12. Diskusi Pagi

324 31 2
                                    

Vote sebelum baca!

~*~

Matahari belum juga muncul, terpantau warga mulai menjalankan aktivitas. Sudah hampir pagi. Mereka semua sudah siap bekerja.

Nina dan Aisyah datang, membuka pintu dengan keras dan berlari menuju kamar. Mereka merasa terengah-engah. Napasnya memanas akibat kemunculan hantu tadi.

Penyamaran yang luar biasa. Hantu itu ikut berwudu dengan mereka. Bahkan mereka bisa saja wudu di tempat wudu wanita. Sungguh tak terbayangkan sebelumnya.

"TOLONG!" Nina memekik sembari mengucurkan banyak keringat.

Permintaan tolong itu membuat seluruh rumah terbangun. Mereka hanya khawatir tentang kondisi Nina.

Dusyan, Arif, dan Rahman mendatangi mereka. Dusyan melihat mereka kikuk. Wajah Nina sudah tak rupa, Dusyan merasa pangling. Benar-benar pucat seperti kertas. Bajunya dipenuhi bercak lumpur karena Nina sempat jatuh terpeleset tadi.

Sementara Aisyah bengong. Matanya kosong. Ia hanya memikirkan kejadian tadi. Ia sebenarnya tidak seberapa takut saat ini karena sekarang mereka sudah aman di rumah. Namun Aisyah rasanya akan enggan balik ke sana lagi. Ini kali pertama Aisyah melihat hantu jenis itu.

"Nin, wajahmu kok kayak peyek gitu? Pucet banget!" ungkap Arif.

Rahman melirik ke arah Aisyah. "Benar Aisyah. Coba lo ceritain ada apa!"

Nina tak kuat berdiri, ia langsung terjatuh. Ia duduk seperti duduk tahiyat akhir. Wanita ini sudah mengalami hari-hari yang buruk. Bahkan kecurigaannya itu terbukti benar dan ada.

Aisyah ikut memegangi Nina. Ia ikut duduk, mendekap Nina untuk menjaga kehangatannya. Aisyah tahu, sahabatnya itu memang penakut dari dulu. Aisyah juga tahu, Nina tidak ingin pergi ke desa ini.

Nina berbisik ke arah Aisyah. "A-aku takut!"

"Te-tenang, Nina! Saya ada di sini!" balas Aisyah semakin erat mendekap tubuh Nina.

Nina menarik napas panjang. "Aku tahu, aku tak menginginkan ini sedari awal. Namun kalian memaksa!"

Aisyah terdiam, pelan-pelan melepaskan dekapannya.

"Dan semua itu terjadi karena kau Aisyah!" seru Nina.

"Eh Nin, lo jangan nuduh Aisyah gitu, dong! Dasar goblok, penakut!" sahut Rahman.

"Kamu boleh goblok-goblokin aku, tapi satu hal yang kamu harus tahu. DESA INI PENUH TEROR!" seru Nina.

Rahman menggaruk kepalanya yang nanar. "Lo ceritain dong, jangan asal nge-judge kayak gini bego!"

"Aku ketemu setan itu! Setan yang ingin ikut salat bareng kita!" seru Nina.

Rahman mendelik. Ia tahu, ia juga pernah mengalami bisikan aneh saat salat di masjid itu. "Eh ngomong-ngomong gue juga pernah dapat bisikan hantu itu. Dia ngucapin terima kasih karena gue enggak khusyuk salatnya."

Nina perlahan meneteskan air mata, kemudian jatuh di ubin warna putih. "Tuh, kan benar apa kataku? Rahman yang tidak percaya hantu, sekarang apakah percaya?"

Rahman menggelengkan kepalanya. "Gue tetep enggak percaya sebelum gue lihat setan itu. Gue harap kemarin itu cuma halusinasi!"

Nina menghela, "KAMU HARUS PERCAYA!"

"Pokoknya gue baru percaya, kalau gue lihat tuh hantu. Titik!" tegas Rahman.

Nina mendesis perlahan, kemudian menangis sejadi-jadinya. "Aku bersama Aisyah hendak salat tahajud semalam. Dan itu gara-gara Aisyah memintaku ikut salat! Memang tahajud pahalanya banyak, tapi kenapa harus di sini? Bahkan kita enggak sempat salat waktu itu. Kita lihat hantu ikut wudu bareng. Ketika dia menatap kita, wajahnya datar berdarah, kulitnya itu putih melepuh. Seakan … habis direbus."

Nina memeluk lututnya, kemudian memendam wajahnya. Ia menangis sesenggukan.

"Nina, apapun kejadiannya, jangan salahkan Aisyah atau musibah itu. Haram hukumnya. Larangan itu dalam Al Quran di ayat ke-12 surah Al-Hujurat, yang artinya, “Janganlah kamu mencari-cari keburukan orang lain.” Sedangkan dalam hadis, diantaranya diriwayatkan Bukhari dan Muslim, yang artinya, “Janganlah kalian saling mencari berita kejelekan orang lain.” Itu bukan kesalahan Aisyah. Aisyah hanya ingin salat sunah. Apa salahnya?"

"YA, AISYAH ENGGAK SALAH! BELA TERUS DIA! AKU YANG SALAH!" sahut Nina dengan nada tinggi.

"Kamu enggak salah Nina, kamu juga ada niatan salat itu sudah bagus!" Dusyan mengapresiasi Nina, kemudian tersenyum kecil.

Nina menarik napas panas. "TERUS SIAPA YANG SALAH?!"

"Yang salah itu si monyet Dusyan tuh, yang enggak ikut salat," julid Arif.

"Lo itu apaan sih, Arif! Jangan bercanda gitu, deh. Gue beneran serius ini. Kasihan, Nina," ungkap Rahman.

Dusyan menggelengkan kepalanya. "Aku emang enggak ikut salat, tapi di sini enggak ada yang benar maupun enggak ada yang salah. Kita semua hanya beruntung bisa melihat hantu itu."

"Beruntung, Nyet?" Arif mengernyit heran.

Dusyan mengangguk. "Iya beruntung karena enggak semua orang bisa ketemu hantu, loh!"

"Pasti Nina ngarang, nih. Kalian semua pada percaya hantu? Lebih baik gue cari hantu itu sendiri!" seru Rahman.

"Hantu musala atau hantu masjid, itu memang ada di dunia nyata. Yang waktu itu pindahin aku ke atas musala siapa dong kalau bukan jin masjid? Mereka memang tugasnya menjaga masjid atau musala. Enggak perlu heran, ini hanya soal waktu. Kita bisa mengubah ini semua. Mungkin hantu itu marah karena tidak ada warga desa yang mau salat di musala. Jin musala jin baik kok. Enggak mungkin ada kesurupan apalagi kalau sampai mati. Ini bukan legenda andong pocong dari Sidoarjo itu yang kalau ketemu bakal langsung mati hahaha. Ini jin baik," jelas panjang lebar Dusyan.

"Sok lembut ya lo! Sok paling tahu di dunia. Lo mau dilihat Aisyah bagus gitu?? Laki kok centil!" julid Rahman.

Dusyan hanya menggeleng. Rahman tiba-tiba sensitif ketika ia banyak bercerita. Memang sedari dulu Rahman tak ingin ada orang yang mendominasi di antara kelompoknya, termasuk Dusyan. Rahman ingin ia yang menjadi pemimpin di kelompok itu, bukan Dusyan.

"Rahman, saya tidak menyalahkan siapapun, termasuk Dusyan untuk masalah ini. Apa yang dikatakan Dusyan memang benar. Jadi, kita tidak perlu takut dengan Hantu Musala. Yang kita takutkan hanyalah ketika kita meninggalkan kewajiban salat. Sudah, itu saja!" seru Aisyah, kemudian melirik Rahman dengan tatapan tajam.

"Setidaknya judesmu itu dikurangi dikit biar enggak songong kayak wajah dugong!" sahut Arif.

Rahman naik darah, kemudian   menarik kera milik Arif. "Ehh, lo bilang gue kayak dugong? Gue hajar lo!"

Dusyan berusaha menarik lengan Rahman. Ia hanya ingin kedua sahabat ini berhenti bertengkar.

"Sudah, jangan bertengkar!" seru Dusyan.

Nina berusaha mengusap sisa-sisa air matanya, kemudian melirik wajah Aisyah. Seketika tangannya memeluk wanita alim itu.

"Maafkan aku, Aisyah. Aku sudah menuduhmu macam-macam."  Nina memeluk Aisyah erat, disusul Aisyah yang juga mengeratkan pelukannya.

Aisyah tersenyum tipis. "Ini bukan salahmu!"

~*~

B

agaimana ges?
Kali ini mereka diskusi lagi, masih bingung, nih!
Tetap vote, komen, dan share ya!
Sidoarjo, 17 Juni 2023
Authormu 💛

Hantu Musala: Imam (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang