Amaya berdiri di depan ruangan yang dijadikan tempat perkumpulan anak-anak himpunan jurusan. Dia memiringkan kepala, berusaha mengintip dari kaca yang berada di tengah pintu, ingin melihat siapa saja orang di dalam sana. Gadis itu mundur beberapa langkah ketika melihat sosok tinggi mendekat.
Sambil membuang wajah ke samping, Amaya menggaruk belakang lehernya yang mendadak terasa gatal karena kena ujung rambut yang dikuncir. Dia kembali melihat ke arah pemuda yang baru saja keluar dengan sedikit menengadah.
"Tumben kamu mau ketemu aku di luar jam belajar kita," ujar Shankara seraya menutup lagi pintu di belakangnya.
"Aku cuma mau kasih ini." Amaya mengangkat sebuah paper bag, lantas menyodorkannya kepada si lawan bicara.
"Hm? Apa ini?" tanya Shankara, lalu mengambil pemberian Amaya. Dia membuka paper bag, kemudian tampak alis tidak begitu tebal itu agak terangkat, bersamaan dengan bibir melengkung ke bawah. "Dalam rangka apa kasih beginian?" imbuhnya dengan mengeluarkan sebuah kotak bekal.
"Sup ayam dan jus buah naga sebagai ucapan terima kasih karena udah bantu aku waktu hampir ketabrak empat hari lalu," jawab Amaya tanpa ekspresi di wajah cantik itu. "Saya enggak tau itu sesuai selera kamu atau enggak." Dia menggaruk pipi dengan telunjuk kanannya.
Shankara melihat ke arah lawan bicara, memandang jari gadis di depannya, lantas sedikit meringis. "Kamu bisa kasih aku uang kalo merasa sangat berterima kasih," balasnya, kemudian kembali memasukkan kotak bekal ke paper bag.
"Agak enggak tau diri. Tapi, karena ini kamu, jadi enggak heran." Amaya menggeleng pelan di akhir kalimatnya.
"Coba sini," titah Shankara dengan menadah sebelah tangannya yang bebas.
"Kamu beneran mau ambil uang saya? Jahat banget." Amaya merogoh tas jinjing di bahu sambil terus menggerutu kesal. Setelah diambilnya uang sepuluh ribuan dengan tangan kiri, kemudian dia letakkan benda itu ke telapak tangan besar di depannya. "Nih, dasar serakah!"
Amaya menaikkan bahu karena sedikit terkejut saat hendak menarik tangan, Shankara malah memegang pergelangannya. Gadis itu mengerutkan dahi, kemudian berujar, "Kenapa? Sepuluh ribu kurang?"
"Enggak, bukan itu." Shankara menggeleng, kemudian membuka genggaman, dan menyentuh telunjuk Amaya perlahan. Meski pelan, bisa terdengar jelas gadis tersebut agak meringis.
"Aku pikir kamu jago dalam segala hal. Tapi, kamu buruk dalam memasak," ucap Shankara, kemudian terkikik pelan.
Usai melepaskan tangan Amaya, Shankara merogoh saku jaket denim yang dikenakan, mengambil sebuah plester, lantas menyodorkan kepada orang di depannya bersamaan dengan uang yang beberapa detik lalu dia ambil.
"Nih, pake," tutur Shankara yang terdengar seperti perintah.
"Aku bisa obati ini sendiri," sahut Amaya dengan intonasi sedikit tinggi.
"Aku tau kamu bisa sendiri. Tapi, aku pikir enggak ada salahnya kasih ini ke kamu. Dengan dapat pertolongan, kamu enggak akan kelihatan lebih bodoh dari aku, kok." Shankara mengembuskan napas kasar di akhir kalimatnya.
Amaya mengigit bibir bawah sebentar, kemudian mengambil plester itu. "Makasih," ujarnya pelan.
"Apa! Enggak dengar!" teriak Shankara dengan satu tangan di belakang telinga.
"Selain bego, kamu juga budeg. Saya bilang, makasih!" Amaya menjerit cukup kuat, bahkan sedikit menjijit untuk menyamai tubuh dengan si lawan bicara.
Terdengar suara tawa Shankara memenuhi koridor depan ruangan himpunan jurusan. Dia menyeka air yang keluar dari ujung mata dengan punggung tangan. "Oke, oke. Aku udah dengar. Kalo enggak ada yang mau dibicarain lagi, aku masuk dulu."
Pemuda itu hendak beranjak, bahkan sudah berbalik dan membuka pintu sedikit, tetapi langkahnya terhenti kala lengannya ditahan oleh Amaya dari belakang. Shankara kembali memutar arah, melihat gadis berambut lurus di sana dengan sedikit menaikkan kedua alis yang tidak begitu tebalnya tersebut.
"Ada yang mau saya tanyain."
"Tanya aja," ujar Shankara.
"Kamu udah mendingan? Maksud saya, kamu terus batalin janji selama tiga hari berturut-turut untuk belajar bareng karena merasa enggak enak badan. Saya cuma pastiin kalo kamu enggak lagi menghindar dari saya." Amaya melepaskan genggaman di lengan besar Shankara, kemudian mundur selangkah untuk memperluas jarak di antara mereka.
"Kenapa kamu bisa mikir aku jauhin kamu, Amaya?" Shankara mengerutkan kening.
"Saya pikir kamu mungkin menghindar untuk kasih penjelasan tentang sikap kamu malam itu."
"Oh, soal itu. Aku enggak menghindar dari kamu, aku beneran sakit beberapa hari, dan juga aku enggak berniat untuk jelasin apa yang udah terjadi malam itu ke kamu. Kamu enggak keberatan, 'kan?" Shankara tersenyum tipis.
"Hm, saya enggak keberatan. Jangan pikir saya peduli tentang kamu. Saya cuma enggak suka kalo jadwal yang udah diatur terpaksa harus diubah," sahut Amaya, kemudian menyelipkan anak rambut yang tidak terikat ke belakang telinga kanannya.
"Aku enggak bilang kamu peduli sama aku, kok. Kalo gitu, aku masuk, ya. Kamu enggak ada yang mau dibicarain lagi, 'kan?" tanya Shankara yang dijawab anggukan oleh si lawan bicara.
Pada menit selanjutnya, pemuda berambut hitam dengan tubuh tinggi itu menghilang di balik pintu yang berada di depan Amaya. Tampak gadis tersebut mengulum bibir sejenak, kemudian bergumam, "Seharusnya saya enggak bilang apa-apa. Mungkin itu pertanyaan yang sensitif. Tunggu dulu, kenapa saya harus peduli tentang itu?"
Amaya menunduk sebentar, memegang dahi, lalu menyibak poni tipis itu, menunjukkan bekas luka pada sudut jidat. Dia memutar arah, lantas berjalan menjauh dari sana.
"Heh, yang di sana!"
Teriakan itu berhasil membuat Amaya berbalik, menatap kembali pintu ruangan himpunan. Dapat dia lihat seorang pemuda berkemeja kotak-kotak dengan rambut yang dikuncir baru saja keluar dari sana, melambaikan tangan, lantas berlari kecil ke arah Amaya.
Alis Amaya bertaut. "Apa kamu baru aja panggil saya, Bima?" tanyanya kepada orang yang sekarang sudah berdiri di depan gadis itu.
"Sorry, Amaya. Aku perlu bicara sama kamu sebentar, apa kamu ada waktu?" tanya Bima seraya menarik lengan kemeja yang dikenakan sedikit ke atas.
"Kalo bahas yang enggak penting saya enggak punya waktu untuk itu." Amaya hendak berlalu begitu saja, tetapi tas jinjingnya ditahan oleh Bima sampai membuat langkah gadis itu terhenti.
"Ini tentang Shankara."
Amaya kembali memutar arah tubuh, bersamaan dengan Bima yang melepaskan genggaman pada tasnya. "Tentang Shan?"
"Iya, ini tentang Shankara. Sebelumnya, aku mau minta maaf karena enggak sengaja dengar percakapan kalian tadi. Karena waktu aku mau tutup pintu yang masih kebuka, aku enggak sengaja dengar kamu tanya sesuatu ke Shan." Bima menggosok belakang lehernya perlahan.
"Nguping itu perilaku tercela," cerca Amaya yang mendapatkan desisan pelan dari si lawan bicara.
"Bukan itu poin obrolan kita. Tapi, sebelum kita bicara. Ayo, kita cari tempat lain dulu, bisa? Soalnya aku enggak mau ada yang dengar percakapan kita ini."
Amaya mengeratkan pegangan pada tas jinjing di bahunya. Dia tampak berpikir keras sampai kerutan di kening semakin dalam. Pada detik selanjutnya, gadis berambut lurus itu pun mengangguk.
.
.
.
Halo semuanya! Baik para reader lapakku (Kuaci) atau yang hany mampir untuk lihat-lihat 😗
Aku harap seburuk apa pun hari kalian hari ini, kalian tetap terus berjalan.
Tidak apa-apa, jika itu buruk hari ini berarti itu hanya hari yang buruk, bukan hidup yang buruk.
Aku bersyukur kalian bisa sampai sejauh ini 🥰
Terima kasih~
.
.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kenangan Bersama Hujan [Tamat]
RomanceAmaya, seorang gadis yang tidak percaya dengan orang lain, menikmati kehidupan perkuliahan dengan biasa saja, bahkan cenderung sendirian. Dia tidak memiliki teman dekat meski hanya untuk berbincang sebentar saja. Pada semester lima, Amaya terpaksa m...