Akibat secara tidak sengaja menjadi aktor dalam sebuah video, Ares dan Karin terpaksa menikah untuk menjaga image keluarga mereka.
Apakah mereka berdua bisa bertahan dalam pernikahan tersebut disaat Karin masih mempunyai seseorang yang dia cintai?
Jangan lupa vote dan komen yang banyak🫰🏻 Happy reading❤️
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Suasana rumah sakit saat ini cukup ramai. Karin sudah mulai suntuk menunggu gilirannya. Ia mendapatkan nomor antrian yang lumayan jauh. Fakta baru yang dia tau, ternyata orang-orang yang mau periksa bisa mendaftarkan diri pada hari sebelumnya. Itu sebabnya Karin tetap dapat nomor jauh meskipun datang pagi.
"Pulang aja kali ya?" celetuk Karin yang lelah melihat pasien, perawat dan dokter berlalu lalang.
"Bentar lagi. Sabar." balas Ares.
Karin menunjukkan kertas berisi nomor antrian ke depan muka Ares. "21. Sekarang berapa? Lihat..." tunjuk Karin ke layar nomor antrian yang masih menampilkan angka 13.
"Nonton youtube atau mau makan dulu?"
"Nggak bawa headset. Nggak mau makan nanti kebelet."
"Ya udah, ngitung orang-orang yang lewat aja." balas Ares sudah putus asa.
Karin cemberut lalu menyilangkan tangan dan kakinya bersamaan.
"Udah nomer 12, kamu antrian berapa? 14?"
"15."
Suara yang sangat tidak asing bagi telinga Karin, membuatnya menoleh ke belakang. Netranya langsung bertemu dengan netra si pemilik suara tadi.
Hembusan nafas berat terdengar di telinga Ares. Pria itu lantas ikut menoleh ke arah pandang Karin.
Seketika suasana canggung menyelimuti mereka.
"Naren..." Ares berdiri lalu menjabat tangan Naren.
"Pak Ares..." balasnya lalu melirik Karin sebentar. "Siapa yang sakit, Pak?"
"Nggak ada. Nganter Karin ke obgyn. Kamu sendiri?"
Ada jeda beberapa detik sebelum Naren menjawab. "Sama Pak, antar istri periksa."
Ares melihat perut Manda yang sudah lumayan membuncit. "Udah berapa bulan?"
"24 minggu. Kita kesana dulu ya, Pak." jawab Naren yang sudah jelas tidak ingin berlama-lama ngobrol dengan Ares.
Beberapa kali Karin mengehela nafas berat. Bahkan air mata juga jelas menggenang di matanya. Ares langsung mengenggam tangan Karin. Ibu jarinya mengelus lembut punggung tangan istrinya.
Perlakuan Ares malah membuat Karin semakin ingin menangis. Dia merapatkan bibirnya untuk menahan tangis. Ares lalu menyandarkan kepala Karin pada pundaknya.
"Nggak papa, nangis aja." ucap Ares seraya mengusap kepala Karin.
"Kamu nggak tanya aku nangis kenapa?"
"Nggak perlu."
Karin lega dengan jawaban Ares. Sejujurnya, kalau saja Ares jawab sebaliknya, dia juga sepertinya tidak bisa memberitahu Ares alasan dia menangis.