2

1.7K 306 54
                                    

Hinata melipat jas abu gelap itu di tepi ranjangnya lalu memasukannya ke dalam paperbag yang ada di atas nakas.

Hari ini dirinya memiliki janji temu dengan Dokter itu, jam delapan malam di resto sushi tak jauh dari sini.

Wanita itu kembali duduk di kursi meja rias, mengenakan make up tipis seperti biasa. Pakaiannya hanya berupa midi di bawah lutut berwarna hitam dipadu coat tebal berwarna cokelat.

Musim gugur tahun ini curah hujan begitu tinggi, menandakan musim dingin akan sama buruknya.

Ponsel Hinata bergetar di atas nakas menampakan nama pria itu di layarnya. Sejak pertemuan mereka di studio waktu itu, sesekali mereka bertukar pesan yang berakhir pada rencana pertemuan malam ini.

Hinata pikir pria itu cukup hangat dan menyenangkan, namun alasan mereka bertukar pesan hanya sebatas informasi soal progress pembuatan guci abu untuk mendiang ibunya.

Setelah memastikan dirinya rapi dan siap berangkat, Hinata meraih coatnya dan mengenakannya kemudian melangkah ke luar kamar membawa tas tangan serta paperbag miliknya.

Wanita itu memadamkan semua lampu di lantai dua sebab hanya dirinya yang tinggal di sini seorang diri.

Saat melangkah menuruni tangga, Hinata terkesiap mendapati seseorang sudah berdiri seolah menunggu di lantai satu, dekat pintu menuju ruang tengah.

"Siapa yang akan kau temui malam-malam begini hm?" Pria itu bertanya dengan nada dingin yang jelas menyatakan ketidaksukaan.

Hinata menghentikan langkahnya, menatap pria itu dengan tatap sulit diartikan. Bagaimana bisa pria itu masuk?

Pria bertubuh tinggi itu melangkah menghampiri kekasihnya yang berdiri di atas tangga dengan menarik pergelangan tangannya dengan cukup kasar. "Turunlah, aku ingin melihatmu."

Hinata terkesiap saat dirinya ditarik ke ruang tengah, kemudian dipaksa duduk di atas sofa.

Toneri menyerenyit saat mendapati paperbag terlempar ke bawah kaki meja saat wanita itu terjatuh ke sofa. Dia meraihnya dan mendapati pakaian pria ada di dalamnya.

Hinata memalingkan wajahnya dari Toneri, dia tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.

"Kau benar-benar ingin menemui seorang pria hm?" Toneri melempar paperbag itu ke lantai kemudian menampar wanita itu keras-keras.

Hinata sudah terbiasa dengan ini semua sehingga mendapati pria itu memukulnya, tak membuatnya terkejut sama sekali, meski tentu saja rasanya sangat menyakitkan.

"Siapa yang ingin kau temui, Hinata?" Toneri menarik dagu lancip wanita itu dan memintanya mendongak.

Hinata bungkam seribu bahasa daripada bicara, dirinya lebih baik menerima semua itu.

"Apa kau tidak pernah merasa lelah Hinata?" Toneri bertanya dengan nada dingin. Kemudian dia melangkah ke sudut ruang, meraih guci-guci keramik kecil yang ada di atas meja tinggi dan melemparnya ke arah lantai dekat Hinata berada.

Hinata masih terduduk di sofa, dia menundukan kepalanya sambil menutup mata dan telinga, dia benci mendengar suara pecahan dan bantingan barang yang sudah dirinya hapal betul tiap kepingannya.

Melarikan diri sama dengan bunuh diri, jadi Hinata selalu bertahan dengan semua ini meski rasanya nyaris mati.

Pria itu bukan lagi kekasihnya, tapi masa lalu telah mengikat mereka sampai hari ini. Hinata tidak akan pernah lupa kapan tepatnya Toneri mulai berlaku kasar kepadanya, tiga tahun lalu saat dirinya minta hubungan mereka berakhir namun pria itu tak mengucapkan satu pun kata setuju, hingga hari ini.

Hands of YoursTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang