Sore itu, langit mendadak gelap, hujan turun tanpa aba-aba sampai Amaya yang sudah berjalan menyusuri jalanan fakultas teknik terpaksa berlari kencang menuju teras gedung jurusan sistem informasi. Gadis itu berdecak sebal, membuang udara sampai pipi mengembung sejenak. Dia menatap sekeliling, tidak ada satu pun mahasiswa yang dia kenal di sana. Pada menit selanjutnya, gadis bercepol satu itu menunduk, menatap flatshoes putih yang agak kotor, kemudian menyisipkan beberapa anak rambut yang tidak terjepit oleh hairklip biru berbentuk pita pada sisi atas kiri dan kanan kepalanya ke belakang telinga.
"Amaya?"
Suara yang terdengar dari sisi kiri sontak membuat Amaya menoleh ke kanan dengan sedikit mendongak. Tampak Bima dengan kaus hitam polos yang ditutupi oleh luaran kemeja salur lengan panjang warna abu-abu tua dan putih di sana.
"Kamu ngapain di sini?" tanya Amaya, lalu memindahkan tas dari bahu kanan ke sisi kirinya.
"Aku rapat sama ketua himpunan kita ke sini. Bahas tentang ulang tahun jurusan yang mau digabungi karena tanggalnya sama," jawab Bima, kemudian mengikat rambut sebahu potongan tidak rata miliknya menjadi kuncir satu asal. "Kamu sendiri ngapain?"
"Neduh." Amaya membalas singkat.
Sambil mengangguk-angguk, Bima memasukkan kedua tangan ke saku celana kain hitam longgar yang dikenakan. Sesekali, dia melirik Amaya, terkikik pelan ketika mata beralih ke jepit rambut yang dikenakan gadis itu, berhasil membuat subjek yang dipandang menoleh secara tiba-tiba dengan kening agak berkerut.
"Kamu ketawain saya?"
"Kamu kelihatan berbeda dengan jepit rambut itu," ucap Bima tanpa ragu.
Amaya memutar bola mata malas, menyilangkan kedua tangan di depan dada, kemudian berkata, "Kamu enggak punya hak untuk bilang begitu ke jepit rambut saya!"
"Santai, santai! Kamu kalo sama orang lain ganas banget, tapi kalo ke Shankara kayaknya beda." Bima tertawa pelan di akhir kalimatnya.
"Ini sama sekali enggak kelihatan buruk," tutur gadis berkemeja hitam polos oversize itu, seolah-olah tidak mau menghiraukan kalimat yang didengar sebelumnya.
"Aku enggak bilang itu aneh, tapi berbeda." Bima mengeluarkan tangan dari saku celana, kemudian membuat posisi berdiri untuk menghadap ke arah si lawan bicara. "Kamu enggak pernah letakin apa-apa di rambut kamu sebelumnya. Jadi terasa sedikit lebih rame di sana," tambahnya sambil menunjuk ke arah puncak kepala yang sejajar dengan hidungnya itu.
Tangan kanan Amaya beralih ke jepit rambut yang dikenakan. "Shan yang kasih ini," ucapnya lirih seraya menarik kedua sudut bibir ke atas kala menunduk, bisa dilihat dengan jelas rona merah menghiasi pipi gadis itu oleh si lawan bicara.
Amaya bisa punya ekspresi seperti itu juga. Bima membatin sedikit takjub.
Setelah mengalihkan pandangan sejenak ke hujan, Bima kembali menatap Amaya yang masih senyum-senyum sendiri sambil memegang kedua jepit rambut yang dikenakan sampai membuat pemuda berambut gondrong di sana tertawa pelan untuk kedua kalinya.
"Kamu kelihatan suka banget sama Shankara," ujar Bima, membuat Amaya memutar posisi tubuh untuk berhadapan dengan pemuda tersebut.
"Pernyataan kamu aneh, Bima," sahut Amaya, kembali dengan wajah tanpa senyumnya lagi. "Apa saya bakal jadian sama orang yang enggak saya suka? Mana mungkin."
"Apa yang kamu suka dari Shankara, Amaya?" tanya Bima dengan sedikit menarik tali ransel hitam yang dikenakan.
"Banyak." Amaya mengangkat sepuluh jari miliknya, kemudian melanjutkan, "Bahkan ini enggak cukup untuk sebutin satu per satu apa saja yang saya suka dari Shankara."
KAMU SEDANG MEMBACA
Kenangan Bersama Hujan [Tamat]
RomanceAmaya, seorang gadis yang tidak percaya dengan orang lain, menikmati kehidupan perkuliahan dengan biasa saja, bahkan cenderung sendirian. Dia tidak memiliki teman dekat meski hanya untuk berbincang sebentar saja. Pada semester lima, Amaya terpaksa m...