BAB 15:

1.3K 215 12
                                    


Sadam menjadi sosok yang jauh berbeda setelah kehadiran Salsa dalam hidupnya. Dulu, tidak ada hal yang ditakuti oleh Sadam. Dia melakukan apa pun yang diinginkannya, termasuk ketika dia memilih berpisah dengan Ersa.

Kini, hal yang paling dicemaskan Sadam adalah mengenai keadaan Salsa. Sadam ingat, ketika dia dan Salsa pindah ke Singapura, gadisnya itu demam tinggi. Sadam yang baru pertama kali menjadi ayah tunggal, dia cemas setengah mati. Tengah malam, Sadam membawa Salsa ke rumah sakit. Setelah itu, Sadam diberitahu oleh perawat di sana bagaimana menghadapi anak yang demam. Setelah itu, Sadam mulai terbiasa ketika Salsa demam.

Akan tetapi, dalam kasus sekarang ini, Sadam cemas karena dia jauh dengan anaknya itu. Dulu di Singapura, ketika Salsa sakit, Sadam memilih untuk tidak masuk kerja. Lalu, ketika dia harus bertugas ke luar kota, Sadam akan menitipkan Salsa pada penitipan anak terpercaya. Sekarang, Sadam merasa cemas karena baru mengenal pengasuh anak yang dipekerjakannya dan sangsi akan keahlian pengasuh tersebut.

Begitu sampai di Jakarta, Sadam langsung ke rumah sakit malam itu juga. Dia melihat Salsa sudah diinfus di ruang rawat inap. Sadam segera menemui pengasuh yang dipekerjakannya.

"Apa kata dokter?" tanya Sadam. Perempuan yang menjadi pengasuh Salsa itu terlihat terkejut melihat kemunculan Sadam. "Dia kenapa?" ulang Sadam.

"Itu, Pak, Salsa nggak mau makan," ucap perempuan itu. Kerutan di dahi Sadam semakin dalam. "Saya sudah paksa."

"Kenapa nggak kasih tahu saya?" sahut Sadam.

"Maaf ..." lirih pengasuh itu.

"Kamu boleh pulang," ucap Sadam.

Pengasuh itu mengangguk dan meninggalkan rumah sakit.

Sadam menghampiri ranjang Salsa, meletakkan koper dan ranselnya ke sisi lain. Lelaki itu merasa lelah dan butuh istirahat, tetapi dia tidak bisa melakukannya. Sadam menyentuh tangan Salsa.

Sebenarnya, Sadam ingin bertemu dokter yang menangani Salsa secara langsung, akan tetapi saat ini dokter itu sudah pulang. Tadi, Sadam sudah bertanya pada perawat kenapa Salsa demam. Dia bilang, tidak ada yang perlu dikhawatirkan dengan demam yang dialami Salsa. Anak itu membutuhkan nutrisi yang cukup dan Sadam diminta untuk menunggu hingga demam Salsa turun, baru bisa dibawa pulang.

Sadam memutuskan untuk menginap di rumah sakit, hingga dia benar-benar tenang mengenai keadaan Salsa.

Lalu, Sadam ingat, dia belum membelikan apa-apa untuk Salsa. Lelaki itu terlalu cemas, sampai-sampai lupa membelikan oleh-oleh untuk Salsa. Maka, dia mengirim pesan pada Ersa.

Aku membutuhkan bantuanmu. Bukan sebagai atasan, tetapi sebagai seorang teman lama.

***

Baru saja Ersa meletakkan ponselnya ke atas ranjang, sebuah pesan masuk. Dari Sadam. Dia membaca pesan itu dengan hati-hati. Dalam pesan yang dikirim oleh Sadam itu tertulis ...

Bisa carikan Salsa oleh-oleh? Aku tidak sempat membelinya.

Kalau kamu sibuk, nggak perlu.

Pesan itu datang nyaris bersamaan. Ersa berpikir sejenak. Lalu, ingin menanyakan apa yang harus dibelinya. Belum sempat Ersa mengetik pesan itu, Sadam kembali mengiriminya pesan.

Kamu saja yang pilihkan.

"Memangnya, dia bisa membaca pikiranku?" gerutu Ersa.

Ersa melirik jam yang ada di layar ponselnya. Pukul setengah delapan malam. Dia berpikir keras ke mana dia harus mencari oleh-oleh untuk anak seusia Salsa malam-malam seperti ini. Sudah jelas, dia tidak bisa mencarinya besok pagi, sebab dia harus kembali ke Jakarta.

Tanpa berpikir panjang lagi, Ersa segera meraih tas dan jaketnya. Dia keluar kamar tanpa memiliki rencana akan ke mana. Dia hanya berpikir harus bergerak saat ini juga, sebab dia tidak ingin membuang-buang waktu lagi.

Ersa pun mengirim pesan pada Yukio, tetapi perempuan itu tidak membalas pesannya, bahkan pesannya tidak terkirim. Mungkin, Yukio sedang di suatu tempat bersama kekasihnya dan tidak ingin diganggu. Bagus. Ersa harus berpikir seorang diri untuk mencari oleh-oleh untuk Ersa.

Perempuan itu mencari informasi di internet dan menemukan satu tempat yang cukup terkenal di Bali dan tidak jauh dari hotel yang ditempatinya saat ini. Perjalanan yang ditempuh oleh Ersa untuk ke tempat tersebut memakan waktu tiga puluh menit. Begitu selesai membayar ongkos taksi, Ersa turun, lalu masuk ke toko.

Toko tersebut layaknya supermarket, berbentuk keranjang berwarna kuning tua. Ersa buru-buru masuk dan langsung menuju rak boneka. Tidak ada hal lain yang bisa dipikirkan Ersa selain mencari boneka untuk Salsa.

Setelah berjalan beberapa menit, Ersa memutuskan untuk membeli boneka awan dengan pita di atasnya. Ersa menarik napas lega ketika selesai membeli boneka itu. Selesai membayar, Ersa segera memesan taksi online untuk kembali ke hotel.

Sebelum taksinya datang, Ersa mengirimkan foto boneka yang sempat dia ambil di dalam toko kepada Sadam. Dia berkata pada Sadam bahwa boneka itu sudah dia bungkus dengan rapi.

Terima kasih.

Cantik.

Ersa menelan ludah ketika membaca pesan dari Sadam. Lalu, dia menyadari bahwa satu kata terakhir itu bukan ditujukan padanya. Benar saja, detik berikutnya, pesan susulan dari Sadam masuk.

Bonekanya.

***

Hari ini, Ersa libur. Lebih tepatnya, dia mendapatkan jatah libur sehari karena kemarin dia bekerja di luar kota.

Sesampainya di apartemen, Ersa melemparkan tubuhnya ke atas ranjang. Kedua matanya terasa berat, padahal selama perjalanan Bali ke Jakarta, Ersa tidur. Lalu, dia melanjutkan tidurnya di taksi yang membawanya ke apartemen.

"Aku akan tidur seharian," begitu kata Ersa. Memang itulah rencana Ersa hari ini, tidur seharian, sebelum nanti malam dia menyiapkan laporan untuk rapat besok.

Perempuan itu memaksakan diri untuk bangkit dari ranjangnya, lalu menuju kamar mandi. Paling tidak, dia harus dalam keadaan bersih sebelum tidur sampai siang nanti. Begitu selesai mandi, Ersa melihat sebuah kantong cokelat yang tergeletak di sisi ranjangnya. Melihat itu, Ersa mendesah. Itu adalah boneka untuk Salsa. Dia harus mengantarkan boneka itu pada Sadam.

Lalu, dia berpikir untuk mengantarkan melalui aplikasi saja.

"Begitu saja, ya?" dia bermonolog.

Akan tetapi, Ersa merasa kurang pantas apabila melakukan hal itu. Apa sebaiknya dia mengirim pesan pada Sadam untuk keputusan yang lebih tepat? Ersa mendesah. Dia harus melakukan itu, bagaimanapun, Sadam atasannya meskipun kemarin dia berkata meminta bantuannya atas nama teman lama.

Baru saja Ersa memutuskan hal itu, sebuah telepon masuk.

"Pagi, Pak Sadam?" sapa Ersa. Dia masih terkejut tiba-tiba Sadam menghubunginya.

"Aku menganggu hari liburmu, ya? Maaf. Tapi, aku butuh bantuan," jelas Sadam. "Tadi sudah menghubungi Yukio, dia tidak menjawab. Kamu bisa bawa berkas kemarin?"

"Ah, tentu, Pak," jawab Ersa. "Rencananya hari ini akan saya selesaikan."

"Nggak perlu," sahut Sadam. "Biar aku yang selesaikan. Aku nggak bisa ke kantor."

"Begitu," sahut Ersa. "Baik."

"Siang ini, bisa?"

"Bisa, Pak."

"Terima kasih."

Sambungan telepon terputus. Ersa mendesah. Sepertinya, dia tidak bisa tidur seharian karena harus datang ke rumah Sadam. Lebih tepatnya, datang ke apartemen laki-laki itu.

"Aku lelah sekali. Astaga!"

***

Life After YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang