Di tengah berisiknya jam makan siang di kantin fakultas, Hani dan Juwita saling pandang kala melihat orang di depan mereka yang sedari tadi masih terus menuangkan kecap asin ke dalam mangkuk yang berisi soto ayam yang ada di meja.
Gadis bergingsul menahan lengan ramping Amaya, kemudian orang di sampingnya menjentikkan jari beberapa kali ke arah si pemilik soto yang sudah berganti kuah seperti warna oli kotor di sana.
"Kamu udah kayak kura-kura tanpa rumah," celetuk Juwita setelah menarik lagi tangan untuk membetulkan kacamata bundar yang dikenakan.
"Salah! Yang bener tempurung tanpa kura-kura. Definisi kekosongan yang sebenernya." Hani meletakkan lagi botol plastik kecap yang sudah direbut dari tangan Amaya ke meja.
Juwita mengangguk-angguk dengan sedikit mendesah kecil, sadar bahwa kalimat yang dilontarkan telah salah. Dia kembali memandang Amaya yang saat ini tengah mengaduk teh dingin di sebelah piring dengan sedotan sambil sebelah tangan menumpang dagu.
"Kamu lagi ada masalah?" tanya gadis bermata minus itu.
"Kamu takut nilai UAS jelek? Itu bisa dipikirin nanti, Amaya. Kita baru aja selesai UAS hari ini. Ayo, sedikit lebih santai!" Hani menyendok bakso tahu goreng bumbu kacang miliknya ke dalam mulut.
Setelah menyeruput minuman hingga setengah gelas, Amaya memandang kedua orang di depannya. Gadis berkuncir satu itu memegang kedua jepit rambut biru berbentuk pita yang dikenakan pada sisi kanan surai indah tersebut. Dia menggigit bibir, kemudian mengembuskan napas cukup panjang, sampai Hani yang hendak menyendok lagi makanan langsung berhenti.
"Kalo kamu begini, aku jadi merasa bersalah untuk makan," protes Hani seraya menggeser piring miliknya ke kanan. "Sekarang, ayo, coba kita diskusikan masalah ini."
"Iya, Amaya. Kita udah lama enggak main bareng. Hari ini, tiba-tiba kamu hubungi kami berdua di grup untuk makan siang bareng. Tapi, kalo kamu kayak gini, aku dan Hani jadi bingung harus gimana." Juwita juga menggeser mangkuk bakso miliknya ke kiri.
Amaya menatap Juwita, kemudian beralih ke Hani. "Maaf, karena udah bikin suasananya kurang nyaman," ujarnya pelan. "Sebenernya, saya lagi ada masalah sama Shankara."
"Ha! Kok bisa? Kalian kelihatan cukup romantis." Juwita menutup mulut dengan sebelah tangan.
"Bocah satu ini selalu enggak peka," gumam Hani sambil menggeleng. Dia melihat Amaya, lalu membuka topi ember hitam yang dikenakan. "Sejak kapan kalian berantem?"
"Hari ulang tahun jurusan." Amaya menunduk, memainkan jari di atas pangkuan, kemudian memandang lagi dua orang di depannya. "Semuanya terjadi karena salah saya!" Dia menaikan intonasi sampai Hani spontan memegang dada.
"Kalo enggak keberatan, kamu boleh ceritain semuanya." Juwita mengangguk untuk pernyataan orang di sebelahnya.
Selepas meletakkan kedua tangan di atas meja, Amaya mulai menceritakan semua yang telah terjadi selama beberapa minggu ini. Dimulai dari hujan sore itu sampai kekacauan yang tercipta akibat kemarahan Shankara kepada Bima. Karena merasa masih sangat pusing, gadis berambut lurus tersebut tanpa sadar menjatuhkan air mata, mengusap pipi secara cepat dengan punggung tangan, lalu menatap Juwita dan Hani yang sama-sama menyodorkan selembar tisu kepadanya.
"Sa-Saya tau ini semua karena saya. Tapi, Shan udah blokir semua akses saya untuk hubungi dia. Saya tanya sama temen-temen dia, ternyata mereka bertiga juga enggak bisa hubungi Shan. Mereka pun bilang kalo Shan menghindar dari mereka, sama seperti sikap dia ke saya," tutur Amaya seraya mengambil pemberian dari kedua temannya.
Hani sedikit menggeser kursi ke depan, mencoba menyentuh bahu Amaya, mengelus perlahan, kemudian kembali duduk dengan benar. "Kamu enggak sepenuhnya salah," ucapnya pelan.
"Betul! Kamu dan Bima bikin kesepakatan itu karena Shankara yang terlalu cemburuan. Aku ingat banget kamu dulu pernah bilang kalo Shankara bisa kirim banyak pesan cuma karena kamu enggak baca satu pesannya. Beruntung kamu tahan sama cowok yang kayak gitu, kalo aku di posisi kamu pasti—"
"Sttt!" Hani menutup mulut Juwita, kemudian menarik tangannya lagi dan menatap Amaya yang terlihat sudah lebih tenang. "Kalian berdua sama-sama bertanggung jawab untuk masalah ini, Amaya. Jadi, jangan merasa kalo kamu sendiri yang jadi penyebab semua ini terjadi."
Sambil bergumam pelan, Hani kembali menarik lagi piring berisi makanan miliknya yang beberapa saat sempat didiamkan begitu saja. "Sekarang, kamu kasih waktu dulu untuk Shankara berpikir. Menurutku, Shankara pasti lagi coba tenangin diri juga. Nanti, setelah semuanya baik-baik aja, aku yakin dia bakal hubungi kamu. Kalo mau temuin dia sekarang, kayaknya bakal sia-sia."
"Iya, aku setuju. Kamu coba tunggu aja dia yang hubungi duluan." Juwita menimpali.
***
Di dalam ruangan yang tidak begitu luas, Shankara membuka mata perlahan. Samar-samar, dia bisa melihat sekeliling tempat yang hanya diterangi oleh lampu kecil yang memancarkan cahaya kuning. Sosok tinggi itu berusaha membuka mulut, tetapi kala tersadar sesuatu menutupi mulutnya, refleks mata pun semakin melebar. Shankara semakin gusar ketika tangannya telah diikat pada kursi tempatnya duduk sekarang. Tidak hanya itu, ketika menunduk, dia mendapati pergelangan kaki juga dalam keadaan terikat.Sambil menutup mata rapat-rapat, Shankara berusaha keras mengingat apa yang terjadi beberapa waktu lalu. Dia ingat betul, ketika mata kuliah telah selesai, dia pergi ke kamar mandi yang berada di dekat musholla universitas yang cukup sunyi karena hari telah sore, tetapi ketika keluar dari sana, sesuatu menyumpal mulut dan hidungnya cukup rapat sampai kesadaran pun hilang begitu saja.
Setelah itu, aku enggak ingat apa-apa lagi dan tiba-tiba bangun di sini! Shankara membatin usai membuka lagi mata.
Shankara mencoba memperhatikan sekeliling, menoleh ke kiri dan kanan, upaya menemukan sesuatu yang bisa menyelamatkannya sekarang. Namun, matanya berhenti ketika mendapati pintu yang ada di hadapan terbuka secara perlahan.
Sambil memicingkan mata, Shankara terus menanti sosok yang akan muncul dari balik daun pintu yang berderit itu. Dia merasakan debaran dalam dada cukup keras sekarang, selain ketakutan, pemuda berambut hitam di sana cukup penasaran siapa dalang dibalik tindakan penculikan yang terjadi kepada dirinya kini.
Shankara melebarkan mata, berkedip beberapa kali karena masih belum percaya dengan apa yang tengah tersaji di depannya saat ini. Seorang pemuda dengan kemeja kotak-kotak dan rambut yang dikuncir dengan sebuah karet hitam yang tengah berdiri di sana. Dia bahkan sampai menggeleng cukup kuat, tidak peduli jika pening yang sebelumnya terasa kembali menggerogoti kepala, yang jelas, dia hanya ingin memastikan bahwa orang dilihat sekarang bukanlah pemuda yang dikenalnya.
"Hmp! Hmp!" berontak Shankara dengan terus menggerakkan kepala. Peluh mulai menetes dari sudut dahi pemuda itu sampai rambut lembut itu tampak ikut basah.
Kala sapu tangan hitam yang tersumpal di antara bibir dibuka oleh orang yang baru datang beberapa detik lalu, Shankara segera mengambil udara cukup rakus, tidak hanya dari hidung, tetapi juga mulut sampai terengah-engah.
"Apa yang kamu rencanain sekarang?" ucap Shankara seraya menatap orang yang sekarang berjongkok di depannya. "Kamu udah kurang ajar, Bima!"
"Maaf, Shan. Tapi aku terpaksa lakuin ini," sahut pemuda berkuncir kemudian mengelap keringat si lawan bicara dengan sapu tangan yang dipegang.
.
Weleh weleh! Kenapa si Bima nih? Kok dia nyulik Shankara?
Menurut kalian Bima ini jahat atau baik gaes?
Jawab di komentar yuk 😗
.
Terima kasih udh mampir yaaa,. Semoga kalian betah dan jangan lupa tinggalkan jejak ke cerita ini 🤗 bagikan ke semua akun sosial media kalian juga supaya karya ini bisa menang dalam event menulis ini 🤭
.
Terima kasih sekali lagi, sampai jumpa di bagian selanjutnya, aku harap kalian mengalami hal hal baik.Bye bye gaes, calangeo 🤗
KAMU SEDANG MEMBACA
Kenangan Bersama Hujan [Tamat]
RomantikAmaya, seorang gadis yang tidak percaya dengan orang lain, menikmati kehidupan perkuliahan dengan biasa saja, bahkan cenderung sendirian. Dia tidak memiliki teman dekat meski hanya untuk berbincang sebentar saja. Pada semester lima, Amaya terpaksa m...