Aku Enggak Suka

44 13 0
                                    

Sore itu, di salah satu bangku panjang taman rumah sakit, Shankara tengah duduk bersebelahan dengan Amaya yang baru saja tiba di sana sepuluh menit yang lalu. Suara mesin rumput dan beberapa pasien anak-anak mengisi kekosongan yang terjadi di tengah dua insan di sana.

Shankara menunduk, melihat kaki yang digerakkan ke kanan dan kiri, memainkan rumput yang sudah terpangkas rapi dengan sandal hitam karet miliknya. Dia melirik ke kiri kala kedua tangan yang berada di kedua sisi tubuh menekan sedikit tempat duduk.

"Maaf ...." Pemuda berpakaian pasien itu mengeluarkan suara, sangat pelan, nyaris tidak terdengar oleh si lawan bicara jika saja mesin pemotong rumput tidak dimatikan oleh sang petugas yang berada agak jauh dari sana.

Amaya membetulkan posisi duduk—sedikit miring ke kanan. Dia meraih perlahan sebelah tangan Shankara, lalu membawa ke atas lututnya beralaskan tangan yang bebas. Karena aksi gadis itu, sang empu dari jari-jari panjang tersebut berani mengangkat kepala lagi, lantas membalas tatapan penuh arti si pemilik lesung pipi.

"Aku udah dengar semuanya dari Bima, Ay. Enggak seharusnya aku langsung bersikap kasar waktu itu, kamu pasti kaget banget. Maaf ...." Shankara memandang setiap sudut wajah Amaya, dari poni tipis yang menutupi dahi, alis rapi, mata cantik itu, sampai berakhir ke bibir berpoleskan lipstik merah muda yang cukup samar, tetapi memberikan kesan segar bagi sang pemilik. "Aku rindu kita," imbuh pemuda berambut legam lagi, lalu membalik tangan yang digenggam sampai setiap jemari masuk ke ruas kosong jari-jari mungil si lawan bicara.

Usai menurunkan pandangan, Amaya melihat genggaman di atas dengkul, kemudian kembali menatap Shankara dengan pandangan yang menyiratkan cukup banyak luka di balik iris cantiknya, bahkan subjek yang dilihat pun sadar akan hal itu sampai spontan mengangkat tangan yang bebas untuk memegang sebelah sisi wajah Amaya.

"Ay, kamu masih marah sama aku?" Shankara mengusap kulit putih di depannya dengan ibu jari.

Setelah menggeleng, Amaya menurunkan tangan Shankara perlahan. "Saya yang salah, Shan. Saya yang udah tutupin sesuatu dari kamu. Seharusnya saya paham, selingkuh bukan hanya menjalin hubungan dengan orang lain, tetapi sembunyikan sesuatu dari pasangan kita juga dianggap berkhianat." Helaan napas keluar dari bibir mungil itu. "Saya masih banyak kurangnya, Shan. Maaf ...."

Shankara menarik kedua sudut bibir ke atas, membuat senyuman terukir cukup indah di wajah tampan berahang tegas itu. "Sekarang kita baikan?" tanyanya.

"Hm, iya. Kamu senang?"

Shankara mengangguk tanpa melunturkan senyum manis itu. "Aku udah bisa pulang nanti malam, gimana kalo lusa kita pergi—"

"Shan." Amaya memotong perkataan sang kekasih bersamaan dengan genggaman yang mengerat. "Kamu mau dengar cerita tentang saya di masa lalu?"

Lengkungan indah di wajah Shankara pudar, berganti dengan alis yang bertautan dan bibir yang sedikit berkerut.  "Tiba-tiba?"

"Iya, saya merasa kamu perlu tau tentang ini." Amaya mengembuskan udara sedikit. "Jadi, Shan, saya yang sekarang kamu lihat ini ada bukan karena diinginkan. Saya ada karena suatu kejadian yang enggak disengaja oleh orangtua saya."

Amaya menunduk sejenak, kemudian sedikit menengadah, melihat langit yang mulai berganti warna. "Saya hampir dibunuh sama ibu saya sendiri, Shan. Saya dianggap sebagai lambang pembawa malapetaka sama ibu saya sendiri."

Karena merasa genggaman yang hampir tidak lagi bertautan, Shankara kembali mengeratkan jemari, lantas menyisipkan anak rambut yang bebas milik sang pujaan hati ke belakang telinga yang dihiasi anting kecil berbentuk kupu-kupu.

"Shan, saya takut." Amaya menoleh ke kanan. "Saya takut kalo suatu hari nanti kamu makin menjadi orang yang cukup berarti untuk saya. Saya takut kalo ternyata rasa sayang yang saya punya untuk kamu semakin besar nantinya, dan yang paling saya takuti adalah kamu bakal tersakiti karena saya. Sama seperti yang terjadi sekarang, Shan."  Gadis berlesung pipi kembali memandang tangan yang masih digenggam.

Shankara membuka bibir sedikit—agak melongo, tidak percaya atas apa yang baru saja didengarnya keluar dari bibir indah milik sang kekasih. "Ay, ini bukan karena kamu, ini semua salah—"

"Saya mau kita berhenti di sini, Shan." Amaya mengangkat kepala, melihat langsung tepat ke iris penuh kebingungan milik Shankara.

"Apa maksud kamu, Ay? Apa yang harus kita hentikan?" Shankara melunakkan genggaman kala merasa jari-jari yang saling bertautan semakin direnggangkan oleh sang empu.

"Saya mau kita berhenti untuk hubungan kita, Shan."

"Kamu pasti berpikir aku suka kejutan. Tapi, aku sama sekali enggak suka itu, Ay. Kamu bercanda, 'kan?" Shankara memegang kedua bahu si lawan bicara.

"Enggak, Shan. Saya serius, niat saya ke sini selain untuk lihat keadaan kamu, saya mau kita udahin hubungan ini."

Shankara meluruhkan tangan dari Amaya, menatap mata di depannya yang terlihat tidak memancarkan emosi apa pun di sana. "Apa alasannya karena kata-kata aku malam itu?" tanya pemuda itu, lalu mengusap pipi yang terasa basah kala berkedip.

"Bukan." Amaya menggeleng. "Saya cuma enggak mau kamu masuk ke hidup saya, Shan. Saya terlalu serakah, berpikir semua akan baik-baik aja, tapi nyatanya enggak seperti itu. Saya masih dihantui bayang-bayang dari masa lalu saya, Shan. Sejak awal, saya udah kasih tau kamu, jangan sama saya, saya banyak sakitnya. Bersama saya, kamu cuma dapat lukanya, Shan. Kamu terlalu baik untuk saya."

Usai mengatakan semua yang ada di dalam hati, Amaya berdiri, memegang erat tali tas selempang yang dikenakan, lantas menatap orang yang masih duduk di depannya. Tepat ketika Shankara mendongak, gadis itu mengusap pelan pipi sang lawan bicara dengan lembut.

"Saya mohon, jangan menangis untuk orang seperti saya, Shan." Amaya menjauhkan lagi jari-jari lentiknya. "Terima kasih banyak, Shankara. Maaf untuk semuanya."

Tanpa mendengar balasan dari Shankara, Amaya berlalu begitu saja, pergi, dan meninggalkan pemuda berambut legam yang masih terdiam tanpa suara karena sibuk memikirkan semua hal yang baru saja  terjadi.

Shankara meremas dada, memukul pelan, upaya menghilangkan sesak di sana, kemudian menutup mata rapat-rapat, membiarkan air yang sejak tadi di sana turun dengan mudah tanpa perlu tertahan sedikitpun.  Dia menumpu kedua siku di atas lutut dengan tangan berada di kepala, menarik rambut secara kasar, lalu berteriak cukup kuat sampai beberapa orang lewat di sana melihat ke arahnya dengan tatapan kebingungan.

Pada detik selanjutnya, hujan turun tanpa aba-aba, cukup deras, bahkan mengguyur tubuh tinggi di sana tanpa permisi. Entah karena suara hujan yang cukup keras atau sebab pikiran yang berada entah di mana, dia mengabaikan teriakan perawat yang tengah berlari pelan sambil membawa payung untuk melindungi sosok berahang tegas agak tebal tersebut. Shankara malah menengadah, menggigit bibir cukup kuat sampai dagu bergetar.

.
Juwita : "Halo semuanya hari ini aku dan Hani yang gantiin author."

Hani : "Ya, berhubung author lagi sibuk di kosnya. 🙄"

Juwita dan Hani : "Kami mengucapkan terima kasih banyak untuk semua yang udah baca cerita kami."

Juwita : "jangan lupa untuk vote."

Hani : "komen dan share cerita ini ke semua sosmed kalian."

Juwita dan Hani: "Sampai nanti semuanya!!"👋

Kenangan Bersama Hujan [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang