Amaya mengerutkan kening saat berada di depan pintu kedai ayam milik sang tante, melihat papan yang bertuliskan tutup, padahal jam masih menunjukkan pukul enam sore. Dia menyisir rambut dengan jari, membuat setiap helai yang kusut karena hujan sore itu menjadi lurus lagi.
Setelah masuk ke kedai, langkah Amaya terhenti bersamaan dengan pintu yang kembali tertutup. Dia memelotot ketika bertemu pandang dengan tamu yang duduk di salah satu kursi pelanggan yang tidak jauh dari pintu.
"Amaya."
Panggilan tersebut membuat sang pemilik nama melihat ke arah pintu dapur, tampak sang tante dengan sepiring ayam goreng tersenyum kikuk ke arah Amaya.
Saat telah mengalihkan pandangan lagi dari sang tante, Amaya kembali menatap orang yang duduk sendirian di sana, kemudian berjalan mendekati sosok wanita paruh baya dengan rambut lurus yang disanggul itu.
"Kenapa Mama ke sini?" tanya Amaya dengan intonasi sedikit tinggi.
Sosok di sana menyeruput teh hangatnya sebentar, menatap ke kanan dengan sedikit menengadah, kemudian kembali membuang arah mata. "Mama enggak ada urusan sama kamu."
Tante Amaya memegang nampan dengan sangat erat, berjalan agak cepat, kemudian meletakkan apa yang dibawa ke atas meja sang tamu. Dia memukul pundak Amaya dengan sedikit keras, menarik tangan gadis itu agar menjauh dari sana.
"Kamu masih basah, Amaya. Mandi terus siap-siap sana, biasakannya kamu nanti pergi jam setengah tujuh buat belajar bareng sama Shankara," bisik sang Tante seraya mendorong punggung Amaya menuju tangga.
"Enggak perlu usir dia, Anna. Aku enggak akan lama di sini." Sang tamu buka suara, membuat kaki Amaya terhenti di anak tangga pertama.
"Kak Jeha, aku enggak mau Amaya terlibat dalam interaksi yang enggak ada hubungannya sama dia," ujar Anna dan mencoba terus membuat Amaya supaya pergi naik.
Amaya berbalik, memegang tangan sang tante, kemudian memandang Jeha dengan sangat tajam. "Mau Mama apa? Setelah titipin Amaya ke tante beberapa tahun lalu, bahkan enggak datang sama sekali ke sini setelah keluar dari penjara atas tuduhan kekerasan terhadap anak. Tapi, sekarang Mama ke sini seolah-olah enggak ada salah sama sekali." Gadis itu mengeratkan genggaman ke tangan wanita berbadan tambun di depannya saat ini.
"Mama udah bilang enggak ada urusan sama kamu." Jeha menjawab tanpa mengalihkan pandangan dari ponselnya. "Mama cuma ada perlu dengan Anna sekarang."
Sambil tertawa getir, Amaya melepaskan tangan sang tante. Dia menunduk seraya memijat kening dengan tulunjuk dan ibu jari, sedangkan tangan yang satunya di pinggang. "Bahkan setelah kejadian mama hampir bunuh Amaya siang itu, mama sama sekali enggak mau ketemu sama Amaya?"
Kala merasakan sentuhan di bahu, Amaya kembali mengangkat wajah, menatap Anna yang sekarang tengah memandangnya dengan alis turun saling bertaut, raut sedih terpancar jelas dari mata wanita paruh baya itu.
"Anna, kakak tunggu kiriman uang yang kakak minta tadi. Setelah itu, kakak enggak akan datang ke sini lagi," ujar Jeha, lantas berdiri, dan berjalan menuju pintu kedai. Sosok kurus bersanggul itu menoleh ke arah Amaya dan sang lawan bicara dengan sedikit menaikkan dagu. "Kalo gitu, aku pamit dulu, Anna," imbuhnya, kemudian berlalu dari sana.
Amaya mengepalkan tangan di kedua sisi tubuh. Tampak bibir mungil itu bergetar hebat, diikuti suara gigi yang bergemeletuk. Dia melihat lagi ke arah Anna, sosok itu tersenyum, kemudian mengelus bahu gadis tersebut secara lembut.
"Kenapa orang itu datang ke sini untuk minta uang!" bentak Amaya yang membuat sang Tante sedikit tersentak sampai bahu naik sebentar.
Anna mendesah pelan sampai akhirnya menjawab, "Dia cuma butuh buat kelangsungan hidupnya lagi, Amaya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Kenangan Bersama Hujan [Tamat]
RomansaAmaya, seorang gadis yang tidak percaya dengan orang lain, menikmati kehidupan perkuliahan dengan biasa saja, bahkan cenderung sendirian. Dia tidak memiliki teman dekat meski hanya untuk berbincang sebentar saja. Pada semester lima, Amaya terpaksa m...