Shankara memegang pergelangan tangan yang masih tampak memerah karena bekas tali yang mengikat beberapa waktu lalu. Dia menatap satu per satu orang yang duduk di depannya sekarang, diikuti kening yang berkerut dalam. Helaan napas keluar cukup panjang dari sosok berambut legam itu.
Saat seorang wanita paruh baya meletakkan nampan ke atas meja yang ada di ruang tamu rumah Dion, Shankara berhenti memasang wajah garang. Dia menoleh ke si pendatang, lantas tersenyum tipis.
"Terima kasih, Tante," ujarnya dengan sedikit mengangguk.
"Kalian nikmati waktu selagi di sini, ya. Tante sempat kaget waktu lihat kalian tiba-tiba keluar dari gudang belakang. Padahal bangunan kayu itu udh lama banget enggak kepake. Tapi, waktu Bima jelasin kalo kalian lagi cari barang-barang lama punya Dion dulu, Tante jadi ngerti." Wanita berambut sebahu itu tertawa pelan, kemudian menambahkan, "Kalo gitu Tante ke belakang dulu, ya. Hati-hati makan rotinya, masih panas."
Setelah melihat sosok itu berlalu dari sana, tenggelam oleh pintu yang berada di sebelah rak hitam tempat beberapa bingkai foto diletakkan, Shankara kembali menoleh ke kanan, tempat para sahabatnya yang sekarang tampak sibuk dengan beberapa kegiatan yang tidak berguna.
Seperti Soleh yang asik dengan roti selai cokelat di tangan, Bima yang menyeruput teh hangat yang dihidangkan bersamaan sebelumnya, dan Dion yang terus memencet tombol remot televisi, mencari siaran sampai akhirnya berhenti di tayangan tentang pencopet yang belum kunjung tertangkap setelah berkeliaran membuat kerusuhan selama berbulan-bulan ini.
"Jadi, sebenernya cuma kerja kelompok?" tanya Shankara.
Dion mematikan televisi, berdeham keras, kemudian menyenggol Soleh dengan siku kanan, lantas Bima di sisi kirinya secara bersamaan. Pemuda berkacamata itu meletakkan remot ke atas meja, lalu mengangkat tangan kanan—seperti murid sekolah dasar yang mengajukan pertanyaan kepada guru.
"Ak-Aku sebenarnya cuma bantuin dia!" ujarnya, lantas mengarahkan telunjuk ke kiri.
"Kalo aku cuma jadi yang tau, tapi enggak niat buat tutupin!" Soleh ikut memaparkan.
Karena mendengar penuturan dari kedua sahabatnya itu, Shankara mengacak belakang kepala. Jujur, dia merasa geram setengah mati sampai tidak henti-henti mengencangkan rahang sejak pertama kali melihat wajah ketiga temannya itu berada di gudang, tetapi luluh setelah ketiga orang pelaku dari aksi penculikan tersebut memohon maaf dengan bersimpuh serta kedua tangan menutup di depan dada. Jangan lupakan, Soleh, Dion, dan Bima bahkan sampai memeluk kaki Shankara yang masih mereka ikat setelah menjelaskan semua yang terjadi kepada si pemilik ducklips di sana.
"Kalian seharusnya bilang sejak awal!" Shankara meninggikan suara, serentak dengan tangan yang menggebrak meja.
"Maaf, Shan. Enggak seharusnya aku tutupin ini. Cuma karena aku takut kamu bakal curiga terus ke Amaya dan aku, jadi aku ambil keputusan yang seperti itu." Bima membuka mulut usai meletakkan lagi cangkir teh.
"Kamu bahkan sampai paksa Amaya untuk ikutan bohong hanya karena ini. Luar biasa, Bima," sahut Shankara, lalu memijat pelipis.
"Aku tau kamu tipe pacar yang gimana ke Amaya. Aku cuma cari aman, Shan. Aku juga enggak nyangka bakal berakhir kayak malam itu. Maaf sekali lagi," balas Bima dengan sedikit lirih pada kalimat terakhirnya.
Shankara menopang kepala dengan kedua tangan di meja. Secara mendadak, semua yang terjadi di malam puncak ulang tahun jurusan kembali berputar di otak pemuda itu. Tentang seluruh perkataanya kepada Amaya, mengatakan bahwa pemilik lesung pipi manis tersebut tidak berbeda sama sekali dengan sang ayah, sampai bibir agak tebal di sana meringis cukup kuat karena menyesal atas apa yang sudah terjadi.
Kala kembali menatap lagi sang lawan bicara, Shankara menunjuk ketiga orang di depannya lantas berkata, "Kenapa kalian enggak bilang langsung semuanya malam itu?"
"Kamu lupa? Kamu yang bilang jangan ikut campur dan suruh kita bertiga diam." Soleh mengunyah makanannya.
Dion mengangguk. "Muka kamu malam itu, aku ingat jelas. Bener-bener bikin takut. Kamu pikir, siapa yang bakal berani bantah omongan kamu kalo kamu udah gini?" Dia memegang ujung alis kemudian menariknya ke atas.
"Aku pikir, malam itu Amaya juga cukup takut sama sikap kamu, Shan. Dia sampai gemetaran waktu pegang ujung bajunya." Bima ikut beropini.
"Sial!" umpat Shankara. "Aku harus temui Amaya sekarang." Pemuda itu berdiri.
"Besok aja, udah malam, bahaya." Bima ikut bangkit dari duduknya.
"Iya, Shan." Dion dan Soleh berujar serentak.
"Enggak bisa, aku udah jahat ke Amaya. Aku harus minta maaf ke dia sekarang juga!" Shankara masih tetap bersikeras.
***
Amaya menyeret langkah ke ruang tamu, mendapati sang tante tengah duduk menonton berita malam terkini yang tengah ditayangkan pada televisi di sana. Dia berlalu begitu saja di depan Anna, lalu berhenti kala merasakan getaran pada saku celana longgar abu gelap yang dikenakan.Setelah mengangkat panggilan, Amaya pun menoleh lagi ke layar kaca yang tengah ditonton oleh Anna. Dia mengeratkan pegangan pada ponsel bersamaan mata yang beralih ke sang tante.
"Amaya, ini di tv ada orang yang dibawa ke dalam ambulans mirip sama—"
Apa yang dikatakan Anna seakan-akan tidak lagi terdengar oleh Amaya karena ada yang jauh lebih berisik di ujung sana.
"Amaya! Kamu masih di sana? Halo!" Suara dari seberang masih terus menunggu jawaban.
"Shankara lagi dibawa ke rumah sakit umum jati bakti. Aku, Soleh, dan Dion lagi di jalan."
Amaya tanpa sadar melepaskan begitu saja ponsel, membuat benda itu luruh dan menghantam lantai cukup kuat sampai padam. Dia menatap Anna yang tampak sudah berdiri dan berlari menuju ke arahnya, meraih tubuh mungil tersebut ke dalam pelukan hangat wanita berbadan tambun di sana.
"Menurut para saksi yang kala itu ingin menutup toko, korban ditusuk dengan sebuah pisau karena berusaha menyelamatkan seorang wanita paruh baya yang dijadikan target oleh pelaku. Saat ini, pelaku sudah diamankan, berhasil ditangkap oleh polisi yang dihubungi oleh saksi, sedangkan korban tengah dibawa ke rumah sakit untuk segera mendapatkan penanganan. Kami kembalikan lagi ke ...."
Siaran berita malam pun berhenti, berganti menjadi tayangan iklan pasta gigi.
Amaya memegang lengan Anna cukup erat, kemudian memandang wajah sang tante dengan mata berlinang. Bibir kecil miliknya bergetar hebat kala terbuka sedikit, tetapi kembali menutup. Dia berusaha mengeluarkan kalimat kepada wanita yang memeluknya walau semua seperti tertahan pada kerongkongan.
"Ta-Tante, Sh-Shan ..." ucapnya lirih.
"Iya, Amaya. Tante tau, sekarang, kamu tenang dulu, oke?" Anna mengusap kedua pipi sang keponakan yang sudah basah. "Tante telfon taksi online dulu, kita langsung berangkat ke rumah sakit untuk lihat kondisi Shankara."
.
Adooooh! Ini masalah perasaan enggak kelar-kelar siapa sih yang nulis? Bikin capek aja 😔Aku harap kalian tidak memakiku seperti itu, tapi jika kalian melakukannya berarti cerita ini benar-benar membuat kalian kesal, dan aku senang 🤭
Sebelumnya, terima kasih banyak karena udah membaca sampai sejauh ini. Aku harap kalian meninggalkan jejak dan membagikan karya ini ke semua akun sosmed kalian 😗
Sekali lagi terima kasih banyak, maaf atas banyak kurang yang ada, aku harap kalian selalu sehat dan bahagia 🤗
.
![](https://img.wattpad.com/cover/339963799-288-k972290.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Kenangan Bersama Hujan [Tamat]
RomanceAmaya, seorang gadis yang tidak percaya dengan orang lain, menikmati kehidupan perkuliahan dengan biasa saja, bahkan cenderung sendirian. Dia tidak memiliki teman dekat meski hanya untuk berbincang sebentar saja. Pada semester lima, Amaya terpaksa m...