BAB 9: Rendra

1.4K 238 5
                                    


Hari itu, Ersa pulang larut.

Pada akhirnya, transaksi malam itu menjadi nostalgia kecil bagi keduanya. Ersa dan Rendra berpacaran tidak sampai satu tahun. Keduanya berpisah atas keinginan keduanya. Rendra harus ke Bandung untuk bekerja dan Ersa tidak ingin menjalin hubungan jarak jauh.

Tidak ingin lagi.

Ada banyak pertimbangan yang Ersa pikirkan ketika memutuskan untuk berpisah dengan Rendra. Beruntung, Rendra memahami keputusannya itu. Lalu, keduanya tidak saling berkirim kabar, kemudian sama-sama melanjutkan hidup.

Hari ini kebetulan Rendra ada tugas ke Jakarta. Dia memutuskan untuk bertemu dengan penjual buku yang dicarinya.

"Aku nggak nyangka kita akan bertemu seperti ini," ucap Rendra. Dia duduk dengan punggung bersandar pada sandaran kursi. Dia melihat ke arah Ersa, lalu tersenyum.

Dalam ingatan Ersa, Rendra tidak seperti ini. Kini, lelaki itu mengenakan kaca mata, rambutnya disisir rapi.

"Memangnya, kamu ingin pertemuan seperti apa?" balas Ersa. Dia membalas senyum lelaki itu.

"Apa kabar, Sa?" tanya Rendra.

Ersa tersenyum, "Baik. Kamu?"

Rendra melebarkan kedua tangannya. "Seperti yang kamu lihat."

Ersa mengangguk.

"Aku sempat mencarimu," ucap Rendra. Ersa menaikkan kedua alisnya. "Serius."

Sebelum datang ke Jakarta, Rendra sempat mencari informasi mengenai Ersa. Sudah lama mereka tidak saling berkirim pesan. Lelaki itu sempat mengirim pesan ke nomor lama Ersa, tetapi tidak ada balasan.

"Aku juga mengirim pesan ke akun instagram," cerita Rendra. "Nggak ada balasan, bahkan unggahan terakhir dua tahun lalu."

Ersa terkekeh. "Maaf," katanya. "Akun itu sudah nggak aktif. Aku kehilangan nomor lamaku, lalu nggak bisa mengakses akun itu."

"Pantas saja," sahut Rendra.

Hening. Keduanya saling bersitatap. Lalu, Rendra melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya.

"Sudah harus pergi?"

"Ya," sahut Rendra. "Sayang sekali," katanya. "Aku harus kembali ke Bandung."

"Malam-malam begini?" sahut Ersa.

"Malam-malam begini."

Ersa mengangguk. "Baiklah," ucapnya.

"Boleh aku minta nomormu?" tanya Rendra. "Aku nggak bawa uang cash."

"Ah," sahut Ersa. "Tentu."

Mereka saling menukar nomor ponsel. Lalu, Rendra bertanya, "Kamu pulang naik apa?"

"Hmm, jam segini paling naik ojek online."

"Boleh aku antar?" tanya Rendra lagi.

"Kamu nggak terburu-buru?"

"Nggak," sahut Rendra. "Aku ada waktu sekadar mengantarmu pulang."

"Maaf merepotkan."

"Nggak masalah."

***

Pertemuan tak terduga itu membuat hari Ersa sedikit menyenangkan. Rendra yang Ersa kenal memang semenyenangkan ini. Dia lelaki yang bertanggung jawab, baik, dan tidak macam-macam. Hubungan Ersa dan Rendra cukup sehat.

Sentuhan fisik Ersa dan Rendra hanya sampai berciuman. Tidak lebih.

Namun, apabila ditanya apakah Ersa benar-benar mencintai Rendra, dia akan menjawab dengan tegas; tidak.

Ersa mengakui, secara fisik Rendra lelaki yang tampan. Dia selalu berpakaian rapi dan sopan. Rendra selalu minta izin ketika ingin mencium Ersa dan lelaki itu tidak pernah membuat Ersa merasa tidak nyaman. Namun, selama bersama Rendra, Ersa merasa ada yang kurang. Dia tidak tahu alasannya. Mungkin, karena perasaannya pada Rendra tidak terlalu dalam itulah dia mudah melepaskan Rendra.

"Aku dulu benar-benar menyukaimu, Sa," ucap Rendra ketika dia menghentikan mobilnya di lampu merah. Lelaki itu menoleh, tersenyum ke arah Ersa. "Nggak masalah, kan, aku bicara mengenai kita dulu?"

Lawan bicara Rendra terkekeh. "Tentu saja," sahutnya. "Lalu?"

"Aku sakit hati, lho, ketika kamu minta kita putus," tambah Rendra. Dia bercerita dengan ringan. Lalu, lelaki itu kembali menjalankan mobil dan berbelok ke arah kanan.

"Maaf," ucap Ersa. "Tapi, kamu sudah nemu penggantiku, 'kan? Jangan-jangan belum, nih?" goda Ersa.

Rendra mengangguk. "Ya, sudah."

"Lebih cantik mana?" tanya Ersa lagi. Dia senang mendengar Rendra memiliki seorang kekasih, sehingga dia tidak terlalu merasa bersalah.

"Hmmm," Rendra tidak langsung menjawab. Dia menyetir mobilnya dengan pelan ketika sudah hampir sampai di apartemen Ersa. Lelaki itu membelokkan mobil ke apartemen dan berhenti di depan gedung itu.

"Nggak dijawab, nih?" tanya Ersa lagi.

"Kenapa perempuan suka menanyakan hal semacam ini? Bikin lelaki bingung, tahu."

Ersa terkekeh. "Ingin tahu saja, Ren. Aku berharap dia lebih baik daripada aku."

Rendra menatap lurus ke depan, kemudian menoleh. "Sayangnya, nggak." Dia menjawab dengan lirih. Lalu, dia tersenyum. "Sampai ketemu lagi, Sa."

Ersa tertegun, lalu mengangguk.

***

Life After YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang