BAB 21 : Dua Mantan Kekasih (1)

1.6K 207 5
                                    


Rendra menggulung lengan bajunya hingga ke siku. Siang itu, hari pertamanya di kantor barunya ini. Dia sibuk memperkenalkan diri dengan rekan kerja satu divisinya. Menjabat tangan dan tersenyum. Hal yang sebenarnya menyenangkan, tetapi ternyata menguras energinya.

Lelaki itu mengambil botol minumnya, kemudian mengisinya dengan air mineral yang berada di sisi ruangan. Ketika menunggu, Rendra melihat jam di dinding. Sebentar lagi jam makan siang. Dia penasaran apakah dia akan bertemu dengan perempuan itu.

Ini hari pertamanya di kantor baru. Rendra tidak memberitahu perempuan itu mengenai kepindahannya ini. Dia sendiri juga tidak tahu harus mengatakan apa pada perempuan itu.

Begitu selesai mengisi botol minumnya, Rendra kembali ke meja kerjanya. Dia serius menekuni komputernya, sampai akhirnya jam makan siang tiba. Rendra bergegas mematikan komputer, lalu mendorong kursinya. Dia buru-buru keluar kantor dan mencari lokasi kantin gedung kantornya itu.

Begitu sampai kantin, Rendra mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Dia berjalan ke salah satu stand makanan dan memesan makan siangnya. Sambil menunggu, Rendra mengirim pesan pada seseorang, menanyakan kegiatan orang itu saat ini.

Hai, Ren. Masih di kantor nih.

Tak lama, balasan dari pesan Rendra masuk. Dia mengantongi kembali ponselnya. Itu bukanlah jawaban yang diinginkannya. Rendra ingin tahu, posisi orang itu saat ini. Mungkin, pertanyaannya kurang spesifik, sehingga dia mendapatkan jawaban tidak spesifik juga.

Rendra memutuskan untuk memulai makan siangnya seorang diri. Dia mencari meja kosong, lalu duduk di sana. Lelaki itu menikmati makan siangnya dengan santai. Lalu, sebuah pesan masuk ke dalam ponselnya.

Pesan itu dari mantan kekasihnya.

Aku masih belum bisa menerima hal ini.

Begitu isi pesan yang dikirim oleh Briani. Perempuan itu tidak terima ketika Rendra minta putus. Briani beralasan hubungan keduanya terlalu baik untuk diakhiri. Briani tidak tahu apa kesalahannya dan ada apa dengan hubungan mereka, sampai-sampai Rendra mengakhiri hubungan mereka.

Rendra hanya memberikan alasan yang mengambang, seperti laki-laki pada umumnya. Dia berkata pada Briani bahwa keduanya tidak cocok dan lebih baik berhenti sampai di sini.

"Lagi pula, aku pindah kantor," kata Rendra. "Kita nggak akan bisa bertemu sesering sekarang. Kamu nggak akan kuat menjalani hubungan jarak jauh, kamu akan menjadi rewel, dan kita akan sama-sama bosan. Daripada melewati hal-hal nggak menyenangkan itu, bukankah lebih baik diakhiri saat ini juga?"

Briani tidak bisa berkata-kata ketika mendengar Rendra berkata demikian. Dia tidak membalas ucapan Rendra. Perempuan itu hanya menggeleng, lalu melihat ke arah Rendra dengan tatapan tidak percaya. Selang beberapa menit, Rendra pamit dan mereka tidak bertemu lagi.

Namun, rupanya Briani tidak menyerah. Dia menghubungi Rendra dan meminta untuk bertemu. Alih-alih menuruti permintaan Briani, Rendra berkata dia sibuk karena harus pindah ke kantor baru.

Kini, Briani hanya bisa mengirim pesan pada Rendra meskipun lelaki itu tidak selalu membalas pesannya.

***

Hari ini, Ersa tidak sempat ke kantin. Dia memilih memesan makan siangnya melalui pesan antar. Dia cukup menghubungi nomor jasa layanan tersebut, menyebutkan ingin makan siang apa, dan di mana kantornya. Maka, kurir yang biasanya melayani pesan antar di gedung kantor Ersa akan mengantarkan pesanannya.

Pekerjaannya cukup banyak, sehingga Ersa malas untuk sekadar turun beberapa lantai ke kantin. Maka, dia melakukan cara itu. Begitu selesai makan siang, Ersa kembali menekuni pekerjaannya.

Ersa mengingat mengenai pesan dari Rendra. Lelaki itu mengiriminya pesan sekitar sepuluh menit lalu, menanyakan keberadaannya. Dia tidak tahu apa alasan Rendra menanyakan hal itu, sebab bukankah sudah jelas bahwa Ersa berada di kantor, di hari kerja dan di jam-jam seperti ini? Kenapa Rendra harus bertanya?

Detik berikutnya, Ersa mengabaikan pertanyaan-pertanyaan itu. Dia kembali fokus pada pekerjaannya. Lalu, matanya melirik ke arah ruangan milik Sadam. Sama seperti dirinya, Sadam masih di kantor, duduk di balik meja. Dia tidak melihat Sadam keluar untuk makan siang.

Ersa mendesah. Kenapa dia memikirkan hal-hal tak penting seperti ini? Padahal, dia butuh waktu untuk memikirkan pekerjaannya.

Maka, Ersa berhenti memikirkan hal-hal tidak berguna itu.

***

Baru saja keluar dari lift, kedua kaki Ersa berhenti. Dia menautkan kedua alisnya, lalu tersenyum melihat seseorang yang berdiri di tengah-tengah lobi kantor.

"Rendra?" tanya Ersa, tidak percaya. Dia menghampiri Rendra yang melambaikan tangan ke arahnya. "Kok, di sini?"

"Kejutan?"

"Hah?" sahut Ersa. Dia melihat pakaian Rendra yang lengkap, kemeja biru tua, jas hitam dan celana kain. Di bahu kanannya terdapat tas ransel dan rambutnya sedikit berantakan. "Ada keperluan apa di sini?"

"Kerja."

"Oh, lagi ada urusan di sini?"

Rendra tidak langsung menjawab. Dia berkata, "Bagaimana kalau secangkir kopi?"

Tanpa pikir panjang, Ersa mengangguk.

***

"Jadi, kamu bekerja di gedung yang sama denganku?"

Ersa sedikit terkejut dengan cerita Rendra. Lelaki itu bekerja di gedung yang sama dengannya. Rendra bercerita bahwa dia dipindahkan ke sini karena urusannya lebih banyak di Jakarta, lalu Rendra menyetujui hal tersebut. Dia akhirnya dimutasi dan hari ini merupakan hari pertamanya.

"Senang bisa pindah ke sini," ucap Rendra. Dia meneguk kopinya perlahan. Keduanya berada di kafetaria yang berada di lobi kantor. Kafe tersebut cukup ramai, terutama ketika jam kantor selesai dan ketika pagi hari. Di gedung perkantoran mereka masih banyak orang-orang yang lembur, bahkan ada yang tidur di kantor.

"Semoga kamu betah, ya," kata Ersa. Dia melirik jam di pergelangan tangannya. Sudah waktunya dia pulang.

"Semoga," ucap Rendra. "Mau makan di luar?"

"Ah, sayangnya aku harus segera pulang," ucap Ersa. "Mungkin, lain kali, ya? Duh, maaf sekali. Semestinya aku menemanimu hari ini." Ersa mengucapkan hal itu dengan penuh penyesalan. "Tapi, aku benar-benar harus pulang."

Rendra mengangguk. Ada sedikit perasaan kecewa dalam dadanya. Tapi, dia tahu, dia tidak bisa memaksa Ersa untuk mengikuti kemauannya. Lagi pula, dia akan sering bertemu dengan Ersa. Mereka bisa melakukannya sewaktu-waktu.

"Kalau begitu, biar aku antar," kata Rendra.

Baru saja Ersa ingin menolak, Rendra menyahut, "Jangan menolak."

Maka, Ersa menurut. 

Life After YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang