Hari ini, Hani mengundang Amaya dan Juwita ke rumahnya, dalam rangka menghibur si pemilik rambut lurus setelah mengakhiri hubungan dengan sang kekasih tiga hari lalu. Tentu saja sudah dua jam lebih ketiga gadis itu menghabiskan waktu bersama. Dimulai dari menonton, makan bersama, serta melakukan beberapa kegiatan mempercantik diri lainnya.
Namun, semua sirna kala Amaya mendapatkan sebuah panggilan telfon. Sekarang, Juwita dan Hani mengintip ke luar dari jendela dengan membuka tirai cukup lebar agar bisa melihat seorang pemuda yang tengah berdiri di tengah hujan di halaman rumah gadis berambut gelombang.
Sementara itu di luar, seorang gadis berdiri di depan halaman rumah dengan memegang payung hitam, hujan turun dari langit membuat sandal putih yang dikenakannya basah hingga kotor sampai ada noda cokelat pada bagian jari kaki.
Sosok tersebut menunduk, menyelipkan rambut lurusnya ke belakang telinga, kemudian kembali mengangkat wajah, menatap pemuda di hadapannya yang terlihat basah kuyup karena hujan sore itu yang cukup deras.
"Apa yang kamu mau sekarang, Shankara?" ujar gadis itu dengan wajah tanpa ekspresi.
"Ayo, mulai dari awal lagi, Amaya." Pemuda bermata hitam di sana mencoba meraih tangan gadis berambut lurus, tetapi melepaskan ketika si pemilik menarik lagi lengan.
"Enggak, saya enggak bisa."
"Apa salah aku, Amaya? Coba beritahu agar bisa aku perbaiki," ucap Shankara, lalu mengusap wajah dengan kasar di bawah guyuran hujan.
Enggak, bukan kamu, tapi saya. Semua terlalu berat bagi saya," balas Amaya sambil maju, membiarkan payung menutupi bagian atas kepala si lawan bicara.
"Ternyata benar, ya? Mencintai seseorang yang masih belum bisa berdamai dengan masa lalunya itu berat. Seharusnya aku enggak pernah coba untuk masuk ke kehidupan kamu, Amaya." Shankara berkedip sekali, membuat bendungan yang ditahan pada mata sejak tadi berhasil turun dan membahasi pipi.
"Maaf ... dan selamat tinggal, Shan ...."
Amaya meraih pergelangan tangan si lawan bicara, membawa ke pegangan payung, kemudian beranjak dari sana, meninggalkan Shankara begitu saja yang masih menatap punggung mungilnya.
Setelah masuk ke dalam rumah Hani, Amaya mendapati kedua temannya tengah berdiri tidak jauh dari rak sepatu. Juwita langsung berlari kecil sambil menutupi bahu gadis berambut lurus dengan handuk putih yang dibawa, sedangkan sang pemilik rumah segera meraih tubuh lebih pendek itu tanpa peduli baju yang dikenakan ikut basah.
Pada menit selanjutnya, tangis Amaya pecah, bersamaan dengan tangan yang membalas pelukan Hani. Bahu rampingnya naik dan turun, air luruh cukup deras dari mata cantik tersebut. Dia menggigit bibir, upaya membungkam bibir sendiri yang tidak bisa berhenti untuk bergetar.
"Saya ... saya udah jahat ke Shan," ujar Amaya lirih, lalu menarik diri agar terlepas dari pelukan Hani.
Juwita mengusap pipi Amaya dengan handuk. Dia menggeleng, lalu, berkata, "Enggak, Amaya. Enggak ada yang jahat."
"Baik kamu atau Shankara, kalian berdua enggak salah, Amaya. Jadi, berhenti menyalahkan diri kamu sendiri." Hani mengelus sebelah bahu si lawan bicara.
Amaya menunduk, menatap lantai yang yang basah karena air yang turun dari pakaiannya yang diguyur hujan. Dia memeluk diri dengan handuk yang berada di bahu, berusaha meredakan sesak di dada yang terasa cukup menyakitkan sampai air mata kembali keluar saat berkedip.
***
Sambil menyeret kaki yang basah, Shankara masuk ke rumah. Dia terus berjalan, sampai akhirnya berhenti di ruang tamu kala memandang sang ibu yang duduk di sofa dengan memegang beberapa lembar kertas yang tidak diketahui olehnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kenangan Bersama Hujan [Tamat]
DragosteAmaya, seorang gadis yang tidak percaya dengan orang lain, menikmati kehidupan perkuliahan dengan biasa saja, bahkan cenderung sendirian. Dia tidak memiliki teman dekat meski hanya untuk berbincang sebentar saja. Pada semester lima, Amaya terpaksa m...