SOL 33 END

4.9K 220 22
                                    

Kini Vano tertidur kembali setelah mendapatkan obat penenang dari Aditya, sebelumnya Andrian memang meminta pihak rumah sakit agar adiknya yang memantau kondisi Vano, terlebih lagi ia lebih percaya atas penanganan yang di lakukan Aditya.

“Bagaimana keadaan anakku?” Tanya Andrian.

“Begini kak, sepertinya Al terkena Stockholm syndrome, mungkin perkiraanku ini bisa saja salah. Namun, di lihat dari apa yang dilakukan Al tadi....” jelas Aditya terjeda, namun sorot matanya memancarkan kesedihan.

“Lebih tepatnya, Al mengembangkan ikatan yang positif dengan penculiknya.” Lanjutnya.

“Bagaimana bisa?” Tanya Andrian terkejut.

“. Jadi, orang yang diculik atau mengalami pelecehan terkadang bisa memiliki perasaan simpati atau perasaan positif lainnya terhadap penculiknya. Ditambah bisa saja saat penculikan itu terjadi, pelaku melakukan hal yang mempengaruhi mental Al, seperti menanamkan rasa aman pada pikiran Al.” Jelas Aditya.

“Apa Al bisa kembali seperti semula?”

“Bisa, namun penyembuhannya bisa saja lama, melihat traumanya tadi, dan mungkin kita memerlukan psikiater, karena itu sudah di luar kemampuanku, setelah Al sadar nanti ajak dia berbicara, dan selalu yakinkan bahwa sekarang dirinya aman.” Jelasnya.

“Baiklah, aku akan segera mencari psikiater terbaik untuk Al, dan lebih baik kau pulanglah dulu untuk istirahat, biar aku yang menjaga Al.” Putusnya.

“Baiklah kak, kalau ada sesuatu, langsung hubungi kita, aku pulang.” Pamitnya dan diangguki oleh Andrian.

.
.
.
.

Sekarang hanya mereka berdua di dalam ruangan, dan Andrian yang tengah sibuk menghubungi semua koneksi untuk mendapatkan psikiater terbaik untuk anaknya.

Ia harus bisa mengembalikan senyuman anaknya seperti semula, walau itu memerlukan waktu dan usaha, ia yakin usahanya tidak akan menghasilkan kekecewaan.

Andrian duduk di sofa dekat bangkar, sudah hampir fajar, namun ia masih menjaga kesadarannya, ia khawatir, jika ia tertidur, dan anaknya sadar akan kembali merasakan ketakutan.

Ia menghampiri bangkar Vano, lalu duduk di sampingnya, suatu kegiatan yang tak membuatnya bosan jika harus melakukannya setiap saat, karena dengan itu ia bisa melihat wajah damai sang putra yang tertidur.

“Ayah harap kamu segera sembuh nak.” Ujarnya sembari mencium kening Vano.

Vano yang merasakan tidurnya terganggu membuka matanya, tubuhnya lagi-lagi bergetar, ia tidak mengerti, sebenarnya apa yang terjadi pada dirinya, kenapa ia selalu ketakutan?

“A ayah....” panggil Vano pelan.

Andrian terkejut mendengar panggilan dari sang anak lantas menjawab,” ya.... ayah di sini.” Sautnya lantas mengusap pucuk rambut Vano.

“Ti tidak jangan sentuh.” Ucap Vano lirih.

“Ini ayah, tidak apa-apa, jangan takut.”

“Ti tidak jangan sentuh ayah...., a aku takut...” ucapnya dengan air mata yang mulai menetes.

“Baiklah ayah tidak akan sentuh hem?” Balasnya.

“A ayah tolong antarkan aku ke tempat itu..” cicitnya pelan.

Andrian abai, dirinya tidak tuli untuk tidak mendengar ucapan sang anak, hanya saja hatinya terasa tercubit untuk menjawab ucapan sang anak.

Ia tidak ingin melakukan hal yang dapat mempengaruhi keadaan anaknya, ditambah saat ini kondisi tubuh sang anak masih belum pulih, anaknya terluka baik fisik mau pun psikisnya, inilah yang ia takutkan, yaitu saat anaknya memohon padanya agar mengantarkannya kembali ke tempat anaknya disiksa dengan perasaan putus asa.

“A ayah...” panggil Vano pelan.

Andrian membuyarkan lamunannya, dan merespon panggilan lirih sang anak.

“Ya...? Ah.. ini sudah malam Al, lebih baik kamu kembali tidur eoh?” Ucapnya meyakinkan.

“Tidurlah, ayah akan mengusap kepalamu agar kembali tertidur.” Pintanya.

“Ti tidak jangan sentuh, a aku takut.” Tolaknya dengan pupil yang bergetar.

“Baiklah ayah tidak akan sentuh, sekarang tidurlah!” Ucap Andrian, lalu Vano memejamkan matanya.

Andrian merasa sedih, bahkan sekarang anaknya itu takut untuk disentuh dirinya yang notabenenya adalah ayah kandungnya.

.
.
.
.

Pagi harinya, Vano sudah bangun sejak pukul enam tadi, namun kali ini anak itu hanya terdiam tidak merespons setiap kata yang dituju untuknya, dirinya tanpa kendali menggigit kuku-kuku yang ada di jarinya. Bahkan sekarang telah sedikit mengeluarkan darah.

Anak itu terlihat cemas, namun dengan tatapan kosong, sesekali dirinya bertanya pada keluarga yang sedang menjaganya kapan dirinya akan kembali ke tempat itu, ketika tidak mendapatkan jawaban ia kembali menggigit kuku jarinya, hal itu ia lakukan berulang ulang.

Keluarga yang melihat keadaan Vano serasa hancur, mereka sempat mencoba menghentikan kegiatan Vano yang menggigiti kuku jarinya, namun itu membuat Vano semakin hilang kendali, keadaan itu berlangsung hampir satu minggu.

Namun untuk minggu ini, keadaan Vano jauh lebih baik dari sebelumnya, ia sekarang tidak keberatan jika dirinya disentuh oleh keluarganya, dan hanya keluarganya yang boleh menyentuhnya, jika tidak, ia akan kembali merasakan ketakutan.

Di tambah selama enam bulan ini, Vano juga sudah mulai melakukan terapi ke psikiater untuk keadaan mentalnya, mereka berusaha meyakinkan bahwa sekarang Vano aman bersama mereka, hal itu membuat Vano menaruh kepercayaan untuk mereka dan berangsur angsur melupakan sosok Elliot yang menghancurkan mentalnya, dan Vano juga melakukan terapi berjalan untuk cedera kakinya, masalah ginjalnya juga sudah sembuh, intinya Vano sudah sehat.

Sahabat Vano, mereka semua rutin mengunjungi Vano untuk memberikan semangat pada Vano.

Dan hari ini adalah waktunya untuk Vano kembali ke mansion, kabar itu membuat seluruh anggota keluarga yang mendengarnya ikut merasa senang, ya walau pun kepribadian Vano sedikit berubah, anak itu lebih banyak diam dan sesekali melamun, entah apa yang ada di pikirannya, namun keluarganya percaya bahwa Vano akan kembali seperti semula, kembali menjadi sosok anak yang ceria.

Dalam perjalanan pulang, Vano tidak berbicara sedikit pun dan hanya fokus melihat keadaan luar dari balik kaca mobil.

Andrian yang memperhatikan kegiatan sang anak berucap, “apakah putra ayah ini senang bisa pulang?” Tanyanya.

“Hm.” Jawab Vano singkat, entah kenapa hatinya selalu merasa kosong padahal ia mempunyai keluarga juga sahabat yang selalu mendukungnya, namun ia selalu merasa ketakutan dan kecemasan yang tidak diketahui asalnya, seperti ada seseorang yang selalu menunggunya.

“Tentu saja ayah... ya kan adik....” saut Azka merangkul sang adik, pemuda itu memang satu mobil dengan ayah dan adiknya.

Mereka telah sampai di mansion, Vano berjalan paling belakang dengan Andrian yang berada di sampingnya, tangannya bergetar, ia merasa ketakutan saat melihat para bodyguard yang berjaga di mansion, Andrian yang mengerti lantas menggandeng tangan sang putra lalu memasuki mansion.

“A aku mau ke kamar.” Putus Vano saat sampai di ruang tengah, karena demi tuhan sekarang dirinya sedang ketakutan saat melihat para bodyguard yang seakan siap untuk kembali melecehkan tubuhnya, ia merasa akan aman jika bersama dengan pria itu, memang yang keluarganya tahu ia sudah terlepas dari bayang bayang pria itu, namun sejujurnya, ia tidak bisa lepas barang sedkit pun dari pria yang sudah merusak mentalnya.

“Baiklah ayo ayah antar.” Jawab Andrian.

Sesampainya di kamar Vano, Andrian membantu sang anak berbaring di atas ranjang king sizenya.

“Jika butuh apa-apa tekan tombol ini, ayah akan turun untuk mengambil makan siangmu.” Ingatnya lalu kembali keluar tanpa melihat sosok sang anak yang menatapnya.

“Ha a aku takut...” lirihnya, bulir air mata keluar dari kelopak cantiknya, entah sudah berapa lama ia tidak menampilkan senyum indahnya.

Ia berusaha bangkit dari ranjang dengan mata yang masih berderai air mata, perlahan tapi pasti ia menuju balkon yang ada di kamarnya, tepat pada pembatas balkon, dirinya menghirup udara dalam-dalam lalu menghembuskannya perlahan, namun tindakan itu tidak sedikit pun mengurangi rasa takutnya, sebenarnya ia tidak tau apa penyebabnya, sekarang ia hanya ingin terbebas dari rasa takut yang menguasai jiwa dan tubuhnya.

Andrian yang selesai menyiapkan makan siang untuk sang anak mengantarkan makanannya ke kamar Vano, ia memasuki kamar, dirinya melihat sang anak berada di balkon tersenyum lembut, jika ia ingat, wajah putra bungsunya itu sangat mirip seperti mendiang istrinya, sangat persis malah, ia terkekeh lalu memanggil Vano agar segera makan siang.

“Al saatnya makan siang.” Panggilnya, namun Vano tidak merespons.

“Al...” panggilnya lagi, namun ia begitu terkejut saat ia melihat wajah anaknya penuh dengan air mata saat melihat ke arahnya.

“A ayah a aku takut...” lirihnya.

“Hei kamu kenapa?” Tanyanya menghampiri sang anak bersiap untuk memeluknya.

Langkahnya terhenti saat sang anak kembali berucap bahwa ia ketakutan.

“A ayah ak aku sungguh takut...” ucapnya lagi.

“Kemarilah peluk ayahmu ini Al.” Ucapnya meyakinkan, namun Vano menggeleng.

“Ti tidak......, A aku sayang ayah...” ucapnya dengan senyum tipis di wajahnya, perlahan ia memundurkan langkahnya.

Andrian kembali melangkah saat mendengar ucapan sang anak, namun sekarang badannya serasa tidak bisa digerakkan, suaranya tidak mau keluar saat dirinya berusaha memanggil nama sang anak.

Ia merasa dunianya hancur detik itu juga saat melihat tubuh sang anak terjun bebas dari balkon tepat di depan matanya.

“TI TIDAKKKK ALVANOOOO.” Teriak Andrian hancur.

Dengan langkah gemetar ia turun ke lantai bawah untuk mendekat ke putra bungsunya.

“Ada apa Ayah?” Tanya anak anaknya serempak saat mendengar teriakan sang ayah dari lantai atas.

Mereka yang berada di sana juga bertanya tanya karena baru kali ini mereka mendengar suara Andrian yang begitu menggelegar.

Namun Andrian tidak menjawabnya dan malah mempercepat langkahnya, mereka yang penasaran juga mengikuti langkah Andrian dari belakang.

Tepat saat di bawah balkon kamar sang anak, Andrian dengan cepat menghampiri tubuh dingin sang anak dengan darah yang menghiasi setiap bagian tubuhnya, bahkan masih ada sisa air mata di wajah sang anak, ia mendekap dengan erat seakan tubuh putranya akan menghilang.

“Ti tidak.... Al bangun hiks.”

“A ayah mohon bangunlah.... hiks.”

“Bangun... hiks ayah tidak hiks suka bercandamu ini hiks...”

“AL BANGUN” teriaknya lagi seakan sang anak mendengar ucapannya.

Andrian berulang kali meneriaki nama sang anak agar terbangun, namun sayang, suara yang ia keluarkan tidak akan membuat putranya terbangun dengan tubuh yang terbujur kaku.

Mereka yang ada di sana menyaksikan betapa hancurnya keadaan Andrian, dan mereka juga merasakan apa yang Andrian rasakan, semua anggota keluarga menangis, sekarang sudah tidak ada lagi perjuangan dari seorang Alvano.

Hujan mulai turun membasahi tanah, seakan ikut menangis atas kepergian seorang bungsu dari keluarga Prasetya.

Matanya perlahan terbuka, ‘Dimana ini?’ Batinnya dalam hati.

“Arka akhirnya kamu sadar nak hiks, maaf... maafkan bunda... hiks...”

“Ay ayah juga minta maaf karena selama ini telah bersikap tidak adil.”

Tit tit tit

Hanya bunyi mesin ekg yang menyaut setelah sepasang suami istri itu berucap akan penyesalan dalam diri mereka.

Ah apa aku kembali hanya untuk mendengar penyesalan dari mereka?’ Batinnya lagi.

Seharusnya aku marah hingga menangis darah, tapi aku tidak merasakan hal itu. Anehnya aku merasa tenang. Benar, memang apa yang aku harapkan dari tubuh yang akan mati?’ Batinnya.

Ah sekarang aku mengerti, ini karena aku memang sudah lelah.’ Batinnya di akhir lalu memejamkan mata.

END





Akhirnya end woyyyyyy, ngimpi apaaaaa bisa bikin ending kyak gini..... huhuhuuuu😭

JANGAN LUPA VOTE DAN COMENT YAAA

RABU, 16 AGUSTUS 2023
02.02

Revisi: 10 Januari 2024

STORY OF LIES (SOL) ✔️ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang