BAB 4: Kehidupan Eryan Selena Aryani

2K 286 10
                                    


"Eryan Selena Aryani."

Ersa mengangkat tangan kanannya tinggi-tinggi. Dengan senyum mengembang dan penuh kebanggaan. Nyaris seluruh murid di kelas IPA 1 melihat ke arahnya. Di depan Mila dengan kacamata berbentuk persegi panjang dengan bingkai keemasan itu menatap ke arah Ersa. Lalu, satu sudut bibirnya terangkat.

"Tepuk tangan. Semester ini Ersa dapat nilai tertinggi lagi," ucap Mila, wali kelas IPA 1. Setelah Mila berkata begitu, seluruh kelas menggerakkan tangannya untuk memberikan selamat pada Ersa.

Ersa berdiri, menundukkan tubuhnya sedikit ke arah Mila dan teman-teman di sekitarnya. Dia siswa cerdas dan setiap semester selalu memiliki nilai tertinggi. Kita selalu berpikir bahwa memiliki nilai tertinggi nantinya akan memudahkan hidup. Tapi, itu tidak berlaku untuk Ersa. Nilai-nilai itu tidak bisa benar-benar membantunya mendapatkan apa yang diinginkannya atau mungkin Ersa salah satu orang pintar tapi tidak beruntung.

Hal itu mempengaruhi Ersa hingga dia dewasa. Ada seorang Ersa remaja yang masih menjadi bayang-bayang Ersa dewasa.

Perempuan itu berjalan cepat ke arah lobi apartemen. Dia menyapa satpam yang berdiri di sisi pintu kaca, kemudian langkah kakinya cepat menuju lift. Ersa menekan tombol lift, lalu benda itu bergerak dengan cepat dan berhenti di lantai tujuh.

Begitu pintu lift terbuka, Ersa keluar dan berjalan beberapa meter ke arah kanan. Kamar apartemennya berada di ujung lorong. Perempuan itu membuka pintu apartemen, kemudian masuk.

Begitu masuk, di sisi kanan Ersa ada kabinet berwarna putih dengan kaca di depannya. Ersa membuka kaca, lalu melepaskan kedua sepatunya, kemudian menaruh ke lemari kaca itu. Begitu selesai, Ersa berjalan ke arah ranjang, melemparkan tasnya ke sofa dan merebahkan diri ke atas ranjang. Seprai putih yang awalnya rapi itu jatuh berantakan tertekan tubuh perempuan itu.

Malam ini rasanya dia lelah sekali. Bukan hanya lelah badan, tetapi juga lelah secara emosi. Dia masih mengingat perlakuan bos barunya itu. Dia kesal setengah mati tapi tidak punya kuasa untuk melawan.

Ersa mendesah, meletakkan lengannya ke atas mata. Perempuan itu menarik napas dalam-dalam, lalu mengeluarkannya. Dia mencoba menenangkan diri. Dia berharap apa yang terjadi sore tadi bukanlah hal yang akan merepotkannya kelak. Ersa tidak bisa membayangkan kalau sampai dia tidak nyaman berada di kantor karena mantan kekasihnya itu.

Mantan kekasih ...

Tangan Ersa terangkat, lalu dia mengubah posisinya menjadi duduk. Perempuan itu menyibakkan rambutnya ke belakang. Rambutnya itu berwarna hitam kemerahan, sebahu. Ersa tertawa sinis, menertawakan dirinya sendiri.

"Kenapa aku harus berkata mantan?" dia mengutuk dirinya sendiri, sebab semestinya Sadam adalah mantan suami Elsa. Semestinya, Ersa menyebut Sadam mantan Elsa, bukan mantannya. Ersa mendesah. "Ya, kenyataannya, dia memang mantanku."

Setelah berkata begitu, Ersa merebahkan kembali tubuhnya ke atas kasur. Dia merasakan dinginnya seprai yang ada di bawah kulitnya. Begitu nyamannya tinggal di apartemen ini. Ersa merasakan kedamaian berada di tempat ini. Dia sama sekali tidak menyangka hal yang diinginkannya selama ini terwujud.

Ersa bekerja keras untuk bisa membeli apartemen ini. Dia harus banting tulang untuk mengangsur apartemen yang dia beli. Belum lagi, Ersa juga ingin melanjutkan studinya. Maka, berhenti bekerja bukanlah pilihan.

Ya, Ersa sempat berpikir untuk resign dari kantornya sekarang. Hanya karena kehadiran Sadam. Tapi, mengingat kebutuhan yang harus dipenuhinya, Ersa tidak akan melakukan itu. Dia yakin Ersa bisa mengatasi Sadam dengan baik.

Ersa mendesah. Dia kembali mengangkat tubuhnya, lalu berjalan lunglai ke arah kamar mandi. Sambil berjalan itu, Ersa melepaskan jaketnya, lalu disusul dengan kemejanya. Tak lama kemudian, rok spannya pun terjatuh ke atas lantai apartemen yang dingin. Dia tersenyum puas karena hanya di apartemennya sendiri dia bisa melepaskan baju kapan saja tanpa khawatir akan ada orang yang melihatnya.

Selama satu jam lebih Ersa membersihkan diri. Begitu selesai, dia keluar kamar mandi dengan handuk mandi. Di saat itulah ponselnya berdering. Tidak lama. Lalu, disusul suara pemberitahuan pesan. Ersa melirik jam yang ada di dinding. Pukul sebelas malam.

Ersa mengecek ponselnya. Sebuah popup pemberitahuan mengenai baterainya yang tinggal dua puluh persen muncul. Perempuan itu meraih tasnya, merogoh isinya, mencari pengisi daya. Begitu dapat, Ersa segera menancapkan pengisi daya ke ponselnya. Setelah itu, dia mengecek pesan itu.

Ersa, ini Pak Sadam. Kita bicara besok, ya. Jam makan siang. Saya tunggu di kafe gedung sebelah.

Tanpa sadar kedua alis Ersa saling bertemu. Dia mengingat kembali bagaimana Sadam tahu nomor ponselnya? Lalu, dia sadar bahwa kini Sadam atasannya. Sudah pasti dia mudah mendapatkan nomor Ersa. Perempuan itu menekan profil Sadam. Di sana ada foto Sadam bersama Salsa. Foto ayah dan anak itu terlihat bahagia, sampai-sampai Ersa memperbesar foto tersebut. Lalu, Ersa melihat nomor Sadam. Kali ini, kerutannya mengendur.

Ersa masih mengingat nomor Sadam dengan baik. Dia memang telah lama menghapus pesan dan nomor Sadam. Tapi, dia masih ingat bahwa nomor yang Sadam pergunakan sekarang sama seperti nomornya dulu.

Perempuan itu mematikan daya ponsel, lalu meletakkan benda itu ke atas nakas. Dia tidak punya kewajiban untuk membalas pesan Sadam. Sekarang di luar jam kantor, sudah malam, dan pesan Sadam merupakan urusan pribadi.

***

Sadam mengeringkan rambutnya. Saat ini dia mengenakan handuk kimono, lalu duduk di tepi ranjang. Beberapa waktu lalu, dia sibuk membacakan buku dongeng untuk Salsa sampai anak perempuannya itu tertidur. Setelah itu, Sadam baru membersihkan diri.

Setelah puas mengeringkan rambut, Sadam mengambil kaus dan celana kain dari lemari. Begitu selesai berganti pakaian, Sadam mengambil laptop dari ransel, membukanya di atas ranjang. Dia mengecek beberapa pekerjaan. Di saat itu, dia mengingat mengenai Ersa.

Sadam mendesah. Dia ingat, dia telah berbuat jahat pada perempuan itu. Lagi-lagi, Sadam tidak bermaksud seperti itu. Mereka hanya salah paham dan itu membuat Ersa kesal. Sadam tahu itu.

Namun, Sadam tidak bisa mengontrol dirinya untuk tidak menggoda Ersa. Lelaki itu berhenti mengetik, lalu mengusap dagunya yang ditumbuhi bulu-bulu halus. Dia akhirnya meraih ponsel, lalu mencari nomor Ersa di kontak ponselnya. Siang tadi, Sadam mengecek data karyawan dari komputernya, mencatat nomor Ersa. Dia tahu, cepat atau lambat dia akan membutuhkan informasi mengenai perempuan itu. Maka, Sadam mengirim pesan pada Ersa.

Awalnya, Sadam mencoba menghubungi Ersa melalui panggilan telepon. Tapi, dia mengurungkannya karena ini sudah larut. Akhirnya, pesan itu terkirim dan dibaca tidak lama kemudian.

Diam-diam, Sadam menunggu balasan dari Ersa. Tapi, sampai akhirnya dia menutup laptop dan memutuskan untuk tidur, Ersa tak kunjung membalas pesannya. Sadam menyeringai, lalu memejamkan matanya.

***

Life After YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang