SOL 24

2.9K 197 2
                                    

Setelah seminggu mereka liburan di Villa keluarga, kini mereka telah bersiap untuk kembali ke kediaman, keluarga sang kakak juga memutuskan untuk singgah sementara di mansion Andrian karena sebelumnya memang keluarga sang kakak menetap di luar negeri.

Vano tidak sabar ingin segera masuk sekolah dan menceritakan semua kegiatan yang ia lakukan selama liburan kepada sahabatnya.

Karena semenjak liburan ia jarang sekali menghubungi sahabat sahabatnya, ia hanya ingin menikmati waktu bersama keluarganya, para sahabatnya juga sangat senang ketika mendengar Vano akan berlibur bersama keluarganya.

Juga, entah mengapa belakangan ini Vano sering merasa nafasnya sedikit sesak, nafsu makannya juga lumayan berkurang, bahkan untuk sekedar berlari saja ia kelelahan, dan juga ia sering kali mengalami mimisan.

Ia tidak berani cerita soal keadaan yang ia alami, ia takut merepotkan keluarganya, ditambah lagi mungkin ini adalah faktor cuaca, karena memang belakangan ini cuaca sering kali berubah ubah, Jadinya Vano tidak terlalu mengkhawatirkan hal tersebut.

Sekarang Vano telah sampai di mansion, anak itu dengan wajah lelah menuju kamarnya.

“Aku ke atas dulu semua.” Pamitnya pada semua orang.

“Baiklah, nanti jika sudah waktunya makan malam akan ayah bangunkan.” Balas Andrian.

Andrian memperhatikan punggung anaknya, entah mengapa, ia rasa anaknya itu beberapa hari ini seperti tidak bersemangat, apa lagi dalam beberapa kesempatan Vano terlihat seperti mudah lelah, namun ketika ia mengingat penjelasan adiknya, anaknya itu pasti kelelahan, padahal Vano selalu saja ia ingatkan agar jangan terlalu memaksakan diri, memang dasar keras kepala.


Setibanya Vano dikamar, anak itu berlari menuju wastafel ketika merasakan sesuatu yang akan keluar.

Selalu saja seperti ini.’ Dengusnya ketika melihat darah yang kembali keluar dari lubang hidungnya, ia melihat pantulan dirinya di cermin, berat badannya lumayan berkurang, tidak ada lemak pipi di wajahnya, ditambah adanya sedikit kantung mata, karena setiap tengah malam ia sering merasa sesak nafas, dan berakhir ia tidak dapat kembali tidur.

Juga alasan itulah ia memilih untuk menempati kamarnya sendiri, padahal dirinya sangat amat ingin tidur bersama sang ayah.

Huh tak apa lah, selagi dirinya bisa menahannya dan tidak merepotkan kenapa nggak, pikirnya.

Selesai membasuh wajahnya, ia merebahkan tubuhnya di kasur, ada perasaan lelah yang ia rasakan, padahal ia sedang tidak melakukan apa pun.

Setelah berbagai pikiran terlintas di benaknya, akhirnya anak itu perlahan lahan mulai menutup matanya di saat rasa kantuk mulai tiba.

.
.
.
.

Sudah dua minggu berlalu, hari ini waktunya Vano untuk kembali sekolah, kini ia tengah bersiap siap dengan seragamnya tidak lupa beberapa keperluan yang ia butuhkan. Karena sudah terhitung dua minggu lamanya ia libur sekolah.

Ia berangkat ke sekolah bersama dengan kakaknya Azka, ia hanya merasa agak malas untuk berangkat sendiri. Tapi sebelum berangkat, seperti biasa mereka akan mengawali harinya dengan sarapan bersama.

Vano memandang hidangan di depan dengan berselera, ia ingin sekali bisa menikmati masakan yang ada di depannya, namun jika ia memaksakan makan mungkin ia pasti akan berakhir kembali di kamar mandi.

Akhirnya ia memaksakan sarapan setelah lama bergelut dengan pikirannya, Vano memakan sarapannya dengan tidak semangat, hei dia hanya tidak ingin pingsan karena lapar jika kelamaan mendengar ceramah dari kepala sekolah, terlebih lagi jika terkena panasnya matahari pagi, bisa uring-uringan entar keluarganya.

“Udah selesai Al? Kalo udah ayo berangkat, kakak soalnya disekolah ada urusan.” Ajak Azka yang diangguki oleh Vano.

Mereka berdua pamit untuk berangkat ke sekolah dengan mengendarai mobil milik Azka.

Saat berada di mobil, Vano sedikit membuka kaca pintu mobil, matanya terpejam merasakan hembusan angin pagi, ada perasaan tenang saat angin pagi mengenai kulit pucatnya.

Sesekali matanya melirik ke arah yang berlawanan, entah mengapa senyum itu terbit dari bibir pucatnya saat menyaksikan anak kecil yang tengah berjalan di trotoar dengan bergandeng tangan bersama orang dewasa juga tawa yang terlepas dari bibir mungil itu.

Azka yang menyadari kegiatan sang adik tersenyum kecil, ia dapat merasakan seolah senyum sang adik terukir dengan sangat tulus, tidak lupa sepasang dimple di pipinya.

Sungguh, itu adalah sebuah moment yang akan ia rekam dalam memory otaknya, ia memperhatikan wajah sang adik dari samping, entah mengapa ia merasa tubuh adiknya semakin kurus saja tiap harinya, tidak lupa kulit pucatnya.

“Dek ngeliatin apa sih?, kok sampek senyam-senyum sendiri gitu?” Tanyanya sembari fokus ke jalan.

“Nggak ada bang. Lah eh kok abang sih” Jawabnya bingung sendiri.

“Heee nggak apa-apa kali kalo manggil abang, lagian panggilan itu juga lebih bagus, kayak akrab aja gitu kedengarannya.” Balas Azka.

“Iya juga sih.”

“Ya udah panggil abang aja, abang lebih suka, abang..... cobak panggil.” Godanya.

“Malu ih...” balasnya menahan senyum, wajahnya sudah merah menahan malu.

“Cobak aja abang.....” godanya lagi.

“Udah yah kak, kayak om-om pedo aja sih.” Dengusnya kesal.

“Ha ha ha iya, tapi panggil abang ya mulai sekarang.” Harapnya.

“Iya....”

“Ya udah panggil.”

Oh ya Tuhan, ada apa dengan kakaknya hari ini, Vano malu kalau digoda macam anak perawan saja.

“Abang.” Cicitnya pelan.

“Apa abang nggak kedengaran.” Candanya.

“Ih au ah, aku marah ya sama abang. Ups....” ucapnya keceplosan dengan refleks menutup mulutnya.

“Iya iya adeknya abang, gemes deh jadinya.”

Azka sesekali memperhatikan wajah sang adik, lucu sekali adiknya ini, apalagi wajah adiknya sekarang tengah bersemu merah karena ia goda, sungguh pemandangan yang langkah.

Tunggu saja, nanti sepulang sekolah ia akan menceritakan kejadian ini pada keluarganya, biar saja mereka semua iri, hari ini dia menang banyak.

.
.
.
.

Setelah dua puluh menit berkendara dari mansion, akhirnya mereka telah sampai di sekolah, perjalanan terasa begitu singkat karena mereka berdua bergurau melempar candaan selama di perjalanan.

“Dek nanti pulangnya sama abang aja, oke?”

“Iya lah bang, kan gue jalannya sama lo.” Balasnya.

“Ya udah sana, awas lo ya jangan lupa.” Ingatnya.

“Iya..... abang, bawel banget sih huh.” Dengusnya meninggalkan Azka yang masih berada di parkiran.

Azka yang merasa dirinya ditinggal hanya geleng geleng kepala, cepat sekali mood adiknya itu berubah, tadi aja mode cutie lah sekarang balik lagi ke pengaturan awal.

Vano melewati rute seperti biasanya sebelum tiba dikelasnya, dan ya bari kali ini ia melihat para sahabat itu telah berkumpul di sana, biasanya dua curut itu pasti datang terlambat, siapa lagi kalo bukan Alqi dan Faldi.

“Tumben kalian udah datang?” Tanya Vano basa basi.

“iya nih perawannya lagi nggak mood ke toilet.” Canda Faldi, sedangkan Alqi hanya tersenyum pasrah, biar apa kata sudah, ia lelah dengan semua ini jengah.

Setelah sepuluh menit mereka di dalam kelas, bel sekolah berbunyi, seluruh murid di sana diharuskan berkumpul di lapangan.

Di tengah lapangan, kini mereka berbaris sesuai kelas masing-masing, Vano berada di tengah tengah antara Faldi dan Riko, sedangkan Alqi berada di barisan paling belakang takut terpapar sinar matahari, bisa hilang kadar kegantengannya kalo item.

Hampir dua puluh menit mereka berada di tengah lapangan, sinar matahari sudah mulai terasa panasnya, Vano tiba-tiba saja merasakan kepalanya begitu pusing, tidak lupa darah yang mulai kembali keluar dari hidungnya, ia dengan cepat menutup hidungnya.

Please, aku mohon jangan sekarang.’ Batinnya melas.

“Van lo oke?” Tanya Riko yang berada di belakang, karena sedari tadi ia lihat Sahabatnya itu hanya tertunduk dengan tangan yang memegangi hidung.

Vano berusaha menahan agar dirinya tidak limbung, namun sayang, ia tidak kuat lagi menahan pusing yang menyerangnya, Tubuhnya terhuyung ke belakang dengan kesadaran yang kian menipis, samar-samar ia mendengar derap kaki mulai mendekatinya.

Sedangkan disisi lain, Andrian kini telah kembali bergelut dengan tumpukan berkas yang menggunung.

Sebuah notif pesan muncul di layar ponselnya.

Pesan baru...

Sudah lama tidak bermain Andrian.’
















Pengen banget nuntasin cerita ini sebelum 30 chapter, tapi selalu aja muncul ide mendadak, yang berakhir 'kayaknya lebih dari 30 deh'🙂

SENIN,12 JUNI 2023

Revisi: 10 Januari 2024

STORY OF LIES (SOL) ✔️ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang