25

1.4K 257 19
                                    

"Jangan lupa minum air meski kau sangat sibuk." Naruto memberikan sebotol air kepada Hinata yang seharian sibuk membuat cangkir keramik di rumah. Dirinya baru kembali bekerja dari rumah sakit dan mendapati Hinata masih ada di tepian ruang tengah, bersama tanah liat yang sudah selesai dibentuk menjadi cangkir.

Ya, Hinata dipaksa beristirahat di rumah dan menyerahkan pekerjaan di studio kepada para pekerjanya. Sebab Dokter pribadinya yang sangat cerewet itu terus memarahinya.

"Baiklah." Hinata menenggak separuh botol air kaca itu.

Naruto mengikat surai Hinata di belakang kepalanya "kau ingin makan apa untuk makan malam?" Dia bertanya kepada wanita itu. Sebab ia nampak kerepotan dengan pekerjaannya.

"Sup saja." Hinata tidak menginginkan makan malam yang terlalu mengenyangkan.

Naruto meraih ponselnya di meja dan bersiap memesan makan malam. Dirinya melarang Hinata kelelahan setidaknya sampai masa krusial dua minggu terlewati. Maka frekuensi, bekerja dan pekerjaan rumah harus dikurangi.

"Terima kasih." Ucap Hinata seraya menatap pria itu yang duduk di sampingnya dan sibuk memesan makanan.

Naruto meraih tangan kanan Hinata dan mengecupnya sekilas. Dia tersenyum simpul seraya membelainya dengan lembut. "Katakan padaku apapun yang kau ingin dan butuhkan."

"Kau ada di sini saja sudah lebih dari cukup." Ucap Hinata sambil menatap pria itu.

Naruto berdehem pelan, dia lupa memberitahu Hinata bahwa dirinya akan ada sedikit pekerjaan. "Hinata, besok malam aku harus pergi ke Jerman selama tiga hari, ada pekerjaan."

Hinata mengangkat alisnya dan bertanya sedikit terkejut. "Pekerjaan?"

"Pekerjaan dari pusat, beberapa mayat tanpa identitas ditemukan di Berlin, nyaris seluruh organ dalam menghilang, kebetulan kami sedang mengusut kasus penjualan organ ilegal." Naruto memberitahu Hinata soal pekerjaan rahasianya itu. Sebab dia sudah janji kepada Hinata bahwa tak akan ada lagi kebohongan di antara mereka.

"Pekerjaannya berbahaya?" Tanya Hinata untuk mrmastikan.

"Tidak berbahaya, aku hanya mendampingi Dokter Forensik untuk memeriksa bekas potongan organ dan menganalisa." Naruto diminta pusat membuat analisa semahir apa dan bagaimana cara organ-organ itu diambil.

"Berhati-hatilah saat bekerja." Pesan Hinata kepada pria itu.

"Jangan khawatir." Naruto kemudian mengecup pipi wanita itu. "Kau yang harus jaga kesehatan, jangan sampai sakit." Dia kemudian membelai perut wanita itu dengan lembut. "Aku akan kembali Rabu malam."

"Baiklah." Naruto senang sekali, hubungan mereka kembali hangat seperti dulu, bahkan lebih hangat dari sebelumnya.

Mereka bicara berdua, berbagi hari melalui percakapan panjang yang menyenangkan, tidur saling mendekap dan saling mengasihi.

Hidup tak pernah berjalan semenyenangkan ini sebelumnya, setidaknya bagi Hinata begitu.

...

"Tidurlah dan beristirahat, jika sesuatu terjadi telepon aku. Atau teriak saja sekeras yang kau bisa. Dua agen intelegensi dengan surai berwarna gelap yang nampak mencurigakan akan datang menolongmum." Wanti Naruto kepada Hinata.

Mereka di depan pintu rumah, katanya Naruto akan di jemput supir kantor untuk berangkat ke bandara. Penerbangannya pukul sebelas malam nanti.

Hinata menyerenyitkan kening. "Siapa itu?" Dia tidak mengerti apa yang Naruto maksud.

Naruto meletakan penyadap di genggaman wanita itu, ternyata selama ini masih di simpan di dalam clutchnya. "Ini adalah interkom satu arah, rekaman suaranya tersambung ke kantor dan juga ponselku."

Hinata terkesiap. "Apa artinya ini penyadap?" Pria itu menyadapnya selama ini?

"Jangan khawatir, ini tidak berbahaya. Justru membantu di saat-saat genting." Ucap Naruto dengan serius. Dirinya akan meninggalkan Hinata selama tiga hari, jadi ada baiknya mereka memiliki komunikasi yang tetap tertaut. Ponsel terlalu merepotkan.

Hinata merapikan kerah kemeja pria itu. "Kau menyadapku selama ini ya?" Dia pikir benda itu hanya pelacak lokasi atau sejenisnya, tidak mengira bahwa itu juga bisa merekam suara.

"Aku tahu semua rahasiamu." Naruto melingkarkan lengannya di pinggul wanita itu dan tersenyum simpul.

"Katakan salah satunya." Hinata butuh pembuktian dari seberapa canggih alat ini.

"Kau menangis semalaman di hari ulang tahunmu, tahun lalu." Naruto membelai surai wanita itu dengan lembut.

"Aku benci ulang tahunku." Hinata tidak menyangka pria itu tahu sejauh ini. Semasa kecil di panti dulu, tak ada perayaan ulang tahun, hanya dirinya menatap iri kepada anak lain di luar sana yang meniup lilin dan mendapat hadiah.

"Kau akan mulai menyukainya sekarang, akan kuberikan memori indah di ulang tahunmu selanjutnya." Naruto mengecup pelipis wanita itu.

"Terima kasih." Hinata menepuk pelan bahu tegap pria itu, pakaiannya sudah rapi, dia siap berangkat ke Jerman. "Sampai bertemu Rabu malam nanti."

Naruto mengecup bibir wanita itu seraya memeluknya. "Aku mencintaimu."

Mobil silver berhenti di pekarangan rumah setelah itu dan Naruto membawa tasnya pergi sambil melambaikan tangan ke arah Hinata.

...

Suara keran air masih terdengar di toilet kamar utama rumah satu lantai itu.

Hinata sedang terlelap di atas ranjang pada awalnya, namun dia merasa benar-benar sakit perut hingga tersiksa. Kemudian dia menyadari bahwa sesuatu mengalir di bawah tubuhnya.

Wanita itu setengah berlari ke toilet dan mendapati dirinya ternyata datang bulan.

Entah kenapa Hinata merasa sedih mendapati hal tersebut. Dirinya dan Naruto telah bersiap selama nyaris dua minggu penuh pada kemungkinan kehamilan itu.

Bahkan beberapa waktu belakangan mereka benar-benar mempersiapkannya sambil berharap strip testpack yang Hinata gunakan memiliki dua garis merah di atasnya.

Wanita itu masih terduduk di atas closet sambil menyandarkan kepalanya di kaca pembatas bathtub.

Ya, memang salahnya memberi dugaan itu pada awalnya, mungkin memang belakangan ini dirinya terlalu stress dan kelelahan sehingga terlambat datang bulan.

Naruto apa nanti akan kecewa kalau tahu dirinya tidak hamil?

Pria itu selalu nampak bersemangat soal kehamilan ini, seolah sangat tidak sabar untuk jadi seroang ayah, pria itu juga memperlakukannya dengan sangat lembut dan hati-hati seolah khawatir sesuatu terjadi kepadanya.

Namun kini, semua itu hanya kesemuan semata. Dirinya hanya terlalu terburu-buru mengira soal kehamilannya.

Hinata memejamkan mata seraya meremat perutnya yang terasa benar-benar sakit. Datang bulan memang tak pernah terasa menyenangkan dan menyiksa.

Dirinya mungkin harus ke rumah sakit besok untuk memberitahu Dokter kandungannya soal berita ini, agar tidak perlu menunggunya datang lagi.

...

"Hinata kenapa tidak mengangkat telepon?" Naruto bertanya cepat saat akhirnya panggilannya diangkat.

"Maaf, Naruto." Aku pergi ke studio kemarin." Hinata baru bisa menelepon Naruto di hari ke dua keberangkatan pria itu.

"Kau baik-baik saja?" Tanya Naruto dengan khawatir. "Kuminta seorang Dokter datang ke rumah ya?"

"Tidak perlu, aku baik-baik saja." Cegah Hinata. Dirinya sebetulnya sejak kemarin hanya berada di atas ranjang dan merenung. Entah bagaimana harus mengatakan kepada Naruto soal ini.

"Benarkah?" Naruto bertanya lagi untuk memastikan.

Hinata bergumam. "Bagaimana pekerjaanmu di sana?" Dia tidak ingin memberitahu Naruto berita buruk soal kehamilan itu melalui telepon, khawatir pria itu kecewa dan tidak fokus pada pekerjaannya.

"Aku hanya ingin segera pulang." Ucap Naruto.

...

Hands of YoursTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang