SOL 18

4K 281 7
                                    

“Ayah.” Panggil mereka berdua dari balik pintu.

Sekilas ia memperhatikan Vano yang tengah berbicara sambil tersenyum pada Azka, sedangkan sang ayah masih terlihat canggung berada di antara keduanya.

Suara panggilan dari balik pintu membuat Andrian menoleh, “Masuk.”

“Kenapa Al...” belum selesai Danu berbicara sang ayah langsung menyela dengan mengisyaratkan untuk diam menggunakan tangan, sambil menatap seolah mengucapkan ‘nanti ayah jelaskan’.

“Kak Azka, kakak-kakak ini siapa?” Tanya Vano pelan sembari memegang tangan Azka gelisah.

“Ah ini kakak Al juga, ini kak Danu dan kak Angga.” Saut Azka.

Sedangkan Vano hanya ber ‘o’ saja, 2 detik kemudian anak itu kembali bertanya.

“Terus bunda Al mana? Kok nggak datang datang sih Al kan jadi kangen sama bunda.” Tanyanya seperti anak kecil dengan pipi yang di gembungkan.

“Bunda kan udah...”

Sebelum Angga menuntaskan kalimatnya, Azka dengan cepat menyela, ”Kan kak Azka udah bilang sama Al kalo bunda masih keluar, entar bunda pasti datang.” Ucapnya meyakinkan Vano.

Timbul rasa penasaran pada mimik wajah Angga juga Danu, Andrian yang menatap wajah bingung kedua anaknya seketika peka, kemudian ia mengajak keluar kedua anaknya dan menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi dengan keadaan Vano.

Mendengar penjelasan dari sang ayah membuat mereka merasa bersalah, mereka merasa ikut andil dalam membuat keadaan Vano seperti sekarang.

Soal sahabat Vano, mereka tidak diperbolehkan menjenguk Vano oleh Andrian karena takut membuat kesehatan Vano kembali terganggu, dan hanya mengizinkan jika Vano sudah kembali seperti sebelumnya.

.
.
.
.

Hari ini adalah hari kepulangan Vano ke mansion, Vano anak itu tengah merajuk karena merasa dibohongi oleh ayah dan kakak kakaknya, padahal kan mereka bilang bundanya akan menemuinya secepatnya, tapi sekarang apa? Selama dirinya dirawat di rumah sakit saja bundanya tidak pernah datang menjenguknya.

“Nggak mau, Al nggak mau pulang ke mansion sebelum bunda datang jenguk Al.” Ucapnya menggeleng ribut.

“Bunda udah menunggu Al di mansion, jadi lebih baik kita cepat pulang.” Jelas Danu sabar.

“Nggak. Al pokoknya Al nggak mau pulang.” Tolaknya.

“Kita pulang dulu, nanti kita ja..”

“NGGAK AL NGGAK MAU.” Teriaknya memotong ucapan Danu.

“Pulang.” Ucap Danu datar, sifat Danu memang seperti itu, ia sangat tidak suka jika omongannya dipotong begitu saja.

“NGGAK, AL MAU BUNDA.” Teriaknya lagi.

Sekarang hanya ada mereka berdua di dalam ruang inap Vano, tadi Andrian pergi ke ruangan sang paman untuk mengurus kepulangan Vano, Azka yang menunggu di parkiran, sedangkan Angga pamit pulang karena ada urusan yang harus segera ia selesaikan.

Danu sedari tadi menahan emosinya, wajahnya sudah merah padam menahan amarah, tapi sebisa mungkin ia menahan agar tidak kelepasan, namun ia sekarang tidak bisa lagi menahan emosinya.

“PULANG AL.” Teriak Danu.

“NGGAK.” Tolaknya.

“PULANG, BUNDA UDAH MENINGGAL, JADI NGGAK USAH NUNGGUIN BUNDA.” Ucap Danu sambil menarik tangan Vano keras.

Mendengar teriakan dari Danu membuat nafas Vano tercekat, tubuhnya berusaha menahan tarikan dari tangan Danu, ‘ah bundanya sudah meninggal, dan itu semua karena dirinya.’ pikir Vano.

Ingatan di hari kecelakaan itu kembali berputar, dimana bundanya berlari untuk menyelamatkan dirinya, dan itu semua karenanya, karena dirinya bundanya meninggal.

Jika saja waktu itu ia tidak bersih keras mendapatkan balon itu, pasti bundanya masih ada di sini dan menemaninya, dan kehidupannya pasti akan berbeda dengan yang sekarang.

“Pembunuh... kamu pembunuh” gumam Vano tapi tidak didengar oleh Danu.

Tubuh Vano hanya pasrah mengikuti tarikan langkah Danu menuju parkiran.

‘Pembunuh Al, kamu pembunuh, kamu sudah membunuh bundamu juga anak yang dikandungnya, kamu memang pantas mati Al.’

Seiring langkah menuju parkiran, suara-suara itu masih saja terdengar, tatapan Vano berubah, tatapan yang seperti anak kecil itu kini berubah seperti tatapan tanpa binar.

Sesampainya di parkiran, Vano hanya bisa menuruti semua yang Danu katakan, tubuhnya seakan tidak bisa menolak, Vano hanya bisa pasrah saat dirinya ditarik duduk di mobil.

“Akhirnya adik kakak udah pulang.” Ucap Azka sembari memeluk tubuh Vano, tetapi sang empu hanya menganggap angin lalu atas perlakuan yang dilakukan Azka.

Azka yang merasa aneh pada sang adik bertanya, ”dek kamu kenapa? Ada yang sakit?” Menatap Vano khawatir.

“Al lagi mengambek sama kakak gara-gara tadi kakak paksa pulang.” Jelas Danu enteng dan Azka hanya ber’o’ saja.

Danu tidak sadar, bentakan yang tadi ia lontarkan sekali lagi membuat mental Vano lebih buruk dari sebelumnya.

“Ya udah kalo kamu mengantuk tidur aja Al.” Sambil menggeser tubuh Vano agar kepalanya bersender di pundaknya, Vano tidak menolak perlahan lahan mata itu kembali tertutup.

Setelah lima menit menunggu Andrian di parkiran, akhirnya mereka berempat pulang ke mansion.

.
.
.
.

Sesampainya di mansion ,Vano masih saja terlelap, Andrian tidak tega untuk sekedar membangunkan Vano, alhasil ia memilih menggendong Vano ala koala menuju kamar Vano.

Ia meletakkan Vano di kamar kedua Vano, yaitu kamar yang selalu Andrian larang jika Vano memasuki kamar tersebut jika tidak bersama temannya.

Mengingat kejadian itu, Andrian tersenyum getir, miris sekali kehidupan anaknya dimasa lalu, dan itu semua akibat perbuatan dirinya.

Setelahnya Andrian dengan telaten membenarkan posisi Vano, dan diselimutinya tubuh Vano, selesai melakukannya, Andrian keluar dari kamar Vano, tidak lupa menyuruh bodyguard untuk berjaga di depan kamar Vano, ia takut jika sewaktu waktu Vano lepas kendali.

Dikamar tersebut, sedari dulu sudah terdapat kamera cctv untuk mengawasi setiap pergerakan Vano, untuk berjaga jaga jika sewaktu waktu Vano membocorkan perlakuannya pada Vano kepada sahabat anaknya.

Kini sudah waktunya untuk makan malam, Andrian sengaja tidak membangunkan Vano, karena anaknya itu telah makan sebelum perjalanan pulang ke mansion, juga ia tidak ingin mengganggu tidur Vano, karena terhitung baru dua jam semenjak mereka sampai di mansion.

Mereka menyantap makanan masing-masing dengan hikmat, tanpa mereka sadari Vano yang sudah bangun dari lelapnya.

Vano, anak itu mendengar suara-suara yang asalnya tidak ia ketahui, matanya bergerak gelisah, dirinya meringkuk di pojok kamarnya, apa sekarang ayahnya akan menghukumnya karena telah membunuh bundanya?.

Seseorang tolonglah Vano, ia sangat ketakutan sekarang. Ia ingin sekali berteriak, tapi ia takut membuat ayahnya datang dan malah menghukumnya.

Dasar pembunuh’

‘Kamu memang pantas mendapatkan itu’

‘Kenapa bukan kamu yang mati’

‘Mati saja kamu sialan

Suara itu lagi-lagi mengganggu telinganya, ia ingin berteriak dan menyangkal, namun ingatan itu lagi-lagi membenarkan semua tuduhan dari suara itu.

Vano memukul-mukul kepalanya dengan keras sambil bergumam, berharap semua suara itu menghilang.

“Mati...”

“Mati...”

“Mati...”

Berulang kali ia menggumamkan kata mati untuk dirinya sendiri. Bukannya menghilang, suara itu semakin keras ditelinga Vano.

Dengan tubuh gemetar ia mencari keberadaan benda yang selalu ia gunakan untuk melakukan self harm yaitu sebuah cutter kecil yang sengaja ia sembunyikan di bawah kasur.

Tangannya perlahan mengambil cutter yang ia simpan, lalu menggoreskannya di bagian paha kirinya, pada goresan pertama ia tidak merasakan sakit sedikit pun, kemudian goresan kedua ketiga keempat darah mulai memenuhi celananya, ia merasa lega saat mencium bau anyir darah yang mulai keluar dari pahanya, melihat darah yang keluar membuat dirinya sedikit melupakan kenangan buruk itu.

Tangan Vano masih tidak berhenti menggoreskan cutter pada pahanya, ia melakukannya lebih dari puluhan goresan, kini paha itu telah penuh dengan luka bekas cutter.

Kenapa Vano memilih menggoreskan pada pahanya dari pada tangannya, alasannya sangat simple ia takut jika keluarganya tau dan kembali menghukumnya dan membuat sahabatnya khawatir.

Setelah puas melakukan self harm, ia berjalan menuju kamar mandi yang terletak di sana, perlahan lahan ia menenggelamkan seluruh tubuhnya di bathtub yang sudah terisi penuh dengan air, warna merah yang berasal dari darah Vano mulai bercampur dengan air, membuat air yang bening berubah menjadi kumpulan cairan merah.





THE END




TBC....


Nggak kok canda sayang 🙂🙏🏻

Baru kali ini bisa duoble up 😁
Biasanya ditimbrung dulu beberapa hari lagi baru bisa nge up

Senin, 29 mei 2023

Revisi: 10 Januari 2024

STORY OF LIES (SOL) ✔️ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang