Amaya menghentikan langkah ketika baru saja masuk ke kedai. Dia termangu seraya kedua tangan mengepal erat di sisi tubuh. Sambil terus menatap sosok kurus yang duduk di salah satu kursi pelanggan, gadis bertubuh tidak sampai 160 sentimeter tersebut mengigit bibir bawah karena cukup marah, bahkan warna kulit yang putih itu seketika merah.
Tanpa berpikir panjang, Amaya melajukan tungkai, berjalan cepat sampai tiba di meja di mana sang tamu datang dengan wajah yang jauh lebih tirus dari terakhir kali mereka berdua bertemu.
"Amaya." Anna berlari kecil, menghampiri Amaya yang sudah mengangkat sebelah tangannya.
"Kenapa mama ke sini lagi?" Seolah-olah tidak ada Anna yang tengah memegang bahunya, Amaya membanting kuat kepalan tangan ke atas meja bundar tempat sang tamu datang.
Suasana kedai menegang dalam hitungan detik, beberapa pelanggan yang tersisa malam itu memang tidak banyak, tetapi akibat ulah Amaya mereka semua menatap risih ke arah gadis tersebut sambil berbisik-bisik dengan mulut penuh berisikan ayam goreng.
"Kamu harus tenang," titah Anna, lantas membawa pundak yang disentuh untuk duduk di kursi yang berhadapan langsung dengan Jeha.
"Kalian bisa bicara berdua sekarang, Tante ke belakang dulu." Anna menjauh dari sana, memberikan ruang bagi Jeha dan Amaya yang sekarang tengah duduk saling berpandangan.
Karena merasa tidak nyaman, Amaya mengetuk-ngetuk jari telunjuk ke meja, membuat bunyi dari kuku yang agak panjang.
"Kenapa Amaya harus nemenin Mama di sini?" tanyanya, lantas menghentikan pergerakan jari.
Jeha menyelipkan rambut lurus sebahu miliknya, tampak beberapa helai telah memutih, tetapi tidak memudarkan kecantikan dari paras wanita paruh baya tersebut. "Ada yang mau mama sampaikan, Amaya."
"Kalo enggak penting, Amaya pikir, bisa bicarain ini nanti. Amaya capek banget karena baru balik dari tempat kerja paruh waktu atau mama bisa bicarain ini dengan Tante—"
"Mama sakit parah."
Perkataan Jeha berhasil membungkam Amaya. Gadis itu membuka mulutnya sedikit seraya berkedip beberapa kali dengan dahi ikut berkerut. Dia menjilat bibir, melihat ke kanan dan kiri, lalu kembali menatap sang lawan bicara dengan tatapan penuh keraguan.
"Kanker paru-paru." Jeha kembali membuka suara.
Kali ini, Amaya spontan menutup mulut dengan sebelah tangan sejenak. Dada gadis itu membusung sebentar, mengambil oksigen cukup banyak sampai akhirnya mengeluarkan secara perlahan-lahan.
"Amaya enggak tau harus merespon ini gimana," sahut Amaya usai menimbang-nimbang kata yang ada di dalam pikiran. "Jadi, alasan mama ke sini untuk kasih tau itu?" imbuhnya lagi, lalu mengecap lidah dalam mulut.
"Mama mau minta maaf sama kamu, Amaya." Jeha mengeluarkan sesuatu dari tas putih di meja, lalu menyodorkan sebuah amplop cokelat.
Amaya menyipitkan mata, perlahan menarik apa yang diberikan sang mama, lantas membuka benda itu. Tampak beberapa lembar foto, ada bayi yang tengah bermain bola ditemani wanita cantik berambut panjang sambil tertawa manis, ada pula sosok menggemaskan tengah memasukkan sesuap bubur tim ke dalam mulut yang baru ditumbuhi satu gigi pada gusi bagian bawah, dan masih ada beberapa lainnya.
"Ini ...."
"Itu kamu." Jeha menarik kedua sudut bibirnya ke atas, membuat ekspresi yang cukup mengejutkan bagi si lawan bicara karena selama ini tidak pernah dilihat oleh Amaya bahwa sang mama memiliki lubang kecil yang sama dengan miliknya, tetapi hanya sebelah sisi saja.
"Kita hidup bahagia sampai di umur kamu yang keempat tahun, Amaya. Setelah papa kamu bangkrut, semuanya berubah. Mama yang hanya lulusan SMA di masa itu cuma bisa membuka usaha mencuci dan menyetrika dari pintu ke pintu para tetangga. Hidup cukup berat untuk mama yang masih berumur 24 tahun waktu itu." Jeha memijat kening sejenak, kemudian mengusap wajah secara kasar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kenangan Bersama Hujan [Tamat]
RomanceAmaya, seorang gadis yang tidak percaya dengan orang lain, menikmati kehidupan perkuliahan dengan biasa saja, bahkan cenderung sendirian. Dia tidak memiliki teman dekat meski hanya untuk berbincang sebentar saja. Pada semester lima, Amaya terpaksa m...