24. PENGAKUAN 🦖

956 121 48
                                    

________________________________________________________________________________

[PART XXIV]

Perlahan sinar bulan tergantikan oleh cahaya lembut matahari yang masih malu-malu menunjukkan sinarnya. Pagi hari adalah waktu yang tepat untuk menikmati udara sejuk yang masih belum terkontaminasi polusi, suasananya juga masih sangat tenang. Namun nyatanya ketenangan itu tidak dapat menembus ketegangan antara ayah dan anak yang saling melemparkan argumen.

"Apa selama ini kamu anggap ayah ini patung, ha? Apa kamu masih marah sama ayah karena ayah pernah ninggalin kamu dan Senja, hm?" suara Vihaan yang biasanya lembut kali ini terdengar cukup keras dan sedikit bergetar.

"Bukan begitu ayah.." lirih Langit yang menatap sang ayah dengan tatapan sendu.

"Lalu apa Langit? Kenapa seakan-akan kamu gak ada anggap ayah sebagai ayah kamu? Ini bukan perihal kecil, nak. Satu tahun, satu tahun kamu sembunyiin dari ayah. Ayah kayak orang tua gagal yang gak bisa jaga anak ayah sendiri"

"Ayah, kenapa ngomong kayak gitu? Nggak ayah, ayah bukan orang tua yang gagal, tapi di sini Langit yang salah, ayah gak salah apapun. Maafin Langit ayah, maafin Langit" Langit secepat mungkin meraih tangan sang ayah lalu ia genggam erat.

"Langit cuma gak mau ayah khawatir, terlebih saat itu kita belum lama kehilangan Senja, Langit cuma gak mau ayah ngerasa tambah sedih nantinya" sambung Langit yang tak sanggup melihat ayahnya menyalahkan dirinya sendiri.

"Tapi gak selama ini juga kamu sembunyiin dari ayah, nak" ucap Vihaan dengan nada yang sudah lebih lembut.

"Iya ayah, Langit salah Langit minta maaf ya, ayah" mohon Langit dengan nada yang hampir putus asa.

Melihat hal itu, Vihaan langsung meraih tubuh sang putra sulungnya ini lalu ia dekap erat.

"Jangan tinggalin ayah, nak. Rellza juga baru ngerasain kasih sayang dari kamu" ucap pelan Vihaan kepada anaknya.

Langit hanya bisa mengangguk, ia juga tidak ingin meninggalkan ayah dan adiknya. Ia masih ingin menemani keduanya lebih lama lagi.

Tanpa mereka sadari Rellza sedari tadi berada di luar kamar mendengar setiap ucapan dari ayah dan abangnya.

"Abang kenapa..??" Gumamnya pelan seraya kembali ke kamarnya.

Awalnya ia ingin berkunjung ke kamar sang kakak, ini sudah menjadi rutinitasnya beberapa waktu ini. Setiap terbangun dari tidurnya ia akan ke kamar kakaknya memastikan jika kakaknya itu masih ada di dekatnya. Entah kenapa ucapan dari Langit tempo lalu sangat mengganggu pikirannya. Ia menjadi sangat takut jika Langit tiba-tiba pergi meninggalkannya seperti ayah Archenya.

Namun, saat akan membuka pintu kamar Langit, ia mendengar suara sang ayah di dalam. Dan Rellza yakin ini bukan hal kecil karena suara ayahnya terdengar cukup keras dan parau. Rellza hanya diam terpaku di depan kamar Langit mendengarkan kata demi kata yang ia juga tidak mengerti, yang ia tangkap adalah sang kakak yang sewaktu-waktu bisa saja meninggalkannya.

"Gak mau abang pergi.." lirih Rellza yang sudah terduduk di pinggiran kasurnya.

"Adek, udah bangun, nak?" Lamunan Rellza terhenti saat mendengar suara ayahnya dari luar kamar.

"Iya udah ayah, ini Rellza mau mandi" jawab Rellza setengah berteriak.

"Ya udah, nanti langsung turun sarapan ya"

"Iya ayah" setelahnya terdengar langkah kaki sang ayah menuruni tangga.

Tak ingin berlama berkutat dalam pikiran dan ketakutannya, Rellza pun beranjak untuk segera membersihkan dirinya. Rencananya ini adalah hari pertama ia sekolah, namun sepertinya ada rencana lain yang ingin ia lakukan.

Sandhyā Kelam ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang