BAB 20:Menyetujui Permintaan Sadam

1.6K 230 13
                                    


Hari Minggu, Ersa masih berkutat dengan pekerjaannya.

Dia bosan mengerjakan pekerjaan di apartemen meskipun di apartemen dia memiliki meja kerja sendiri, maka dia melipir ke Starbucks untuk mengerjakan hal itu. Seringnya, pekerjaan sedang banyak-banyaknya karena akan ada event. Hal itu sangat lumrah terjadi. Bisa dibilang, pekerjaan hari Minggu bukanlah hal yang tabu. Keadaan ini sangat wajar untuk Ersa.

Seringkali Ersa merasa muak dengan pekerjaannya, terkadang dia ingin berhenti saja, kemudian menjual apartemennya. Akan tetapi, dia kembali mengingat bahwa hal-hal yang dicapainya saat ini adalah atas usahanya yang dia kerjakan bertahun-tahun.

Ketika dewasa Ersa sangat tahu bagaimana sikap orang-orang terhadap orang lain. Akan selalu ada alasan materi setiap perlakuan yang dilakukan oleh orang lain. Bersikap baik karena dia kaya, anak pejabat, seorang artis, dan memiliki banyak koneksi. Selalu saja ada hal-hal semacam itu. Selama di dunia kerja, Ersa mempelajari banyak hal. Karakternya pun terbentuk, berkat itu dia memahami apa yang mesti dia cari dalam hidupnya.

Ersa mendesah, merenggangkan tubuhnya beberapa saat. Lalu, pandangannya terhenti pada seseorang yang baru saja memasuki kafe. Lelaki itu mengenakan kaus berwarna putih lengan panjang dan celana olahraga berwarna biru tua. Kedua telinganya bertengger earphone. Dia berjalan ke arah bar, memesan minuman, lalu melihat ke arah Ersa.

"Ersa?"

"Hai," sahut Ersa. Lelaki itu menghampirinya, menarik kursi di depannya, lalu duduk. "Kok, di sini?"

Ersa tahu, rumah lelaki itu jauh dari sini. Lalu, detik berikutnya, dia menyadari bahwa klinik Yohan tidak jauh dari sini.

"Kemarin tidur di klinik," sahut Yohan.

"Ah, i see."

Barista memanggil nama Yohan, lelaki itu bangkit, lalu mengambil minumannya. Begitu kembali ke kursinya, dia berkata, "Nggak masalah aku duduk di sini, kan?"

"Sure."

"Omong-omong, bagaimana kamu kenal Sadam?" tanya Yohan. Lelaki itu mengaduk kopinya perlahan, dia melihat ke arah Ersa, lalu meminum kopinya.

"Dia atasanku," jawab Ersa. "Ada apa?" dia mengalihkan pandangannya dari layar laptop ke Yohan. Lalu, dia ingat mengenai Salsa. "Mengenai Salsa, apa ada perkembangan?"

Yohan menggeleng. "Dia masih pendiam sejak bertemu denganku," katanya.

"Sependiam itu?"

Yohan mengangguk. "Tapi, lucunya dia bercerita mengenaimu."

Kali ini, fokus Ersa beralih ke Yohan sepenuhnya. "Sadam berkata untuk mencoba membicarakanmu dengan Salsa. Maka, aku coba. Dia memang bercerita mengenaimu, tetapi dia sama sekali tidak berkata mengenai kejadian hari itu."

"Dia cerita apa?" tanya Ersa. Baginya, perbincangan Ersa dan Salsa tidak sebanyak itu, tetapi Salsa membicarakannya. Hal itu membuat dada Ersa menghangat. Anak sekecil itu membicarannya.

"Dia bilang, kamu membelikannya boneka. Dia juga cerita kalau kalian berbicara mengenai makanan kesukaannya."

"Ya," sahut Ersa.

"Kamu sudah coba tanya mengenai kejadian hari itu?"

"Hari itu?"

"Ketika dia menusuk temannya dengan ujung pensil," sahut Yohan. Ersa menggeleng. Saat itu, dia sama sekali tidak berpikir untuk melakukannya. "Cobalah."

"Anu," sahut Ersa. "Kami nggak sedekat itu."

"Lalu, kenapa kalian bisa berbincang?"

"Itu hanya kebetulan saja," jawab Ersa, jujur.

Life After YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang