BAB 7: Salsa

1.5K 259 6
                                    


Sadam keluar dari kantor kepala sekolah dengan wajah lesu. Dua jam lalu, dia mendapatkan telepon dari sekolah Salsa yang mengatakan ada kejadian yang mengharuskan Sadam datang ke sekolah.

Lelaki itu berjalan menyusuri koridor sekolah. Dia melihat Salsa duduk di kursi panjang berwarna putih seorang diri. Putrinya itu menunduk, memainkan ujung roknya. Di sisi lain, seorang guru perempuan menunggu Salsa. Guru berambut pendek itu menoleh begitu Sadam mendekat.

"Pak Sadam," panggil guru tersebut.

"Bu Mila," balas Sadam. "Maaf sudah merepotkan."

Mila menarik sudut-sudut bibirnya, lalu berkata, "Sama-sama. Saya serahkan Salsa, ya, Pak."

Sadam mengangguk.

Mila mendekati Salsa, mengelus pelan rambutnya. Lalu, dia meninggalkan Sadam dan Salsa berdua.

Setelah kepergian Mila, Sadam menekuk lututnya, mensejajarkan tubuhnya dengan Salsa.

"Mau makan es krim?" tawar Sadam. Dengan kedua bola matanya yang mungil itu, Salsa melihat ke arah Sadam dengan takut-takut. "Mau?" tanya Sadam lagi. Salsa menggeleng. Sadam menyentuh tangan mungil Salsa, melihat tangan itu dengan hati yang kacau. "Salsa mau makan apa kalau begitu?"

"Pizza," jawab Salsa.

Sadam tersenyum, lalu dia memeluk anak perempuannya itu dengan sayang. "Oke. Ayo makan pizza." Sadam berdiri, mengulurkan tangannya ke arah Salsa. Anak perempuannya itu menyambut tangannya dan turun dari kursi.

Lelaki itu membawa anaknya ke sebuah restoran cepat saji dan memesan pizza. Salsa memakan potongan pizzanya dengan garpu dan pisau. Sadam memperhatikan anaknya itu dengan pikiran berkecamuk. Lalu, ponselnya berdering.

"Papa angkat telepon dulu, ya," ucapnya pada Salsa. Anak perempuannya itu mengangguk dan melanjutkan makan siangnya.

Sadam menjauh dari keramaian dan mengangkat telepon. Panggilan telepon tersebut dari kantor. Memang, dia meninggalkan kantor di jam kerja untuk menemui Salsa.

Menjelang makan siang tadi, Sadam menemui kepala sekolah Salsa. Di sana dia mendapatkan informasi bahwa Salsa bertengkar dengan salah satu murid dan anaknya itu menusuk temannya dengan pensil. Ujung pensil yang lancip itu mengenai atas telinga temannya dan membuat temannya itu berdarah.

Mendengar penjelasan kepala sekolah membuat Sadam terkejut. Dia tidak menyangka Salsa mampu melakukan hal itu.

Selama ini, Sadam mengenal Salsa sebagai anak yang penurut dan pendiam. Tidak banyak hal yang diungkapkan Salsa untuk anak seusianya. Justru itulah yang membuat Sadam frustrasi.

Hari senin besok, Sadam akan bertemu dengan wali murid yang anaknya dilukai oleh Salsa. Dia tahu, dia harus melakukan itu dan membereskan masalah ini. Hanya saja, hal yang membuat Sadam cemas adalah keadaan Salsa. Bagaimana dia menghadapi anaknya itu? Apa yang harus dilakukan Sadam selanjutnya?

Lelaki itu mematikan telepon begitu selesai bicara dengan Yukio. Lalu, dia kembali mengantongi ponselnya dan berjalan menghampiri Salsa. Begitu kembali duduk, Salsa melihat ke arahnya.

"Setelah ini, Papa mau bicara sama Salsa," katanya. "Boleh?"

Seakan-akan Salsa seorang perempuan dewasa, anak itu mengangguk dan tahu apa yang akan dibicarakan oleh ayahnya.

***

"Salsa tahu, Papa nggak marah sama Salsa," kata Sadam.

Salsa menunduk. Dia memilin ujung roknya lagi. Sadam tahu, Salsa tidak nyaman dengan keadaan ini. Tapi, dia harus melakukannya agar Sadam tahu harus bagaimana menghadapi anaknya.

"Papa ingin tahu, kenapa Salsa melakukan itu?" Sadam kembali bersuara. Salsa semakin menunduk. Dia mendesah. "Oke, kalau Salsa nggak bisa cerita sekarang. Tapi, nanti cerita, ya."

Kali ini, Salsa mengangguk. Melihat itu, Sadam merasa lega. Lalu, dia mengajak Salsa pergi dari restoran cepat saji itu.

"Kita pergi sekarang, ya," ucap Sadam. "Papa harus kembali kerja."

Salsa mengangguk lagi.

Sadam membawa sisa pizza mereka dan mengajak Salsa ke mobil. Dia memutuskan untuk membawa Salsa ke kantor. Tidak ada pilihan lain. Selama perjalanan, dia memikirkan cara selanjutnya. Apa yang akan dilakukannya pada anaknya itu. Di sisinya, Salsa tertidur lelap dengan kepala miring ke arah sisi pintu mobil.

Ketika memutuskan untuk mengambil hak asuh Salsa, Sadam sama sekali tidak berpikir bahwa membesarkan anak seorang diri akan sesulit ini. Dia sanggup membiayai kehidupan Salsa, pendidikannya, dan lainnya yang berkaitan dengan uang. Tapi, mengenai sisi psikologi anak itu, Sadam kewalahan. Dia harus berperan sebagai seorang ayah dan ibu sekaligus.

Waktu itu, Sadam tidak memikirkan hal lain. Dalam benaknya, apabila Salsa bersama Elsa, dia takut anak itu akan kekurangan kasih sayang. Mengingat bagaimana gaya hidup Elsa. Di sisi lain, Sadam sangat menyayangi anaknya itu. Dia tidak bisa hidup berjauhan dengannya. Namun, sekarang dia mempertanyakan kecemasannya itu kepada dirinya sendiri. Apakah Salsa sudah dapat kasih sayang penuh darinya?

Sadam mendesah. Dia kembali melirik Salsa. Anaknya itu masih tertidur dengan pulas. Selang beberapa menit, mereka sampai di kantor Sadam. Lelaki itu memarkirkan mobilnya di basement, lalu mematikan mesin mobil.

"Salsa ..." panggil Sadam. Dia menyentuh pundak Salsa perlahan. Gadis itu bergerak dan membuka matanya. Sama sekali tidak merengek karena dibangunkan. "Turun, yuk."

Salsa mengangguk. Dia mengerjap-ngerjapkan matanya berulang kali, lalu menguceknya sebentar.

Sadam membuka pintu mobil, kemudian turun. Dia berjalan memutar lalu membukakan pintu untuk Salsa. Lelaki itu membuka sabuk pengaman anaknya dan menurunkan Salsa.

Dengan langkah gontai, Salsa berjalan sambil menggandeng ujung jari Sadam. Bocah itu masih mengantuk, tetapi dia memaksakan diri untuk membuka matanya. Sadam tidak punya pilihan lain, sebab di apartemen tidak ada siapa-siapa. Dia tidak mungkin membiarkan Salsa di tempat itu seorang diri. Maka, mengajak anak kecilnya ke kantor adalah pilihan terakhir.

Sesampainya di depan pintu kantor divisi marketing, Salsa menghentikan langkah. Sadam menyadari itu. Anaknya mencengkeram ujung jarinya lebih erat. Sadam menekuk lututnya, kemudian mengelus kepala Salsa.

"Nggak apa-apa," katanya. "Di dalam banyak orang baik."

Setelah Sadam berkata begitu, Salsa mengangguk.

Sadam kembali menggandeng tangan Salsa. Keduanya masuk ke ruang divisi marketing. Begitu keduanya masuk, pegawai di sana langsung melihat ke arah Sadam.

"Maaf, ya, nggak ada yang jaga," ucap Sadam. Orang-orang di tempat itu mengangguk, tersenyum, dan terlihat senang melihat Salsa. "Ayo." Sadam menarik pelan tangan Salsa dan membawanya ke ruangan.

Begitu Sadam dan Salsa masuk ke ruangannya. Ersa yang sejak tadi tidak bisa mengalihkan pandangannya dari sosok Salsa. Ini merupakan pertemuan pertama kali Ersa dengan Salsa. Mungkin, Salsa tidak pernah tahu bahwa dia memiliki bibi bernama Ersa.

Life After YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang