✧ 19 ✧ Dikeluarkan Dari Tim

75 3 0
                                    

✧ H E L E N A ✧

19.  Dikeluarkan Dari Tim

Lima gadis itu terlihat tegang. Kecuali Helena, ia termasuk santai. Helena menuruni sifat kedua orang tuanya yang tak penakut, bahkan tak takut apa pun. Ia memimpin empat orang lainnya memasuki gedung.

Helena, Kaylee, Aqila, Sea dan Mia melangkahkan kaki. Mata mereka awas terhadap sekitar. Lampunya memang terang, tapi tetap saja suasananya aneh. Sebab gedung itu sangat kotor, lantainya ditutupi oleh tanah hampir lima sentimeter. Dindingnya juga kusam dan banyak tanaman merambat.

"Gue nggak tahu ada pengukuhan macam ini, tengah malam lagi," ucap Aqila.

"Pernah ada gosip kayak gini, dulu. Tapi nggak lama dan gue kira itu cuma gosip ngarang," sahut Mia.

"Gue merinding, kita harus cari permata biru itu dan keluar dari sini secepatnya," ujar Sea.

Sudah jelas kalau suasana ini membuat merinding. Siapa yang tahu tiba-tiba ada hal tak diinginkan? Gedung ini sudah lama terbengkalai.

"Gimana kalau kita berpencar?" tanya Helena.

Tepat setelah Helena mengatakan itu, seluruh listrik di gedung itu padam. Keempat gadis menjerit histeris yang menggema di langit-langit gedung. Langit-langit yang tinggi sekali di atas sana.

Empat, karena Helena tidak termasuk gadis yang menjerit. Ia memang terkejut dan dadanya sekarang berdebar. Namun, ia bergerak cepat dengan menyalakan senternya.

"Kenapa mati listriknya?" tanya Sea. Ia memeluk lengan Aqila dari samping. Matanya terpejam rapat-rapat.

"Kayaknya listrik di sini emang belum stabil deh," jawab Kaylee.

"Gue takut," ucap Sea lagi.

Kali ini, Sea terduduk di lantai. Otomatis menarik tubuh Aqila juga dan gadis itu baru menyadari ... Sea bergetar hebat karena ketakutan.

Kaylee yang sudah ikut menyalakan senternya pun mengarahkan sumber cahaya itu ke Sea. Keringat-keringat dingin terlihat di dahi itu.

"Lo nggak papa? Apa separah itu?" tanya Kaylee terdengar khawatir.

"Kita harus keluar dari sini," ucap Mia.

Mia yang tertua di antara mereka pun menyalakan senter yang sedari tadi di simpan. Dengan cepat, ia berlari menuju pintu utama untuk keluar dari sana. Helena juga mengikuti Mia dari belakang. Sedangkan Kaylee dan Aqila menjaga Sea.

Namun, pintu itu tidak bisa dibuka. Karena itu adalah pintu kaca yang transparan, mereka bisa melihat gembok kuat yang terpasang di luar.

Mereka benar-benar dikurung di tempat menyeramkan ini. Tengah malam.

"Please, help me! Gue takut gelap, gue pengen keluar." Air mata mulai mengalir dari kedua mata Sea yang terpejam.

Beberapa orang memang bisa merasakan itu saat berada dalam kegelapan. Merasa kosong dan ketakutan, walau tidak ada yang perlu ditakutkan. Dan sekali pun sudah menutup mata, otak tidak bisa dibohongi mengenai kondisi ruangan yang gelap.

Kaylee dan Aqila mengusap lengan Sea. Masing-masing di sebelah kanan dan kiri gadis itu. Berusaha menenangkan dan mengatakan kalau semuanya akan baik-baik saja.

"Kita sama-sama di sini, Sea. Lo nggak perlu takut. Kita pasti bakal keluar, listriknya bakal nyala lagi," ucap Aqila.

Kaylee menarik Sea ke pelukannya. "Sini, lo merem aja. Anggap lo lagi mau tidur."

Sea semakin terisak, tangisnya menjadi-jadi. "Gue takut! Gue takut banget, gue pengen keluar dari sini."

Melihat hal itu, Helena berpikir bahwa satu-satunya jalan keluar adalah menemukan permata biru. Hanya dengan itu, mereka akan dikeluarkan dari gedung menyeramkan itu.

Maka, ia menarik lengan Mia dan mengajak gadis itu untuk menyusuri gedung. Mereka akan mencari permata biru itu selagi Kaylee dan Aqila menenangkan Sea.

Pintu demi pintu ruangan dibuka satu per satu. Dua pasang mata itu mencari dengan teliti. Yang pasti, permata biru itu dibuat mencolok. Pasti. Tidak mungkin tidak.

Di sisi lain, masih di dekat pintu utama, suatu hal terjadi. Tiba-tiba terdengar suara menyeramkan yang menggema di langit-langit. Semacam suara lelaki mengeram dan beberapa saat kemudian wanita tertawa. Tertawa cempreng dan lepas.

"AAA!! UDAHH! JANGAN JAHAT!" teriak Sea.

Kini, Aqila dan Kaylee juga ikut ketakutan. Pikiran mereka kacau namun tak menunjukkannya. Lebih ke fokus untuk mengatasi Sea.

Apakah penghuni di gedung ini marah? Karena lima gadis itu masuk tanpa izin dan sekarang Sea berteriak-teriak?

Kaylee berdiri. "Gue mau ikut cari permata birunya."

Kemudian, Kaylee berlari menuju ke cahaya di kejauhan. Cahaya dari senter Helena dan Mia.

Ia tidak tahan kalau harus mendengar suara itu lebih lama, dengan Sea di sampingnya yang tidak membantu. Membuatnya semakin takut. Apa lagi kalau Sea malah kesurupan.

Di tengah perjalanan menuju Helena, Kaylee melihat sesuatu yang bercahaya di ventilasi salah satu pintu. Berwarna biru. Memang kecil, namun bersinar redup seperti lampu LED. Mencolok jika dilihat dari kegelapan gulita seperti ini.

"Gue nemuin permata biru!" seru Kaylee.

Helena dan Mia segera mendekat. Setelah melihatnya sekilas, mereka berdua juga merasa bahwa benda itu adalah permata birunya. Benda yang dicari-cari.

"Mia, kita berdua bakal angkat lo. Ambil permatanya," ujar Helena. Ia berkata seperti itu karena letaknya cukup tinggi, serta Mia yang memiliki tubuh paling kecil di antara mereka.

Kaylee mengangguk, ia mengambil posisi jongkok. Helena juga melakukan hal yang sama. Sehingga Mia dapat menginjak dua bahu dari gadis itu, berdiri lebih tinggi lantas mengambil permata biru.

Tanpa menunggu lama lagi, setelah permata biru itu diambil mereka berkumpul di dekat pintu utama. Kembali kepada Sea yang masih terlihat histeris ketakutan terhadap gelap.

"PERMATA BIRUNYA KETEMU!" teriak Kaylee.

"KITA UDAH NEMUIN PERMATANYA!" Mia juga berteriak sambil mengangkat permata biru di tangannya tinggi-tinggi.

Saat itu juga, listrik dinyalakan. Gembok yang mengurung mereka dibuka dari luar. Kemudian, The BS masuk dengan santai sambil bertepuk tangan. Tentunya Caitlin berada paling depan, bertepuk tangan paling anggun dengan senyuman.

"Congratulations, girls! Kalian berhasil," ucap Caitlin.

Sea masih terduduk di lantai, Aqila setia menemaninya di sisi tubuh. Wajahnya masih syok, berkeringat dingin. Napasnya juga memburu seperti orang yang baru saja melakukan lari sprint.

"Kecuali lo." Mata Caitlin menatap Sea. Menusuk namun tenang secara bersamaan. "Lo gagal. Lo dikeluarin dari tim."

Wajah Sea terkejut. Dengan sekuat tenaga, ia memaksa berdiri mendekati Caitlin. Memegang tangan leader Starlight itu dan memohon-mohon.

"Jangan, gue mohon. Jangan keluarin gue," ujar Sea. Suaranya bergetar, ia melakukannya sambil menangis. "Gue punya Nyctophobia, fobia gelap. Malam ini emang berat banget, tapi pengukuhan selanjutnya bakal gue jalanin dengan baik."

"Sayangnya gue nggak melakukan tawar-menawar," balas Caitlin dengan santai. Terlihat berwibawa. "Yang malam ini kita pelajari adalah bersikap tenang di bawah tekanan. Sebagai seorang Cheerleader, kita harus nunjukin penampilan terbaik. Entah kita lagi di posisi diselingkuhin, orang tua cerai, ditinggal temen, kakek nenek meninggal ... kita tetap harus tampil maksimal. Keep smiling, keep shining. Karena kita adalah Starlight."

Helena menelan ludah. Ia paham apa yang dimaksudkan dengan kalimat panjang Caitlin itu.

"Tapi malam ini, lo benar-benar mengecewakan. Lo nggak layak masuk Fifteen Girls dan gue bakal pilih orang baru besok, buat gantiin lo."

•••

HELENA (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang