4

1.5K 297 74
                                    

Hinata sibuk memperbaiki bentuk tembikar di halaman studio miliknya. Matanya menatap dengan teliti, melihat apa-apa saja yang tak dirinya sukai dari tembikar itu.

Sedangkan di sampingnya seorang pria duduk dengan raut yang didominasi rasa kantuk. Pria itu menyangga kepalanya dengan satu lengan sambil memejamkan mata.

Hinata tersenyum tipis, jika lelah dan mengantuk kenapa memaksakan diri untuk makan malam bersama?

Pria itu selesai dari pekerjaannya di rumah sakit pukul empat sore, lalu datang ke studionya, menemaninya memeriksa beberapa tembikar hingga nanti pukul enam sore.

"Kau mengantuk?" Hinata melepaskan sarung tangannya dan menyentuh lengan pria itu dengan lembut.

"Tidak." Naruto kemudian membuka kelopaknya, menampakan mata merah yang mengindikasikan hal berlawanan dengan ucapannya barusan.

"Beristirahatlah, jika lelah hari ini. Kita bisa makan malam besok." Hinata tak ingin memaksa pria itu, toh sudah seminggu penuh mereka makan malam bersama.

Naruto menggeleng dan berhenti menopang dagu. Dia kemudian meraih kopi dingin di atas meja dan menenggaknya. "Aku sadar sepenuhnya, tidak mengantuk sama sekali."

Sejak mereka cukup banyak menghabiskan waktu bersama beberapa waktu belakangan, Hinata mulai memahami kalau pria itu sedikit keras kepala. "Baiklah."

"Lanjutkan pekerjaanmu." Ucap Naruto, meski sebetulnya dirinya masih menahan diri untuk tidak terlelap.

Bagaimana tidak, Naruto telah mendapat panggilan darurat pada pukul empat dini hari dan tidak sempat kembali ke rumah setelahnya.

Meski begitu, rencana makan malam mereka tidak boleh gagal.

...

Malam itu untuk pertama kalinya Naruto membawa seorang tamu ke dalam rumahnya. Rumah yang dia gunakan selama tinggal di Tokyo. Ini bukan rumah yang berkepemilikan atas namanya, namun hanya menyewa dalam kontrak singkat sebab jika nanti urusannyaa sudah selesai di Tokyo, dirinya akan meninggalkan ini semua dan kembali ke Ceko.

"Aku nyaris tidak pernah menggunakan dapur ini, kecuali untuk memasak ramen instan." Naruto mencuci buah di keranjang untuk makanan pencuci mulut.

Hinata tersenyum tipis dan menoleh "terlihat dari peralatan masakmu yang nampak berkilauan."

"Kau membuatku tertohok." Naruto bergumam pelan.

"Aku meminta makan malam di rumah, agar kau bisa beristirahat selagi aku memasak. Tapi kenapa kau di sini hm?" Hinata lelah meminta pria itu meninggalkan dapur.

"Mana mungkin aku membuat tamuku memasak makan malam, sedangkan aku tertidur?" Naruto menolak keras.

"Maafkan aku membuatmu tetap kerepotan, harusnya kita makan di luar kalau begini." Hinata bukan ingin membuat pria itu kesulitan, justru sebaliknya.

"Deal, kita makan di luar besok." Ucap Naruto dengan cepat.

"Janji makan malam ini saja belum terlaksana, kau sudah membuat janji temu berikutnya." Hinata bergumam, dia sibuk menaburkan keju di atas lasagna buatannya.

"Aku bukan pria yang suka menyiakan kesempatan, Hinata." Naruto menatap wanita itu kali ini.

Tak ada jawaban apapun keluar dari bibir Hinata setelah itu. Sedangkan Naruto terus mengamati Hinata yang nampak sibuk. "Jika pria itu hanya mantan kekasihmu, apa artinya kau tak dimiliki siapapun sekarang?"

Hinata menoleh, tak mengira pria itu akan bertanya soal ini. Meski memang beberapa waktu belakangan mereka kian dekat dan terus bertemu. Seringnya pria itu datang ke studio, sekedar menyambanginya di selipan waktu senggang tanpa jadwal operasi untuk sekedar berbincang sambil menikmati teh atau kopi. "Dia tak pernah setuju untuk berpisah."

Hands of YoursTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang