Aurora menghela nafas panjang, mengerang lirih, menahan rasa nyeri di area pahanya. Matanya terbuka pelan dan menemukan pemandangan langit langit kayu coklat di atasnya dengan lampu gantung rotan bergelombang yang tampak unik dan memberikan aura hangat di ruangan tempat ia berbaring.
Tunggu, lampu gantung?
Aku di mana?Aurora mencoba bangkit berdiri, namun rasa nyeri di pahanya menghentikan gerakannya. Ia hanya mampu duduk di atas ranjang kayu bermodel klasik.
Aurora berdesis, menahan nyeri. Matanya berputar liar, menilai ruangan yang saat ini sedang ditempatinya. Jendela kaca dengan bingkai kayu besar yang sedang terbuka lebar, membawa aroma khas kayu dan dedaunan yang terasa menenangkan. Udara sejuk lembut yang berhembus masuk dari jendela juga terasa sangat segar, nyaris tidak ada polusi.
Shhhh
Aurora mengenyitkan keningnya, saat menyadari pakaian yang melekat di tubuhnya sudah berganti dengan kemeja putih oversize yang tampak kedodoran di tubuh mungilnya.
"Kau sudah bangun? Sebaiknya kau tidak terlalu banyak bergerak." Derit pintu dan suara bariton menyapa telinga Aurora.
"D?" Aurora tertegun menatap Dominic yang berdiri di ambang pintu, memegang baki berisi mangkok bubur dan gelas, serta beberapa strip obat.
"Pahamu mendapat sebelas jahitan." Dominic menjawab datar, meletakkan baki di atas nakas.
Jahitan?
Wait...Aurora menyibak selimut yang menutupi area perut hingga kakinya. Matanya membelalak saat melihat pahanya telah dibalut perban putih.
Perban?
Artinya...Mata Aurora kembali membelalak kaget saat menyadari dirinya tidak memakai apapun di bawah kemeja putih oversize selain underwear dan baju dalam singlet putih pria.
Singlet pria? Milik D?
"Tunggu...." Aurora menatap Dominic, menelan salivanya, "Siapa yang menggantikan pakaianku dan siapa yang menjahit lukaku?" Aurora mengerang, menahan nyeri.
"Makanlah lalu minum obatmu." Dominic menjawab datar.
"Kenapa aku berada di sini? Kenapa bukan di rumah sakit? Siapa yang menjahit lukaku? Jangan bilang kau yang menjahitnya, D." Aurora menatap tajam Dominic. "Kau akan kutuntut karena melakukan tindakan medis ilegal."
"Bukankah kau baik baik saja?"
"Bagaimana kalau aku mengalami infeksi karena proses medis yang salah? Bagaimana kalau bekas jahitannya meninggalkan jejak permanen di kulitku?"
"Saat kau naik bukit apakah kau memikirkan resiko tersebut?"
Aurora terdiam, menatap manik mata Dominic yang gelap dan terasa menyesatkan seperti berada di dalam samudra tanpa dasar.
"Seharusnya kau bersyukur, saat ini kau masih bisa bernafas. Jadi makan dan minum obatmu. Kau cukup merepotkan." Dominic berdecak, menunjuk ke arah baki di atas nakas, "Kau bisa makan sendiri kan? Seharusnya bisa, tanganmu baik baik saja."
"A-apa?" Aurora tampak terperangah, nyaris menjerit karena kesal, namun suaranya tertelan kembali saat melihat Sheeva masuk ke dalam kamar.
"Kau sudah sadar? Bagaimana kondisimu?" Suara Sheeva menghentikan kalimat Aurora.
"Bibi, bagaimana aku bisa berada di sini? Apakah ini di rumah bibi?" Aurora menatap Sheeva, meminta jawaban.
"Benar, saat ini kau berada di rumah bibi, pondok kami. D yang membawamu kemari." Sheeva tersenyum lembut, berjalan ke arah ranjang di mana Aurora berbaring, menarik kursi dan duduk di sana, "Apakah D belum menceritakan apa yang terjadi?" Sheeva mengalihkan pandangan matanya, menatap Dominic.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Secret Behind You
RomanceMenjadi putri satu satunya dalam keluarga besar Ramiro tidak membuat Aurora tumbuh menjadi gadis manja. Aurora justru tumbuh menjadi gadis yang berjiwa bebas dan menyukai petualangan. Ia gemar mengunjungi berbagai kota dan daerah baru, sekedar menca...