuhnya.

"Kalo kamu ngotot untuk terus di sini, aku bakal siram—"

"Saya bakal beli ayam kamu, dalam jumlah yang banyak pastinya. Karena itu, ayo, bicara sebentar," jelas Amaya seraya merogoh saku celana. "Ini uang untuk saya beli ayam kamu nanti. Tante saya punya kedai ayam goreng, jadi saya pasti bakal beli banyak dari kamu," imbuhnya lagi sambil menyodorkan lima lembar uang seratus ribuan.

Hani meletakkan lagi ember ke meja, sedikit keras sampai air bekas cuci tangan itu sedikit muncrat ke atas dan mengenai wajahnya. Dia mengambil uang Amaya, kemudian menyimpan ke dalam saku celana jeans selutut yang dikenakannya.

"Tunggu, aku bilang sama bapakku dulu."

Hani berjalan menuju ke arah pria paruh baya yang duduk di dekat mesin perontok bulu ayam yang bersebelahan dengan meja tempat gadis itu memotong ayam sebelumnya.

Kenangan Bersama Hujan [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang