Benar-Benar Suka Hujan

51 15 0
                                    

Bima menatap Shankara dengan tajam, kemudian mengembuskan napas. Pemuda berkuncir itu mengalihkan pandangan ke dua orang yang duduk di depannya, Dion dan Soleh. Seakan-akan ketiga orang itu bertukar pikiran yang sama hanya melalui saling lihat, tampak mereka menggeleng bersamaan, lantas kembali fokus ke arah pemuda berambut legam yang terlihat tertawa di akhir kalimat yang keluar dari bibir bebeknya.

"Terus, nih! Amaya itu enggak suka sama hujan, aneh banget, 'kan? Dia suka minuman soda yang kemasan kaleng. Mukanya juga sering cemberut begini," ujar Shankara dengan menekan ujung alis ke atas.

"Dia sayang banget sama tantenya, waktu baru dikasih anting baru, dia langsung pake, loh!" Shankara tersenyum lebar sambil memegang ujung telinga.

"Terus! Terus! Bulan lalu aku baru tau kalo dia pernah pelihara landak dulu karena dikasih tau sama Raka—"

Dion mengangkat tangan, memberi tanda untuk sang sahabat berhenti berbicara. "Shan, kamu udah kasih tau kami semuanya seminggu lalu. Bahkan hari ini udah ketiga kalinya kamu terus ceritain Amaya setiap ngumpul."

Tampak Shankara menggaruk kepala. "Apa, iya? Kalo tentang alasan kenapa Amaya pake bunga kaktus buat hiasan di—"

"Itu juga udah pernah kamu ceritain," potong Bima seraya mengupas jeruk yang ada di meja ruang tamu rumahnya.

"Kalo soal warna baju yang sering Amaya pake? Dia selalu pake warna gelap, enggak pernah warna terang yang—"

"Udah, Shan. Maaf aku nyela kamu." Soleh meringis kecil, lantas mengambil toples biskuit kacang dan memberikannya kepada Shankara.

Setelah menerima pemberian Soleh, Shankara meletakkannya ke atas pangkuan Bima yang duduk di sebelahnya. Dia membuka tutup, mengambil satu keping, lantas memasukkan ke dalam mulut.

Bima melihat ke arah Shankara dengan menopang siku ke meja, membersihkan remahan biskuit yang mengotori sisi bibir sang sahabat dengan ibu jari, kemudian tertawa kecil, membuat subjek yang ditatap menautkan kedua alisnya.

"Kamu sadar enggak, sih, Shan?" tanya Bima, lalu meletakkan jeruk yang sudah dikupas ke piring.

"Sadar apa?" Shankara bersuara setelah menelan makanan yang telah dikunyah. Dia melihat Bima, kemudian Soleh dan Dion bergantian dengan kening berkerut.

"Kamu itu suka sama Amaya. Bukan sebagai teman, tapi lebih." Bima menggeser piring ke tengah meja. "Makan, nih. Udah aku kupasin."

Dion mengangguk diikuti Soleh yang duduk di sebelahnya, mereka menyahut bersamaan sambil mengalihkan pandangan dari Shankara ke Bima. "Makasih, Bima!"

Sebab mendengar penuturan dari tiga sahabatnya, Shankara tanpa sadar membuka mulut lebar. Jika saja dagu pemuda itu tidak ditekan dari bawah untuk tertutup lagi oleh Bima, bisa saja jeruk yang ada di dalam sana sudah menggelinding ke luar.

Soleh menuang air ke gelas, menyodorkan ke depan Shankara. "Minum dulu, Shan. Kamu bahkan kelihatan lebih kaget dibandingkan aku waktu dengar ibuku mau nikah lagi."

"Ha? Beneran mau nikah lagi?" Dion menatap Soleh dengan mata membola.

"Enggak, itu cuma umpama, bego!" Bima kehabisan stok sabarnya, bahkan pemuda berkuncir satu itu melemparkan satu keping biskuit ke arah Dion.

"Umpamanya gelap banget kayak pantat wajan enggak digosok," timpal Dion dan meringis kecil.

Setelah menelan jeruk, Shankara mengambil gelas di depannya. Dia minum dalam beberapa kali teguk sampai habis, bahkan Dion sampai memindahkan tisu ke depannya karena melihat lelehan air yang turun dari sudut bibir pemuda berambut gelap tersebut.

"Enggak! Aku enggak mungkin suka cewek kayak Amaya!" teriak Shankara setelah mengelap mulutnya dengan tisu. "Akkkkh! Enggak mungkin!"

Sontak ketiga orang di sana menutup telinga karena suara Shankara yang cukup nyaring.

Kenangan Bersama Hujan [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang