Ayo, Berpisah dengan Baik-Baik

63 12 0
                                    

Angin malam menerpa kuat rambut legam yang baru saja terlihat usai topi hitam dibuka Shankara. Tampak pemuda itu menunduk, menatap kaki yang bergerak perlahan, membuat ayunan taman kompleks perumahan yang diduduki bergerak ke depan dan belakang mengikuti irama tubuh. Dia mengeratkan pegangan di tali mainan yang tengah ditempati, beriringan dengan kepala yang terangkat perlahan kala mendengar suara ayunan di sebelahnya terisi.

"Kenapa kamu minta saya datang ke sini?" tanya si pendatang membuat Shankara menoleh ke kiri.

"Aku dengar dari Juwita kamu ikut pertukaran mahasiswa semester depan," sahut Shankara, lantas menendang-nendang pasir pelan dengan kaki kanan seraya memakai lagi topi.

"Hm, saya berangkat minggu depan." Amaya memasukkan tangan ke dalam saku jaket yang dikenakan. "Kamu minta saya ke sini cuma untuk tanya itu?"

Selepas menghentikan kaki, Shankara memandang orang di sampingnya yang tampak tidak memasang ekspresi apa pun. "Aku cuma mau bicara sama kamu sebelum kamu pergi."

Amaya sedikit tersentak, terlihat dari bahu ramping itu yang agak naik, lantas turun kembali. Dia menggaruk pipi dengan telunjuk seraya mengalihkan pandangan ke kiri.

"Apa yang mau kamu bicarain?" Amaya kembali membuka mulut kala menoleh ke arah Shankara.

"Enggak tau, aku sebenernya pengen ketemu karena rindu kamu," ucap Shankara santai, tanpa menatap balik sang lawan bicara.

Pemuda berambut legam di sana menurunkan mata, melihat ke depan, memandang asal sampai akhirnya kedua sudut bibir agak tebal itu tertarik ke atas sedikit. "Beberapa hari lalu, Bima bilang, bukan hanya kamu yang perlu sembuh, tapi aku juga."

Amaya mengeratkan pegangan pada tali ayunan, mata cantik itu sedikit menutup dan terbuka beberapa kali, kemudian langsung beralih kala yang ditatap menoleh.

"Kamu terluka cukup dalam karena masa lalu kamu, sedangkan aku terlalu takut karena lihat ayahku yang ninggalin ibu aku. Hari itu, aku sadar, ternyata apa yang terjadi di keluarga aku cukup berpengaruh untuk cara pandang aku ke pasanganku." Shankara membuat Amaya kembali memandangnya.

"Maaf, Amaya. Maaf karena udah buat kamu jadi korban dari rasa takut yang aku punya," ujarnya lagi sambil melihat wajah sang lawan bicara.

"Jangan minta maaf, Shan. Hubungan kita gagal karena saya yang terlalu sombong. Saya yang berpikir akan sembuh secara perlahan dengan melibatkan kamu ke dalam hidup saya. Nyatanya, saya enggak cukup hebat untuk itu. Saya salah, seharusnya saya tau, sebelum saya mencoba mencintai seseorang, saya harus lebih dulu pulih. Luka seperti saya enggak pantas untuk mendapatkan cukup banyak cinta karena saya sendiri belum bisa cinta ke diri saya yang begini, Shan." Amaya menurunkan tangan, menunduk seraya memilin jari di pangkuan.

"Enggak, Amaya. Luka itu bukan hanya kamu, tapi aku juga termasuk cacat di dalam hubungan kita. Kita berdua sama-sama luka yang sombong, kita itu kedua luka yang berusaha cari obat supaya pulih. Tapi, kita juga salah karena enggak sadar kalo sembuh itu bukan dari luar, melainkan dalam diri kita sendiri. Seharusnya, aku cukup sadar diri sebelum berusaha jalin hubungan dengan kamu, aku harus hilangin rasa takut yang aku punya terlebih dahulu." Shankara berdiri, meninggalkan ayunan tempatnya duduk, lalu berjongkok di depan Amaya.

Dia menatap bergantian mata Amaya yang tengah tertuju ke arahnya sekarang, tersenyum manis, tetapi bisa tampak cukup jelas genangan air tertahan pada netra indah itu. "Kali ini, Amaya, ayo, katakan perpisahan dengan baik-baik."

Pemuda bertopi hitam tersebut meraih kedua tangan Amaya dengan lembut. "Setelahnya, aku enggak akan cari kamu lagi."

Tepat kala kalimat itu terdengar, secara serentak air yang dibendung oleh mata Shankara turun perlahan dengan Amaya yang entah sejak kapan menahan anak-anak sungai itu di netra cantiknya.

Amaya memegang kedua sisi wajah Shankara, kemudian mengelus perlahan tiap air yang turun. "Hm, ayo, kita lakukan perpisahan dengan baik-baik hari ini," ujarnya.

Kala hendak menarik kembali tangan, Amaya terhenti saat yang sebelah kanan ditahan oleh Shankara. Pemuda itu mengecup lembut telapak mungil di sisi wajahnya, lalu menarik perlahan agar menjauh dari sana.

"Ambil lagi ini, Amaya," ujar Shankara, kemudian memberikan topi yang dibuka beberapa detik lalu ke atas lutut si gadis berambut lurus.

Shankara menghapus air di pipi Amaya dengan lengan panjang baju kaus abu-abu muda yang dikenakan. "Jangan nangis, Amaya. Aku kasih lagi kado dari kamu karena bakal cukup sakit setiap lihat itu ada di lemari padahal kita udah enggak bisa ketemu lagi."

Dengan bahu yang terus bergetar, Amaya meremas topi di pangkuan. Kali ini, dia kalah, dia kalah untuk menahan segala sesak di depan Shankara yang selama ini terus dibentengi cukup tinggi supaya tangis tidak pecah kala berhadapan langsung dengan pemuda berambut legam itu.

Shankara berdiri, lantas berujar, "Jaga diri kamu baik-baik, Amaya. Sampai nanti. Terima kasih untuk semuanya."

Kala sudah beberapa meter meninggalkan Amaya, Shankara berhenti. Bukan tanpa sebab, tetapi langkah kaki yang berlari kencang menuju ke arahnya membuat pemuda berkaus abu-abu muda tersebut berbalik.

Tampak Amaya yang memegang erat topi di tangan kanan tengah memandang Shankara dengan mata yang masih basah. Dia menjilat bibir yang terasa agak kering, kemudian gadis itu langsung menyambar pinggang pemuda di depannya tanpa aba-aba, membuat sang empu hampir mundur beberapa langkah.

"Kamu juga, jaga diri baik-baik," ujar Amaya agak kurang jelas karena muka yang menghadap ke dada bidang si lawan bicara.

Usai melepaskan pelukan, Amaya menengadah, memandang wajah Shankara yang hanya mengukir senyum tipis, tetapi mampu memberikan rasa aman bagi orang yang melihat.

Ketika melewati Shankara begitu saja, Amaya mendadak menoleh ke belakang karena pergelangan tangan yang ditarik cukup kuat sampai membuat tubuh berbalik oleh pemuda berahang tegas di sana.

Saat mata saling berpandangan, Shankara menekuk lutut sampai tinggi menyamai orang yang terkasih. Perlahan kedua tangan menelusup ke kedua sisi bawah wajah orang yang ditatap, beriringan dengan netra yang terus menjelajah tiap inci paras cantik tersebut.

Sampai akhirnya, fokus terhenti di bibir tanpa polesan apa pun di sana, cukup lambat, tetapi Shankara berhasil mendekatkan wajah hingga bibir agak tebal miliknya menyentuh perlahan milik Amaya dengan sangat lembut.

Seraya menutup mata, Amaya mengeratkan pegangan di topi, lalu sebelah tangan meremas lengan kaus yang dikenakan oleh Shankara. Dia mengikuti pergerakan yang terjadi di bibir mungilnya, bersamaan dengan air yang jatuh dari netra tanpa diminta.

Amaya membuka mata kala Shankara menarik diri untuk menjauh. Kembali dipandangnya wajah tampan di sana, mata indah yang tampak sembab, hidung mancung, sampai ke bibir yang tampak lebih merah dari hari-hari biasanya.

Shankara menyentuh bibir Amaya dengan ibu jari, lalu mengusap perlahan ketika jari berpindah ke pipi. "Berjanjilah ini terakhir kalinya kamu menangis karena aku, Amaya."

Karena mendengar penuturan tersebut, Amaya mengangguk sambil memegang punggung tangan besar yang ada di sisi wajahnya. "Kamu juga, Shan. Jangan ada air mata lagi setelah ini."

.
.
Hai semuanya!!
Gimana nih chapter yang ini? 😔
Kalian kalo di posisi Shankara dan Amaya apa akan mengambil keputusan yang sama?
Aku harap jika kalian memiliki luka juga, itu akan sembuh perlahan-lahan tanpa bekas sama sekali 🥺
Kalian hebat bisa bertahan sampai sekarang, terima kasih banyak yaaa
.

Kenangan Bersama Hujan [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang