20

1.6K 272 22
                                    

Naruto tak bisa memalingkan wajahnya sedetik saja dari wanita itu,  kesenduan di matanya tak nampak seperti dulu. Ada setitik cahaya yang dia lihat hari ini di mata amethystnya. "Aku tak lagi percaya takdir, Hinata."

Hinata menoleh ke arah pria itu dan menunggu apa yang pria itu akan katakan selanjutnya. "Kenapa?"

Mereka akhirnya duduk bersisian di kursi kayu yang mengarah pada kaca depan studio tepat ke arah jalan sepi yang perlahan beranjak larut.

"Pilihan bodohku di masa lalu, membuatku kehilanganmu." Naruto mengatakan yang sejujurnya. Mereka tak pernah punya kesempatan untuk mengatakan ini.

"Kehilangan hal yang tak pernah kau miliki terdengar seperti kebohongan." Hinata ingat bagaimana pria itu memintanya pergi begitu saja.

"Kau masih membenciku, aku tahu." Naruto yakin hal itu. "Aku banyak berbohong demi pekerjaan, tapi satu hal yang kau harus tahu adalah perasaanku di sepanjang musim dingin itu tidak pernah bohong untukmu."

Hinata menggenggam gelas keramik berisi kopi hangat miliknya. Menatap lurus ke arah rintikan hujan yang belum berhenti. "Aku tak pernah membencimu, hanya merasa bodoh pernah terhanyut."

"Semua yang pernah aku katakan dan apa yang kita lakukan di sana bukanlah bagian dari pekerjaanku, aku bersungguh-sungguh saat itu." Naruto mencoba memberi penjelasan atas perasaannya tiga tahun lalu.

"Lalu kenapa memintaku pergi?" Tanya Hinata seraya menatap pria itu.  Mungkin di pertemuan terakhir mereka di Beijing saat itu, dirinya terlalu kalut selepas menemani Toneri di hari terakhirnya.

Naruto tak bisa menjawab yang satu itu sebab jawaban dari pertanyaan itu hanya akan memperkeruh suasana saja.

Hinata diam-diam menghela napas berat. "Tak apa, aku mengerti." Toneri selalu datang ke Tokyo untuk menemuinys, akan mudah melacak keberadaan Toneri andai dirinya ada bersama Toneri sebab dirinya selalu memberitahumu kepada Naruto ke mana dirinya akan pergi.

Naruto tidak bisa terus mengelak atau Hinata akan semakin tidak percaya kepadanya. "Aku bukan ingin mengorbakanmu, aku hanya tidak berdaya melawan perintah dan waktunya sangat sempit."

Hinata sudah berjanji pada dirinya sendiri, ingin melupakan segalanya. "Anggap aku sudah melupakan segalanya mulai malam ini." Dirinya tak lagi kesakitan, meski rasa kecewa itu sulit dienyahkan, mengakibatkan rasanya sulit untuk bisa percaya kembali.

"Lalu kita bagaimana?" Naruto tahu ini terlalu terburu-buru untuk ditanyakan di kali pertama mereka bertemu setelah tiga tahun berpisah. Namun jika wanita itu sudah sembuh dari lukanya, bagaimana dengan mereka berdua?

Hinata hanya menatap mata pria itu dan menggeleng. Dirinya tak ingin memulai kekecewaan lainnya meski selama ini hatinya masih dikuasai pria itu.

"Bolehkah aku mendapat satu kesempatan lagi. Untuk bisa memberitahumu aku yang sesungguhnya." Pinta Naruto seraya menatapnya dengan sungguh-sungguh.

"Aku takut, Naruto." Hinata tak ingin memulai kembali, mengingatkannya pada rasa sakit yang sama.

"Aku tak akan pernah menyakitimu atau membuatmu kecewa seperti dulu." Naruto tidak mengatakan omong kosong.

Melihat Hinata yang seolah memberi dirinya celah untuk kembali masuk ke hidup wanita itu, membuat Naruto tergelitik untuk melangkah maju. Meskipun sudah tiga tahun berlalu tanpa bertemu, rasanya masih tetap sama, ia masih jatuh cinta saat menatap amethystnya.

...

"Aku bertemu Hinata." Naruto melangkah masuk ke markas agen intelegensi.

Hands of YoursTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang