Hinata menatap tabletnya sambil tersenyum. Nyaris semua gucinya sudah terjual, tersisa empat. Mungkin dua akan dia simpan di sini dan dua lainnya akan dia berikan kepada ayah Naruto sebagai hadiah.
Ya, Hinata menjualnya secara daring sejak minggu lalu. "Naruto, aku ingin mengirim dua guci untuk ayahmu apa boleh?"
Naruto termenung menatap mangkuk makan malamnya. Ternyata permasalahan bertambah besar. Penanaman pelacak di tubuh mungkin akan sedikit sulit karena ukurannya sulit diperkecil. Shikamaru baru saja memberikan informasi soal ukuran aktual pelacak itu.
Dirinya butuh satu Dokter lain untuk jadi asistennya melakukan operasi itu. Tapi siapa dan bagaimana bisa ada seseorang ikut melakoni pekerjaan rahasia ini.
Dan Shikamaru mengatakan tak ada kemungkinan pelacak itu bisa selesai minggu ini yang artinya dirinya dan Hinata harus berakhir di sini.
"Sisa barang di studio apa boleh disimpan di rumahmu sementara waktu? Hanya beberapa dekorasi dan rak besi." Hinata tidak tahu Naruto sedang merasa pening. Dia hanya cukup bersemangat untuk segera pergi. Toneri akan kembali minggu ini, waktunya sangat sempit.
"Sementara, aku bisa tinggal di penginapan di Ceko, sampai aku menemukan rumah atau studio." Hinata kembali berucap. Dia tak mengharapkan dibawa tinggal bersama dengan Naruto di Ceko nanti, mereka masihlah sepasang kekasih, belum menikah.
Naruto meletakan alat makannya di atas meja dan menatap Hinata. "Bisakah kita bicarakan soal Ceko nanti, Hinata?"
Hinata menatap pria itu dan mendapati rautnya nampak pening dan lelah. "Maaf."
"Makanlah, nanti supnya menjadi dingin." Ucap Naruto sambil menatap mangkuk makanan milik Hinata yang belum tersentuh.
Hinata memang terkejut mendapati Naruto berucap dingin kepadanya namun dirinya terima itu karena mungkin dirinya terlalu banyak bicara malam ini.
Tapi yang membuatnya merasa sedih adalah setelah mengatakannya, pria itu beranjak dari kursi meja makan dan membuang makan malamnya kemudian mencuci mangkuk yang dia gunakan.
"Aku ingin beristirahat lebih awal." Naruto kemudian pergi ke kamar lebih dulu dan meninggalkan Hinata di meja makan.
Dia tidak sanggup menatap wanita itu lebih lama, sesungguhnya karena rasa bersalah, mendengar wanita itu selalu bersemangat soal kepindahan mereka, Naruto jadi merasa sangat khawatir akan sebesar apa kekecewaan wanita itu kalau tahu mereka tidak akan pergi?
Wanita itu bahkan sudah mengajukan pembuatan visa beberapa hari lalu.
Hinata menoleh ke arah kamar yang mereka gunakan bersama sejak minggu lalu, pintunya ditutup rapat setelah pria itu melangkah masuk.
Kegundahan sekaligus kebingungan memenuhi benak Hinata. Apa Naruto sangat marah karena dirinya terlalu banyak bicara malam ini?
...
Hinata menyeret langkahnya ke kamar, kakinya sudah cukup membaik, setidaknya dia bisa berjalan meski dengan sedikit kesulitan. Dokter mengatakan dirinya akan sembuh dalam waktu dekat. Hanya perlu menunggu bengkaknya membaik.
Saat Hinata masuk, dia mendapati Naruto ada di atas ranjang, sedang berbaring memejamkan mata, namun Hinata tahu, pria itu belum tertidur sebab ini baru pukul sembilan malam.
Wanita itu duduk di tepi ranjang. "Maaf membuatmu lelah mendengarku." Dia tak menatap Naruto saat mengatakannya.
Naruto tak mengatakan apa-apa, dia juga enggan menatap Hinata.
Hinata kemudian berbaring memunggungi pria itu dan tenggelam dalam keterpurukannya sendiri.
Mungkin Hinata terlalu rapuh sekarang, Naruto adalah satu-satunya pria yang dia percayai tak akan menyakitinya, namun saat pria itu menaikan nada bicaranya sedikit saja, membuat Hinata merasa seperti dipukul keras-keras.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hands of Yours
FanfictionWanita cantik yang sering datang dengan luka saat dini hari itu, membuat Naruto ingin tahu rahasia apa yang dia simpan dibalik raut sendunya.