Enggak Bisa Bertahan

37 12 0
                                    

Shankara berbaring di kasur, menatap langit-langit kamar dengan pikiran yang mengawang entah ke mana. Dia memutar posisi tubuh ke kanan, lalu mengambil ponsel yang tidak jauh dari kepala. Saat melihat layar yang dihiasi dengan foto Amaya yang tersenyum tipis sambil memegang boneka landak di sisi wajah cantik itu, pemuda berahang tersebut mengetuk-ngetuk ponsel dengan ibu jari.

"Saya belakangan agak sibuk, mungkin kita enggak bisa pergi kencan dulu. Sesekali, datang aja ke kedai, nanti kita bisa duduk di sana meski sebentar."

Kalimat yang dikatakan Amaya beberapa hari lalu terngiang di kepala Shankara. Pemuda itu menelungkupkan layar ponsel, membiarkan tertutup begitu saja, kemudian memilih untuk memejamkan mata. Namun, suara ketukan pintu berhasil mengusik ketenangan sosok tinggi di sana.

Dengan rasa malas, Shankara menyeret kaki menuju ke sumber bunyi. Kala menatap orang di balik pintu, Dia sedikit mengerutkan kening, mendapati sang ayah yang tersenyum tipis.

"Ada apa?" tanya Shankara seraya menarik kenop agar pintu lebih terbuka lebar.

"Boleh ayah masuk?"

Setelah keduanya duduk di tepi ranjang Shankara, hanya hening yang menyelimuti dan sesekali bunyi detik jarum jam yang memenuhi ruangan. Baik Bimo maupun sang anak bungsu, tidak membuka mulut sudah hampir sepuluh menit lamanya.

Shankara mengacak belakang rambut, mendesah agak pelan, sampai akhirnya berkata, "Kalo enggak ada yang mau dibilang, Ayah boleh keluar dari sini."

Sambil mengusap jenggot tipisnya yang mulai memutih, Bimo meringis tertahan. Dia memegang bahu sang anak yang duduk di sebelahnya. "Shan, ayah pikir, hubungan di antara ibu dan ayah udah enggak bisa bertahan."

"Bukannya udah lama?" Shankara menatap sang lawan bicara dengan alis agak menukik. "Selama ini, ibu cuma tahan supaya keluarga kita enggak dipandang buruk sama orang-orang di lingkungan sekitar dengan dalih enggak mau aku punya keluarga yang enggak lengkap," lanjutnya, lalu tertawa getir.

"Shan ...," lirih Bimo, lalu memegang tangan kanan Shankara yang ada di atas lutut. "Maafin kami."

"Jangan minta maaf," kata Shankara dengan intonasi yang masih terdengar cukup tenang. "Semua udah terjadi. Ayah selingkuh dengan alasan ibu yang terlalu sibuk. Sedangkan ibu yang terlalu mengejar reputasi karirnya karena merasa kurang dengan pendapatan ayah selama ini."

"Kamu pasti cukup marah untuk semua yang terjadi." Bimo mengelus punggung tangan Shankara. Helaan napas terdengar lagi darinya. "Ayah ke sini untuk minta tolong ke kamu, jika kami pisah nanti, kamu harus memilih di antara ayah dan ibu."

Shankara membuang pandangan dari sang ayah, menunduk, menatap ubin kamar yang agak berdebu karena belum dibersihkan. Dia menutup mata rapat seraya perlahan menarik tangan agar terlepas dari genggaman sang ayah.

"Ayah harap, kamu akan pilih—"

"Aku mau istirahat," ujarnya pelan, kemudian mengangkat tatapan lagi, tetapi tidak ke arah Bimo.

"Ah, ya! Kamu pasti capek karena seharian belajar. Kalo gitu, kita bicarain ini lain kali." Bimo berdiri, mengusap puncak kepala Shankara lembut, kemudian berjalan menjauh menuju pintu.

"Ayah," panggil Shankara.

Setelah menoleh, Bimo mendapati raut wajah tampan di sana melunak, terlihat sendu terpancar jelas pada netra sang anak yang tengah mengarah kepadanya sekarang.

"Jadi, ayah lebih pilih wanita itu?" Shankara saling menautkan kedua tangan, meremas jari-jari yang agak berkeringat. "Bahkan sampai akhir Ayah tetap pilih untuk hancurin keluarga kita?"

"Shan, ayah juga lelah dengan semua apa yang udah terjadi. Yang jelas, ayah dan ibu kamu akan pisah setelah surat perceraian ditandatangani kedua belah pihak."

Kenangan Bersama Hujan [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang