Amaya menaikkan semua helai rambut ke atas, mengikat rambut lurus itu dengan asal, tetapi berhasil menunjukkan leher putih cantiknya sangat jelas. Dia membuka kacamata berbingkai oval anti radiasi yang dikenakan, kemudian menoleh ke kanan, menatap Shankara yang sejak tadi masih diam saja padahal mereka sudah duduk di salah satu meja pelanggan bersama hampir setengah jam di kedai ayam goreng Anna.
Setelah menggeser laptop yang sudah dimatikan, Amaya mengatur posisi kursi kayu tempat duduk supaya menghadap langsung ke orang di sebelahnya. Dia menyentuh sebelah pipi Shankara dengan telunjuk.
"Kamu kelihatan kurang sehat, semuanya baik-baik aja?" tanya Amaya.
Usai meraih jari Amaya, Shankara membetulkan posisi agar kepala yang berbaring di atas meja untuk bangun. Dia memegang tangan sang kekasih, lantas meletakkan ke atas lututnya.
"Ay, ada sesuatu yang mau aku bilang." Shan mengeratkan genggaman ke punggung tangan yang lebih kecil itu.
"Ya, kamu boleh bilang apa pun," sahut Amaya dengan mengukir senyum manisnya.
"Sebenernya, aku lagi ada beberapa masalah. Ibu dan ayah—"
Ucapan Shankara terhenti karena dering ponsel milik Amaya yang ada di atas meja. Secara bersamaan, mata pemuda berambut legam itu langsung tertuju ke nama kontak yang muncul di layar benda pipih pintar tersebut.
"Bima teman Shan?" gumam Shankara sangat pelan.
Amaya menarik tangan dari genggaman sang kekasih, segera mengambil ponsel, kemudian dengan cepat berdiri. "Aku angkat ini dulu, ya."
Setelahnya, sosok bertubuh mungil itu pun menjauh dari sana, meninggalkan Shankara yang masih dipenuhi cukup banyak pertanyaan di dalam benak.
Selepas itu, di dapur, Amaya berdiri di sebelah wastafel dengan bokong menyandar di ujung meja. Dia menarik napas lega kala menoleh sesekali ke tirai pintu.
Usai ponsel berada di telinga, gadis itu berdeham sekali, lantas berkata, "Ada apa?"
"Kamu di-chat enggak balas, aku butuh file yang kemarin, kirimin cepat!" Suara di sana menginterupsi.
"Saya juga sibuk, enggak 24 jam pegang handphone terus. Nanti saya kirim, kamu jangan telfon saya mendadak kayak tadi." Amaya mendecak pada akhir katanya.
"Iya, ya, sorry. Pokoknya nanti kirimin, ya."
"Iya, kalo gitu, saya tutup dulu."
Amaya menggenggam ponsel cukup erat setelah panggilan terputus. Dia berlari kecil keluar dari dapur, kemudian segera menuju ke arah meja yang ditempati olehnya dengan Shankara beberapa menit lalu. Namun, sesampai di sana, gadis itu malah tidak mendapati sosok tinggi berkemeja polos navy itu di sana. Amaya melihat sekeliling tempat, berharap menemukan Shankara, tetapi nihil, si pemilik duck lips tidak ada.
"Tante, Shankara ada pamit pergi?" tanya Amaya kala berdiri di depan meja kasir.
"Ada, dia bayar tagihan, terus pergi gitu aja." Anna menjawab tanpa menoleh karena sibuk menyusun uang di dalam laci.
***
Di ruangan himpunan, Bima duduk bersila dengan menghadap Soleh dan Dion yang tampak memegang sebuah penggaris besi. Pemuda berkuncir satu itu mengusap wajah secara kasar, lalu mengelap keringat di atas bibir, merasa panas menjalar meski suhu di sana cukup sejuk karena air conditioner menyala.Bima menunduk, melihat lagi ponsel milik Dion yang sejak tadi telah disodorkan oleh sang pemilik. Tampak pada layar benda itu sebuah foto yang diambil dengan menunjukkan dirinya dan seorang gadis tengah duduk di sebuah kafe bernuansa klasik.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kenangan Bersama Hujan [Tamat]
RomansaAmaya, seorang gadis yang tidak percaya dengan orang lain, menikmati kehidupan perkuliahan dengan biasa saja, bahkan cenderung sendirian. Dia tidak memiliki teman dekat meski hanya untuk berbincang sebentar saja. Pada semester lima, Amaya terpaksa m...