Shankara mengintip dari atas layar laptopnya yang terbuka, memandang Amaya yang tampak sibuk dengan beberapa buku catatan di meja. Dia mendesis kecil kala mendapati subjek yang ditatap memindahkan rambut yang tergerai ke atas bahu kiri ramping itu, menunjukkan tulang selangka kanan dengan jelas karena hari ini gadis tersebut mengenakan kaus lengan pendek berbahan knit dengan leher berbentuk lingkaran yang sedikit lebar.
Saat bertemu tatap dengan Amaya, Shankara melirik ke kiri, berusaha mengalihkan atensi meski sadar telah tertangkap basah. Dia menurunkan lagi kepala secara pelan-pelan, meletakkan dahi ke meja, melihat sepatu putih bertali yang dikenakannya.
Shankara menutup mata, membiarkan pikirannya terbang menuju kejadian beberapa hari lalu, tepat ketika dia menyatakan perasaan kepada Amaya di kala sore menjelang malam itu.
"Bagaimana dengan perasaan kamu?" Ucapan itu keluar dari bibir Shankara yang sebelumnya sempat digigit oleh sang empu cukup lama karena tidak mendengarkan suara dari orang di sampingnya.
Amaya perlahan menurunkan topi, menggenggam erat benda itu di depan dada. Dia menatap tepat ke arah iris indah milik si lawan bicara, berkali-kali berpindah dari kiri dan kanan, mencari kebenaran mengenai kalimat-kalimat yang sempat didengar beberapa waktu lalu.
"Saya enggak tau harus jawab apa, Shan." Amaya menunduk, beriringan dengan topi yang dia pindahkan ke pangkuannya.
"Enggak apa-apa, Amaya. Mungkin sekarang kamu perlu waktu untuk berpikir, aku akan tunggu sampai kamu siap." Shankara mengangguk di akhir katanya.
Usai menggeleng beberapa kali, Amaya memainkan jari di atas topi hitam itu. Dia memandang Shankara, cukup lama sampai akhirnya embusan udara keluar dari bibir mungil tersebut.
"Enggak, Shan. Jangan tunggu saya. Saya enggak bisa terima perasaan kamu itu."
"Tapi, kenapa? Karena kamu enggak suka aku?"
Lagi, Amaya menggeleng. "Bukan," katanya. "Saya ada bukan untuk dicintai seperti ini," tambah gadis itu, terselip intonasi yang cukup rendah di tiap kalimatnya.
Shankara menilik ke iris indah di depannya, binar di sana yang sempat dia lihat kala di wahana bermain telah sirna, tersisa redup yang berhasil membuat hati pemuda itu terasa berdenyut.
"Kamu mungkin hanya tau saya yang ini, Shan. Tapi, ada beberapa Amaya di dalam diri saya yang belum kamu kenal." Amaya mulai membuka suara lagi. "Saya menutup diri dari dunia luar bukan tanpa alasan."
"Shan, jangan saya. Sukai gadis yang lain aja." Amaya mengambil topi dari pangkuan, mengenakan lagi ke kepala Shankara, lantas tersenyum cukup tipis. "Saya banyak lukanya."
Amaya mengalihkan jemari ke sebelah sisi wajah Shankara, mengelus pelan, lantas berkata lagi, "Kamu terlalu baik untuk saya yang belum pulih ini, Shan."
Kala Amaya hendak menarik lengan, Shankara menahan tangan itu untuk menjauh. Dia menggenggam erat jari-jari yang lebih kecil di sana, lalu meletakkannya ke dada. "Karena itu, Amaya. Jadikan aku sebagai obat untuk sembuhin luka kamu."
Amaya menatap kedua mata Shankara, mencari kebenaran dari tiap kata yang dilontarkan pemuda berambut legam itu. Dia merasa sesuatu mulai kembali berdetak cukup kuat, tetapi kali ini bukan dari dadanya, melain dari tempat tangan mungil tersebut bersandar.
"Saya enggak bisa-"
"Kamu suka aku, Amaya?"
Pertanyaan Shankara memotong kalimat yang akan keluar dari bibir cantik Amaya.
Shankara menggenggam lebih erat jari di bawah tangan, seakan-akan menyalurkan segala rasa dari dalam dada sampai bisa tersampaikan kepada gadis cantik yang menjadi lawan bicaranya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kenangan Bersama Hujan [Tamat]
RomantizmAmaya, seorang gadis yang tidak percaya dengan orang lain, menikmati kehidupan perkuliahan dengan biasa saja, bahkan cenderung sendirian. Dia tidak memiliki teman dekat meski hanya untuk berbincang sebentar saja. Pada semester lima, Amaya terpaksa m...