SOL 20

4.1K 259 3
                                    

Lima jam telah berlalu, Vano telah dipindahkan ke ruangan VVIP yang ada di sana, alat-alat yang ditubuhnya sudah mulai dilepas tanpa terkecuali selang infus ditangan kirinya.

Di dalamnya, Andrian dan ketiga anaknya duduk di sofa yang ada di ruangan, sesekali mengecek keadaan Vano secara bergiliran, mereka berempat dengan sabar menunggu Vano kembali sadar.

Terlalu banyak hening di ruangan itu, suasana terasa canggung, tidak ada yang berani memulai pembicaraan, dan tidak ada yang berniat untuk sedikit melepas penat, sampai sebuah suara terdengar dari bangkar Vano berhasil menarik perhatian mereka.

EUGH...

"Hei Al akhirnya anak ayah sadar." Ucap Andrian penuh syukur memeluk tubuh Vano, sedangkan ketiga anak Andrian memperhatikan interaksi manis antara keduanya.

"Pembunuh..."

"Aku pembunuh, aku telah membunuh bunda."

"Pembunuh, mati saja kamu."

"Mati." Ucap Vano pada dirinya sendiri pelan.

Andrian yang mendengar gumaman Vano seketika menelungkup pipi Vano untuk menghadap pada wajahnya.

"hei dengar ayah, ini bukan salah kamu, itu semua kecelakaan hm.." ucapnya meyakinkan.

Tetapi Vano masih saja menyangkal dan mengatai dirinya sendiri seorang pembunuh.

"Ta tapi a ayah bilang a aku seorang pembunuh, aku telah membunuh bu bunda, a aku pantas mati." Vano tidak sadar bahwa sekarang yang sedang ia ajak bicara adalah ayahnya, Andrian.

Andrian merasa hancur mendengar penuturan sang putra, ketiga anak Andrian juga terenyuh mendengar penuturan sang adik, ternyata luka batin adiknya sangat dalam sampai membekas di lubuk hatinya bahkan sekali pun dalam keadaan tidak sadar.

"Maaf, hiks maafkan ayah, kamu bukan pembunuh, hiks anak ayah bukan pembunuh." Andrian menangis sambil memeluk sang. Putra.

"Ta tapi a ayah bilang a aku...."

"Tidak kamu bukan pembunuh Al, hiks putra ayah bukan pembunuh." Sangkalnya cepat.

Hwaaaa.....

Kini tangis seorang Alvano pecah, anak itu dari dulu berusaha sangat keras untuk menutupi luka hatinya, namun kini tidak lagi, ia telah melepas semuanya dan menangis di pelukan sang ayah, seorang figur pahlawan yang dulu sangat menyangyanginya.

"Maaf, maafkan ayah yang tidak mencari kebenarannya terlebih dahulu Al, maaf." Ucapnya

Ketiga anak Andrian juga tidak sanggup menahan air mata yang sudah membendung di pelupuk matanya, sekarang ruangan itu telah penuh dengan isak tangis satu keluarga.

.
.
.
.

Hening, itulah yang terjadi di dalam ruangan itu, setelah dua hari yang lalu kebenaran yang sesungguhnya telah anak itu ketahui, entah kenapa hati anak itu senang sekaligus sakit secara bersamaan.

Ia merasa senang saat kebenaran yang sesungguhnya telah terungkap, dan sakit saat memikirkan semua kejadian yang sudah keluarganya lakukan padanya.

Ia merasa marah saat Andrian meminta maaf padanya dan dengan entengnya mengucap kata 'maaf' pada dirinya.

Mungkin hanya Andrian yang merasa senang , sedangkan Vano ia merasa dunia tidak adil, jadi selama ini ia hanya dijadikan sebuah tameng oleh seseorang yang bahkan dirinya tidak tahu wajahnya, juga untuk belasan tahun dirinya disiksa juga dicaci maki oleh keluarga kandungnya sendiri.

Buat apa ia hidup selama ini, jika ia harus menanggung kesalahan yang bahkan tidak ia perbuat, juga Andrian dengan gampangnya meminta maaf setelah semua siksaan yang ia layangkan pada dirinya.

Ayahnya itu terlalu meremehkan perasaan Vano, tidak sadarkah selama ini Andrianlah yang telah merusak tu buh dan psikis seorang Vano.

Kini Vano duduk di atas ranjang pesakitannya, netranya menatap lekat pada sang ayah yang tengah duduk di sofa.

Andrian yang merasa dirinya ditatap mengalihkan pandangan ke arah bangkar, "Apa kau butuh sesuatu?" Tanyanya pada Vano.

"Tidak." Jawab Vano singkat sembari mengalihkan pandangan arah lain.

Andrian merasa sifat anaknya 2 hari terakhir terasa berbeda, ter banding terbalik dengan yang dulu.

Dulu, biasanya anak itu akan selalu berusaha menarik perhatiannya, namun sekarang anaknya itu menatap matanya saja enggan.

Andrian tidak sadar, bahwa sikap Vano berubah jauh-jauh hari pada saat malam itu, yaitu semenjak dirinya dengan membabi buta memukul anaknya hingga sekarat.

Selama seminggu Vano dirawat di sana, ia tidak banyak bicara, dan akan menjawab secukupnya jika ditanya, ia merasa segan untuk berbicara dengan keluarganya.

Sahabatnya juga tidak ada yang menemuinya, terakhir kali bertemu saat dirinya dilarikan ke rumah sakit dan berujung dirinya kembali koma.

Apa sahabatnya itu tidak kangen dengan wajah gantengnya? Pikir narsis Vano.

Ia terkekeh sendiri saat membayangkan tingkah laku sahabatnya saat di sekolah, kekehan Vano membuat atensi sekitar menatapnya heran.

"Kamu kenapa?" Tanya Angga yang ada dipojok sofa.

"Emang kenapa?" Vano sendiri juga merasa heran, kenapa semuanya menatapnya begitu.

"Kita akan pulang saat infus ditanganmu sudah habis." Jelas Danu, Vano hanya mengangguk mengiyakan.

Akhirnya ia bisa terbebas dari para dedemit ini, seminggu di sini membuat dirinya hampir gila, bahkan dirinya saja tidak diperbolehkan untuk ke kamar mandi sendiri, ia juga butuh privasi, bahkan area terlarangnya saja sudah dilihat oleh keluarganya, itu melukai harga dirinya sebagai seorang pria.

Vano tidak menyadari bahwa selama dia tidak sadarkan diri siapa yang merawatnya, bahkan daerah privasinya sudah dijamah untuk kebersihan dirinya oleh Andrian.

Vano sudah sampai di mansion, tadi pada waktu keluar rumah sakit, ayahnya itu entah kesambet apa menyuruhnya untuk menempati kamarnya yang lebih besar, Vano sih tidak masalah selama itu tidak merugikan dirinya.

Ia berjalan menuju kamarnya tanpa mengucap sepatah kata pun dengan keluarganya, keluarga Vano hanya menghembuskan nafas pasrah, mungkin ini karma untuk mereka.

Setelah sampai, ia merebahkan tubuhnya di atas kasur, di tatapnya dinding atap, Vano menghela nafasnya pelan, dirinya bosan, mana ponselnya hilang lagi saat kejadian dirinya tertusuk.

Untung masih ada uang tabungan yang ia simpan, jadi besok ia berniat akan membeli ponsel baru, yang susah itu izin keluarnya, ah masa bodoh, besok aja ia akan pikirkan caranya, sekarang dirinya tidur dulu.

Dan mulai minggu depan setiap hari weekend, Vano diwajibkan untuk selalu datang ke rumah sakit guna melakukan terapi ke psikiater, awalnya ia bersih keras menolak karena ia pikir dirinya tidak gila, tapi karena kumpulan setan itu mengancamnya, akhirnya ia hanya bisa menuruti kehendak keluarganya.

Ya siapa yang nggak jadi nurut coba, kalau ancamannya dirinya akan dikurung dan selalu diawasi keluarganya tanpa cela di setiap sudut, ia kan ingin bisa keluar bebas dan pergi jalan-jalan dengan sahabatnya.

Kapan lagi ya kan dia mendapatkan kebebasan, mengingat dulu jadwalnya selalu di pantau oleh Andrian, terlambat sedikit saja hukuman akan ia dapatkan.

Mata yang terpejam itu kini telah menjelajahi alam mimpinya, entah apa yang ada di mimpinya, sehingga membuat dirinya tersenyum untuk pertama kali dalam tidurnya.

Sleepwell Alvano







KAMIS, 01 JUNI 2023

00.22

Revisi: 10 Januari 2024

STORY OF LIES (SOL) ✔️ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang