3. Let's Play

563 51 2
                                    

Pagi ini matahari muncul dari ufuk timur membuat ayam berkokok nyaring bunyinya. Suara itu menandai awal perjalanan mereka untuk KKN di sebuah desa di Surabaya yang terkenal akan aura mistisnya.

Rumah Rahman kini dipenuhi mereka-mereka yang telah siap melakukan tugasnya. Sebelum ini, memang titik awal berangkat adalah Rumah Rahman.

Rahman adalah salah satu anak crazy rich di Indonesia. Bapaknya yang sudah melanglang buana, memiliki aset hingga triliunan rupiah. Tak heran, Rahman menempati rumah besar tingkat tiga sehingga dari luar tampak seperti istana. Rumah mewah ini menempati salah satu jajaran rumah terbaik di seluruh kota.

Rahman adalah mahasiswa pindahan dari Jakarta, sekarang ia menetap di Surabaya karena pekerjaan ayahnya yang mengharuskannya pindah. Sejatinya, ia masih memiliki rumah di Jakarta.

Rahman duduk sambil mengangkat satu kakinya. Tangannya yang satu mengambil camilan di mejanya. Mereka kini duduk di sofa ruang tamu miliknya.

"Lo semua pengen pakai mobil gue kan?" tanya Rahman ketus. Matanya yang berbentuk almond menatap tajam Dusyan yang hanya diam sedari tadi.

"Hanya kamu yang punya mobil, Rahman!" jawab Dusyan, merasa tak enak.

Rahman membalas dengan nada ketus.  "Haha iya karena lo semua misquueen!" 

Dusyan menatap mata Rahman, sejujurnya dalam hatinya sudah bergejolak api. Apalagi Rahman jelas-jelas menatapnya tak enak begitu. Dari dulu Rahman ini memang agak kurang suka dengan Dusyan. Ini karena Dusyan selalu mendapat perhatian dari teman-temannya, bukannya dia.

Dusyan mengangguk dengan senyum tipis yang tak enak. "Haha iya, kita emang miskin kok."

Mata Nina berapi-api, hidungnya langsung panas, ia merasa Rahman ini sudah kelewatan. Namun jika pertengkaran ini berlanjut, mereka tidak akan selesai dalam misi KKN-nya.

"Kayaknya aku kena hilang ingatan jangka pendek deh, emangnya aku misqueen ya?" goda Arif.

Rahman hanya melirik mata Arif. Sedangkan Arif tersenyum seakan tak ada masalah.

"Hei-hei, ayolah, Sob. Enggak baik marah-marah, ayo kita main sama hantu-hantu ituuuu!" tambah Arif.

Seluruh yang di ruangan hanya menatap Arif kikuk, sebenarnya bercandanya enggak lucu apalagi setelah Rahman begitu congkaknya merendahkan harga diri mereka.

"Lo yang miskin mending jangan banyak omong deh! Haha mana ada hantu, gue enggak percaya hantu. Lo aja sana, semoga lo semua mati dicekik hantu khayalan lo sendiri!" sahut Rahman.

"Kau harus percaya, Rahman! Misi kita enggak mudah kali ini. Tantangan kita bukan hanya untuk menyadarkan warga tentang pentingnya agama, tapi kita juga akan menghadapi hantu itu," debat Nina.

Rahman terkekeh, "Nina, lo dah kebanyakan baca majalah itu, deh! Lo harusnya sadar setan itu enggak ada. Realistis aja, lo pernah enggak ketemu setan??"

Nina menggaruk kepalanya yang tak gatal, "E-enggak sih, ta-tapi —"

Dusyan menyela, "Jika kalian terus berdebat seperti ini, kalian tidak akan segera berangkat. Sedangkan pukul 09.00 kita harus sudah ada di sana!"

"Hanya butuh waktu setengah jam untuk sampai ke sana, lo itu terlalu rajin, banyak bacot! Sekarang masih jam 08.00 dan lo seakan-akan meminta kami cepat. Lo caper ya, Syan!" Rahman masih menatap wajah pria itu tak enak.

"Baiklah, hentikan semua obrolan omong kosong ini. Kita harus berangkat sekarang teman-teman!" seru Aisyah.

Rahman menatap Aisyah, kemudian tersenyum tipis. "Jika Aisyah yang meminta, kita harus cepat pergi!"

Hantu Musala: Imam (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang