Terima Kasih Karena Udah Tunggu

83 12 0
                                    

Di toko roti, tepat pada salah satu meja yang berada di sudut, bersebalahan dengan jendela, tampak tiga orang pria sebaya tengah memakan satu per satu hidangan yang telah ada di meja.

Seorang pria berkemeja biru dongker dengan celana kain longgar hitam rapi tengah mengerutkan bibir dengan sedikit menggaruk ujung alis dengan jari telunjuk. Dia berkedip beberapa kali, lalu menggeleng kala menoleh ke sosok pria berkuncir di sebelahnya.

"Ayo, Shan! Kamu harus ikut kencan buta kali ini atau ibu kamu bakal bakar aku hidup-hidup!" Pria berkemeja polos krem itu sibuk menarik lengan sang sahabat.

"Bima, aku udah bilang berapa kali ke kamu? Aku enggak mau ikut. Kalian aja ikut sana!" Shankara mengempaskan tangan, membuat orang yang memegang bajunya terdorong dan hampir mencium jendela.

"Gila, ya! Aku bisa dibunuh sama istriku kalo tau ikut begituan." Bima mengaduk kopi hangatnya sambil memberikan pandangan penuh kode kepada pria berlesungbpipi yang duduk di depannya.

"Kalo gitu berhenti suruh aku buat ikutan kalo kalian sendiri enggak pergi," sahut Shankara, lantas menyesap cokelat panas miliknya.

"Kamu udah dua puluh delapan tahun, Shan. Karir kamu bagus karena keterima di perusahan yang sesuai dengan jurusan yang kamu ambil dulu, bahkan jadi kepala bagian di divisi perancangan aplikasi hanya dalam kurun waktu empat tahun bekerja. Apa lagi yang harus kamu tunggu, Shan? Udah waktunya untuk cari istri." Kali ini, pria berlesung pipi ikut ke dalam percakapan yang mulai memanas itu.

Usai menelan minuman miliknya, Bima kembali berkata, "Bener kata Soleh. Jangan bilang kalo kamu masih nungguin Amaya?"

Shankara tersedak mendadak, batuk beberapa kali bahkan keluar cokelat dari hidung mancung itu. Dia segera meraih tisu yang diberikan pria di depannya, lantas menatap Bima dengan tidak santai.

"Dan ternyata Bima benar." Soleh menghela napas panjang. 

"Kamu pikir, apa mungkin dia masih melajang di umur segini? Ditambah dengan wajah dan otak yang seperti dia. Amaya itu cukup berpeluang besar untuk menikah di umur sebelum 26 tahun." Bima kembali memaparkan argumen.

Sambil menatap wajah Bima dengan memicingkan mata, Shankara mengangkat sebelah tangan, menunjukkan dua jari, lalu memasukkan ke dalam minuman milik si sahabat berkuncir kuda tersebut.

"Heh! Kamu mana boleh celup-celupin tangan gitu aja ke kopi susu aku!" protes Bima dan berusaha melakukan hal yang sama, tetapi sayangnya dengan sigap, Shankara lebih dulu menarik gelas miliknya agar menjauh.

"Balasan karena udah bikin kesel," ujar pria berambut legam dengan sedikit tertawa di akhir kalimatnya.

Soleh menggeleng beberapa kali saat melihat dua orang di depannya yang bisa dikatakan tidak berubah sama sekali dari dulu, bahkan mungkin lebih parah karena Bima yang terus saja memaksa Shankara agar segera menikah karena perintah dari Melan.

Ketiga pria di sana menengadah ketika sosok berkacamata datang dengan membawa nampan yang dipenuhi oleh tiga piring berisi roti yang baru saja keluar dari oven, bisa dilihat dari asap yang keluar dari makanan berbahan tepung terigu tersebut.

"Kalian harus cobain menu baru di toko roti ibu aku ini," celetuk Dion sambil meletakkan tiga piring ke atas meja, lalu mendaratkan bokong di sebelah pria berlesung pipi.

"Kita tiap ke sini kayaknya dijejalin roti terus." Soleh mengangkat satu roti yang ditaburi kacang pada bagian atas, membagi dua makanan tersebut hingga terlihat selai cokelat yang banyak sampai meleleh ke jempolnya. "Btw, yang ini enak, aku suka," ujar pria itu, lalu menjilat ujung ibu jari.

"Kalo kamu semuanya dibilang enak, bahkan yang terakhir kali juga kamu bilang enak, padahal bubuk teh hijau bukan perpaduan yang cocok untuk roti begini," ujar Bima, lantas memotong  roti susu selai stroberi dengan pisau dan garpu kecil di sana, lalu memasukkannya ke mulut. "Terlalu manis sampe asem dari buahnya enggak kerasa."

Kenangan Bersama Hujan [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang