Hinata mengeluarkan semua barangnya dari rumah Naruto, meletakannya di ruang tengah seraya menunggu taxi yang sudah dia pesan.
Hari ini dirinya harus kembali ke rumah, sebab besok Toneri mungkin sudah kembali dari Singapura.
Sisa dua hari yang Hinata habiskan di sini pun hanya dipenuhi keheningan bersama Naruto. Pria itu berubah secara drastis hanya dalam kurun waktu dua hari saja.
Padahal semua baik-baik saja pada awalnya, dia tidak tahu kenapa Naruto mengabaikannya, nampak muram, dan bersedih tiap saat ada di rumah.
Jadi Hinata simpulkan bahwa Naruto sesungguhnya sudah tidak mau ada di sini bersamanya. Seperti mereka yang terlalu cepat memutuskan bersama, maka cepat juga mereka berpisah hari ini.
Berat sekali bagi Hinata. Dirinya menangis tiap saat pria itu pergi bekerja lalu mencoba mencairkan suasana saat pria itu pulang meski akhirnya tetap keheningan yang mereka miliki.
Saat menunggu taxi yang tak kunjung tiba, pintu utama rumah itu dibuka dan Naruto melangkah masuk.
Naruto sedikit terkejut mendapati Hinata berdiri di ruang tengah, membawa clothes bag besar dan mengenakan mantel seolah siap pergi.
Keduanya saling bertukar tatap, menatap satu sama lain dengan kecanggungan.
Hinata menyudahi kontak mata lebih dulu kemudian meletakan clothes bagnya di tepian meja. "Aku akan pulang ke rumah, malam ini."
Naruto menatap wanita itu dari ujung kaki hingga kepala, dia sudah nampak sehat hari ini, kakinya juga sudah kembali normal dan tak membengkak lagi.
Rasanya berat melepaskan wanita itu, apalagi saat dia baru saja benar-benar pulih, tak ada luka lagi di tubuhnya namun Naruto harus membiarkan wanita itu kembali ke keparat yang memukulinya. "Maafkan aku, Hinata."
"Toneri mungkin akan kembali besok atau lusa." Hinata ingin Naruto tahu kalau keputusannya untuk melepaskan hari ini adalah keputusan yang besar, yang mungkin akan merubah hidupnya. "Aku tak pernah bisa melarikan diri sendirian, jadi daripada aku dipukuli olehnya, aku akan menuruti perkataannya seperti yang kau minta kemarin."
"Jangan biarkan dia memukulmu." Naruto tahu apa yang dia ucapkan saat ini hanyalah omong kosong semata.
"Di rumah sakit di tepian kota waktu itu, dia meminta pernikahan. Aku mungkin harus mengiyakan permintaannya dan kembali ke Beijing." Hinata menatap mata biru pria itu, dia tak ingin menggali sebuah penyesalan dari pria itu sama sekali, hanya saja pria itu sepertinya tidak tahu kalau perpisahan ini nyata dan akan jadi selamanya.
Naruto tak bisa menahan Hinata saat ini, meski dirinya sangat ingin melakukannya. Mengunci pintu rapat-rapat dan tak membiarkan wanita itu pergi darinya. Namun tanggung jawabnya di sini terlalu besar untuk bersikap egois. Bukan dirinya sengaja mengorbankan Hinata, tapi inilah yang harus dirinya lakukan sejak awal. "Kau akan ke Beijing dan menikah dengannya?"
"Ya." Hinata meraih tangan pria itu dan menggenggamnya "terima kasih sudah menyembuhkanku tiap kali terluka, kau berarti segalanya untuku."
Naruto kemudian memeluk erat tubuh wanita itu. Mungkin ini adalah keputusan terkonyol yang pernah dia buat seumur hidupnya. Seakan mengirim wanita itu ke neraka dengan sukarela. "Aku sangat mencintaimu, Hinata. Tapi memaksakan untuk bersama tak bisa kulakukan. Sejak awal kau bukan milikku."
Hinata sangat kecewa mendengarnya. Lalu apa artinya kebersamaan mereka selama ini, bahkan pria itu membawanya ke atas ranjang. Jika akhirnya hanya dianggap bukan miliknya, mereka tak seharusnya melakukan semua itu. Namun Hinata menelan kekecewaannya bulat-bulat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hands of Yours
FanfictionWanita cantik yang sering datang dengan luka saat dini hari itu, membuat Naruto ingin tahu rahasia apa yang dia simpan dibalik raut sendunya.