Beberapa hari sebelumnya, tepat saat Shankara menginap di rumah Dion. Terlihat pemuda berkacamata masuk ke kamarnya dengan membawa dua toples kue kering. Dia berdecak kesal, lantas memberikan apa yang ada di tangan kepada orang yang tengah duduk di kasurnya.
"Kali ini apa yang pecah?" tanya Dion seraya meraih guling dan meletakkan ke pangkuannya.
"Enggak banyak. Cuma dua piring, tiga gelas, sama vas bunga di dekat meja makan." Shankara membuka toples kue kering rasa cokelat setelah meletakkan yang satunya ke nakas.
"Keren, biasanya bisa sampe selusin, kan?" Dion menumpu siku ke guling, memiringkan ponsel pintarnya, sudah mulai masuk ke dalam gim yang biasa dimainkan.
"Iya, gitulah. Termasuk pencapaian enggak, sih?"
"Kenapa? Kamu mau masukin cerita ini ke dalam buletin kampus?"
Suara tawa Shankara terdengar, bahkan beberapa remah kue kering keluar dari mulutnya. "Enggak gitu, Bro. Becanda aja!"
"Tau, kok. Biasanya, juga gitu." Dion meletakkan ponsel ke sisi tubuh kiri, kemudian menatap Shankara yang duduk di depannya.
"Tapi, Shan. Kamu baik-baik aja?" tanya pemuda berkacamata itu seraya menatap sudut kepala Shankara yang tampak sedikit membiru.
"Baik, enggak ada yang lebih buruk dari ibu dan ayah yang berantem." Shankara melihat si lawan bicara sebentar, lalu memasukkan kue kering yang dipegang ke mulut.
"Tapi—"
"Sebelum ke sini, aku enggak sengaja kebentur meja belajar waktu ambil charger hp yang jatuh. Masih agak nyeri, sih. Biru enggak?" Shankara menunjuk ke arah sudut dahinya.
"Sedikit," balas Dion seraya mengangguk pelan.
"Ibu dan ayah enggak pernah pukul aku meski berantem. Kamu juga tau itu dari dulu, kenapa masih khawatir?"
Dion mengembuskan napas, lalu mengambil ponselnya lagi. "Bukan khawatir, tapi cuma mau pastiin aja."
Suara tawa Shankara memenuhi ruangan berukuran 3x4 meter persegi itu. Dia menepuk pundak Dion beberapa kali, lantas menutup toples kue di pangkuan.
"Btw, Bro. Aku enggak sengaja ketemu ayah kamu di kafe tempat kerja paruh waktu baruku akhir pekan lalu." Dion membuka suara lagi, kali ini tanpa mengalihkan atensi dari ponsel.
Shankara terhenti saat hendak mengambil toples kue kering topping kacang di nakas, kemudian menghela napas, lantas melanjutkan apa yang ingin dilakukan.
"Sama perempuan?" tanyanya santai.
"Iya, rambutnya lurus sebahu. Gaya pakaiannya sedikit mirip ibu kamu, tapi enggak pake lipstik merah kayak beliau. Terus, keliatan lebih muda juga. Kalo enggak salah mereka datang berturut-turut di hari Sabtu dan Minggu. Aku juga sempat tanya ke teman yang kerja lebih dulu dariku, katanya emang selalu datang di hari itu." Dion menjelaskan sambil terus memainkan gim di ponselnya.
"Lebih cantik mana? Ibu aku atau perempuan itu?" Shankara memasukkan satu keping kue, kemudian mengunyah perlahan.
"Ibu kamu. Aku suka tipe muka judes soalnya." Dion tersenyum kecil saat mengatakan kalimat itu.
"Sial, apa aku perlu lamar kamu buat jadi ayahku kalo orang tuaku cerai?" Shankara tertawa sebentar.
"Boleh, itu juga kalo ibu kamu mau." Kali ini tawa Dion lebih mendominasi hingga ruangan terasa sedikit bergetar.
***
Amaya melihat ke menu makanan yang ada di meja, kemudian melihat Shankara yang terus mengitari sekeliling dengan iris mata hitam legamnya. Gadis itu terpejam sejenak seraya menaikkan kedua alis, helaan udara juga keluar sampai terdengar bunyi dari hidung mancung kecil tersebut.Saat menoleh ke kiri, tepat pada meja kasir, Amaya sedikit membulatkan mata, kemudian mengangguk pelan karena melihat seorang pemuda berkacamata dengan seragam hitam dan merah berdiri di sana sambil memberikan lembar pesanan kepada orang di balik meja.
"Ternyata Dion kerja di sini, ya?" tanya Amaya, berhasil mendapatkan perhatian Shankara untuk memandangnya.
Setelah mengangguk sekali, Shankara kembali melihat ke luar melalui jendela di sisi kanannya. "Kamu harus bantuin aku untuk pastiin firasatku tentang ayah aku yang sering ke sini."
"Ini bukan urusan saya." Amaya menggeleng dengan sedikit memicingkan mata ke lawan bicaranya.
"Meski bukan, kamu harus mau. Soalnya aku udah bayar. Aku mau lihat sendiri kelakuan ayah aku di belakang ibu. Tiga hari lalu, aku denger dari Dion kalo dia lihat ayah di sini. Dia bilang, ayahku datang sama perempuan muda."
"Terus hubungannya sama saya apa?" Amaya sedikit meninggikan intonasi.
"Santai, dong. Kesabaran kamu tipis banget kayak kulit bawang." Shankara menatap Amaya lekat. Dia bahkan menumpu tubuh dengan siku yang diletakkan ke meja. "Intinya, waktu ayahku datang, aku bakal sembunyi dan suruh Dion untuk hati-hati supaya ayah enggak kenalin dia. Nah, terus kamu harus nguping apa yang ayah dan orang yang datang sama dia obrolin. Kamu harus pastiin kamu juga duduk di dekat mereka nanti."
Shankara mengambil ponsel di meja, kemudian terlihat sibuk sebentar, sampai akhirnya menunjukkan layar kepada si lawan bicara. "Nih, mukanya! Agak mirip sama aku, tapi masih gantengan aku lagi," ucapnya, kemudian menarik ponsel setelah beberapa detik menahan benda itu agar mengarah ke Amaya.
Amaya memijat pelipis, merasa sesuatu menyerang kepala cukup hebat sampai mendadak terasa pening. Dia mendesis kecil, masalah baru akan datang, pikirnya. Hanya karena uang, gadis ini terpaksa menjadi tumbal bagi si teman jurusan tersebut.
"Heh, Shan. Saya mau bayaran lebih untuk jadi penguping ini." Amaya menyeruput jus jeruknya.
"Oke, aku akan bayar semua makanan yang kamu pesan hari ini. Gimana?"
Meski sempat mengulum bibir sebentar, Amaya tetap mengangguk mantap pada menit berikutnya. Gadis itu menyetujui persyaratan yang telah dia lakukan dengan si lawan bicara.
"Kalo gitu, aku pergi sekarang aja. Sebelum nanti papasan sama ayahku dan malah ketauan."
Shankara berdiri menjauh dari sana, kemudian menghampiri Dion yang tengah meletakkan pesanan ke meja sebelah. Dia memberikan pemuda berkacamata sebuah masker putih, lantas berbisik, "Pake ini, Bro. Aku bakal sembunyi di kamar mandi sekarang."
Amaya menatap punggung Shankara yang semakin menjauh, lantas menghilang setelah ditelan oleh pintu yang berada di ujung ruangan kafe. Dia menatap ke arah jus jeruk yang ada di meja, kemudian menoleh ke luar melalui jendela.
Gadis itu sedikit membulatkan mata kala melihat seorang pria paruh baya yang berjalan mendekat ke bangunan tempat Amaya sekarang sambil menggenggam erat tangan wanita di sebelahnya.
"Ternyata kamu juga bukan dari keluarga yang bahagia, ya, Shan," gumamnya pelan seraya menopang dagu dengan tangan kanan.
Usai mengalihkan pandangan, Amaya membalik tubuh agak ke belakang, menatap ke arah pintu masuk. Dia memicingkan mata, mencoba memastikan lagi bahwa orang yang masuk ke sana adalah pria yang sama dengan foto yang ditunjukkan oleh Shankara beberapa saat lalu.
"Ayahnya Shan beneran selingkuh. Padahal saya berharap itu cuma dugaan buruk Shankara aja."
Amaya kembali ke posisi duduknya yang nyaman, meraih ponsel di meja, lantas menggulir layar, mencari kontak Shankara, dan mengirimkan pesan kepada pemuda itu.
Saya udah lihat sendiri, Shan. Ayah kamu pegang tangan perempuan itu. Apa saya perlu nguping lagi? Atau kita langsung pergi dari sini? Karena, saya pikir enggak ada yang perlu kita dengar dari obrolan mereka.
.
.
.
Hai para Kuaci tercinta! 🤗
Aku harap kalian menikmati bagian cerita kali ini 😗
Kasih rate 1-10 dung 🥰
.
Terima kasih banyak udah baca ini, aku berharap kalian akan terus betah untuk menyelesaikan cerita ini 😗
![](https://img.wattpad.com/cover/339963799-288-k972290.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Kenangan Bersama Hujan [Tamat]
RomanceAmaya, seorang gadis yang tidak percaya dengan orang lain, menikmati kehidupan perkuliahan dengan biasa saja, bahkan cenderung sendirian. Dia tidak memiliki teman dekat meski hanya untuk berbincang sebentar saja. Pada semester lima, Amaya terpaksa m...