BAB 14: Kenangan Demi Kenangan

1.6K 214 9
                                    


Ersa membenci kenangan.

Perempuan itu benci ketika tiba-tiba perasaannya berbuah sendu ketika mengingat kenangan. Dia benci karena ingatan itu akan merusak suasana hatinya, secara tiba-tiba. Dulu dia selalu bisa mengatasi perasaannya yang tiba-tiba saja sendu. Tapi, sejak berpisah dengan Sadam, Ersa sulit melakukannya.

Hubungannya dengan Sadam lebih dari sepasang kekasih pada umumnya. Ersa terlalu naif hingga berpikir akan berakhir dengan lelaki itu, maka ketika Sadam meminta miliknya, Ersa tidak berpikir panjang.

Kala itu, Ersa baru mau masuk semester dua dan Sadam sudah lulus kuliah. Dia sudah berpacaran dengan Sadam satu tahun. Perempuan itu pikir, Sadam adalah orang yang dia cari. Laki-laki yang bisa membantunya di masa depan. Lelaki yang akan menjadi suaminya.

Ketika keduanya duduk berdua di tepi pantai, Sadam mengatakan sesuatu pada Ersa. Pengakuan yang diucapkan Sadam itu membuat Ersa membulatkan matanya. Dia gusar, sekaligus sedih.

"Aku akan ke Melbourne," ucap Sadam. Dia menatap ke arah lautan lepas. Lalu, beralih ke arah Ersa. Kedua mata Sadam menyipit, melihat Ersa yang membeku setelah mendengar pernyataannya. "Melanjutkan kuliah. Ini rencana mendadak."

"Dan kamu nggak bilang apa-apa?" tanya Ersa, begitu dia bisa mengendalikan diri. Kini, dia melihat ke arah lautan. Di sana dia melihat beberapa remaja melakukan swafoto, bermain pasir, berlarian. Mereka terlihat bahagia, tanpa ada beban. Berbeda dengan hati Ersa saat ini.

"Ini lagi bilang, 'kan?" sahut Sadam. "Keputusan ini mendadak. Aku ingin ke sana."

Ersa mendesah. Ada pikiran untuk melarang Sadam melakukan itu, tetapi Ersa tidak ingin menjadi penghambat masa depan Sadam.

"Kamu nggak apa-apa?" tanya Sadam. Dia melihat ke arah Ersa. Perempuan itu tidak menatapnya sama sekali. Sadam menunggu reaksi perempuan itu.

Perempuan itu akhirnya menoleh, "Tentu, aku kenapa-kenapa."

"Maaf," sahut Sadam.

Ersa mendesah. Dia berdiri, membersihkan pantatnya dari butiran pasir, lalu berjalan menjauhi Sadam. Saat itu, hati Ersa luar biasa dongkol. Dia antara sedih dan marah pada Sadam. Bisa-bisanya lelaki itu akan meninggalkannya.

"Sa!" panggil Sadam.

Lelaki itu mengikuti langkah kaki Ersa, menarik pergelangan tangannya. "Kita belum selesai bicara. Dewasalah sedikit," tukas Sadam.

"Aku memang masih remaja," sahut Ersa.

"Sa, tolong," sahut Sadam. "Waktu kita nggak banyak, kamu mau bertingkah seperti ini?" tambahnya. "Kita nggak akan berpisah."

"Tapi kita akan berjauhan," sahut Ersa. "Apa bedanya dengan perpisahan?"

"Sa ..."

Ersa melepaskan tangan Sadam, "Aku butuh waktu."

Sadam melepaskan tangan Ersa, lalu perempuan itu berjalan cepat menjauhinya. Dia mengikuti Ersa, tetapi tidak mengejarnya. Dia ingin mengatakan pada Ersa bahwa hal ini juga berat untuknya, tetapi dia tahu, Ersa tidak akan percaya dengan apa pun yang dikatakannya saat ini.

Maka, dia membiarkan Ersa pergi.

Selang beberapa hari, Ersa memberikan miliknya pada Sadam. Dia berpikir dengan begitu Sadam tahu bahwa Ersa sudah menjadi miliknya dan mereka akan bersama selamanya. Ternyata, dia salah.

***

Pukul satu pagi, Ersa masih terjaga.

Perempuan itu meringkuk di bawah selimut hotel. Kedua matanya terpejam, tetapi tidak benar-benar tidur. Apa yang terjadi dengannya beberapa waktu yang lalu membuat Ersa kesulitan tidur. Kenangan itu kembali, ketika dia menyerahkan miliknya pada Sadam. Padahal, kejadian itu sudah berlalu, ketika dia masih remaja dewasa.

"Sial," gumam Ersa, masih dengan mata tertutup.

"Apa?" sahut Yukio. Perempuan itu baru saja merebahkan dirinya ke atas ranjang, lalu dia mendengar Ersa bicara. "Kupikir kamu sudah tidur."

Ersa membuka selimutnya, dia melihat ke arah Yukio. "Ah, maaf, Kio. Aku asal bicara."

"Ada apa?" tanya Yukio. "Ke mana kalian tadi?"

"Hah?"

"Kamu dan Pak Sadam," sahut Yukio. "Kamu tadi bilang makan malam dengan Pak Sadam, kan?"

"Ya," sahut Ersa. Dia menyebutkan restoran yang dia datangi dengan Sadam tadi.

"Ah, aku nggak jauh dari sana," ucap Yukio. Kini, Yukio meletakkan kepalanya ke atas bantal. Mereka saling bertatapan. "Ada apa?"

"Hm?"

"Kamu terlihat banyak pikiran," ucap Yukio. Dia memejamkan matanya. "Aku mengantuk sekali."

"Kita tidur saja."

"Oke."

Tidak jauh dari kamar mereka, Sadam duduk termenung di sisi ranjang. Dia baru saja menelepon pengasuh paruh waktu yang dia pekerjakan untuk menjaga Salsa. Lelaki itu melamun, dadanya berdetak perlahan, tetapi pikirannya sangat tersita.

Untuk sejenak, Sadam tergoda. Tapi, dia kembali mengingat mengenai Salsa. Ada seseorang yang jauh lebih penting yang harus dia jaga.

***

Pagi itu, Sadam mendapatkan telepon pagi buta.

Telepon itu datang dari pengasuh paruh waktu Salsa. Dengan panik, pengasuh itu mengatakan Salsa demam tinggi. Dengan mata masih mengantuk, Sadam mengatakan pada perempuan itu untuk segera membawa Salsa ke rumah sakit.

Dengan cepat, Sadam mengemasi barangnya, lalu dia menghubungi Ersa melalui telepon. Tidak lama kemudian, Ersa muncul di balik pintu kamar hotelnya.

"Ada apa, Pak?" tanya Ersa. Dia melihat Sadam. Wajah lelaki itu terlihat cemas.

"Salsa sakit," kata Sadam, terdengar tenang. "Kamu urus pekerjaan, ya. Tolong."

Ersa mengangguk. Dia ingin bertanya lebih lanjut mengenai keadaan Salsa, tetapi dia menahan diri.

Setelah Sadam mengatakan hal itu pada Ersa, lelaki itu menyerahkan beberapa dokumen pada Ersa. "Nanti aku kirim via e-mail untuk file lainnya. Kamu jangan segan-segan untuk menghubungiku kalau ada apa-apa."

"Baik," sahut Ersa.

Sadam mengangguk. "Terima kasih."

"Tentu."

Setelah itu, Sadam menyeret kopernya, dan terbang ke Jakarta saat itu juga.

***

Ersa dan Yukio bekerja sama.

Tanpa adanya Sadam, membuat Ersa dan Yukio cukup kewalahan. Mereka mengerjakan instruksi yang dikirimkan Sadam ke surel masing-masing. Keduanya bekerja keras, sampai akhirnya malam pun tiba.

Menjelang magrib, Ersa dan Yukio selesai bertemu dengan klien. Yukio memilih untuk keluar dengan kekasihnya, sedangkan Ersa memilih di dalam kamar tanpa tahu harus berbuat apa. Dia belum memiliki rencana apa-apa malam itu. Besok, mereka harus kembali ke Jakarta dan kembali bekerja.

Hal yang dipikirkan Ersa saat ini bukanlah mengenai badannya yang lelah atau apa yang akan dia makan malam ini. Tapi, mengenai keadaan Salsa. Beberapa kali, Ersa melihat layar ponselnya. Di halaman perpesanan dengan Sadam, percakapan mereka kebanyakan berisikan pekerjaan. Tidak lain.

Ersa mulai mengetik di layar ponselnya, beberapa kali, lalu dia hapus kembali. Lalu, dia mengetik lagi, lalu menghapusnya kembali. Ersa melakukan itu berkali-kali, sampai akhirnya dia memutuskan untuk tidak mengirim pesan itu.

Life After YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang