25. Kilas Balik 3

276 31 0
                                    

Vote sebelum baca!

~•~

"Hari itu, setelah kejadian yang mencekam. Warga tak ada yang berani salat apalagi mendatangi musala lagi. Jin-jin itu sudah bersemayam di sana. Apalagi setelah kemunculan jin itu, desa menjadi lumbung bencana. Desa kami, desa yang biasanya aman dan tidak berbahaya, kini menjadi desa yang ditenggelamkan oleh banjir rob. Iblis itu menawarkan sesuatu yang menarik kepada desa kami. Mereka ingin sebuah perjanjian damai. Warga sepakat untuk menukarkan daging imam yang taat dengan imbalan dihilangkannya bencana dari desa ini. Untuk itu, setiap tahun kami harus mengangkat satu imam yang taat untuk dijadikan tumbal iblis agar desa kami terhindar dari bencana," lanjut Pak Joko.

Nina menggelengkan kepalanya. "Sungguh tak masuk akal. Kejam sekali mereka!"

~*~

Perlahan, air itu mulai masuk menembus dinding mangrove yang biasanya kuat. Tidak terbayangkan bencana akan secepat ini terjadi.

"BANJIR! BANJIR!" seru salah seorang warga memperingatkan.

Pak Joko dan Pak Naryo saat ini duduk di pos bersama warga yang lainnya. Banjir hampir menenggelamkan desa itu. Kini tinggi air sudah mencapai satu meter.

"Naryo, ketinggian air sudah mulai bertambah. Apa yang harus kita lakukan? Ini sebab kita membangun musala kemarin. Aku yakin, dampaknya kini adalah yang kita rasakan saat ini!" seru Pak Joko.

Pak Naryo mengangguk setuju. "Kau benar, Sahabatku. Kita perlu melakukan sesuatu!"

Pak Naryo menggaruk dagunya, kemudian muncul satu ide di kepalanya. "Persekutuan dengan jin! Ya, hanya itu yang bisa menyelamatkan kita dari banjir yang akan menenggelamkan desa ini!"

Pak Joko mendelik heran. "BERSEKUTU DENGAN JIN?! KAU GILA, NARYO! Itu perbuatan yang dilarang Allah dalam agama kita."

Pak Naryo berdecak. "Siapa Allah? Saat desa kita kesusahan tidak ada sedikit pun bantuan dari-Nya. Kini hanyalah aku, kau, dan seluruh warga desa yang bisa menyelamatkan desa ini!"

Pak Joko mengusap dadanya, mengontrol dirinya untuk lebih sabar. "Apa kau tak yakin akan ada pertolongan dari-Nya? Kau harus yakin, Naryo. Sabar dulu. Jangan membuat malapetaka baru dengan bersekutu dengan setan!"

Pak Suryo menyahut. "Pak Naryo benar, Pak Joko. Kita harus secepatnya melakukan tindakan. Kalau tidak, desa kita akan tenggelam. Apa kau mau desa ini tenggelam? Satu-satunya jalan adalah bersekutu dengan setan itu. Tak peduli apapun ke depan, yang penting kita menyelamatkan banyak orang!"

"Ta-tapi …." Pak Joko mencoba menjelaskan, tapi diputus Pak Naryo.

"Ah, sudahlah! Pak Suryo, ayo ikut saya ke tempat Mbah Wisesa. Orang itu pasti tahu apa yang kita minta!" ajak Pak Naryo.

Segera setelahnya Pak Naryo dan Pak Suryo meninggalkan Pak Joko sendirian di sana.

Pak Naryo dan Pak Suryo datang ke desa sebelah mencari sosok manusia yang katanya dukun tersakti di daerah situ. Mbah Wisesa, ketenarannya mulai mencuat semenjak dia berhasil mengusir wabah demam berdarah di desa seberang.

Kini Pak Naryo dan Pak Suryo berdiri di depan rumahnya. Rumah yang hanya terbuat dari kayu rakitan warna coklat keemasan. Atap-atapnya yang dirangkai dari dedaunan kering membuat kesan rumah ini benar-benar tradisional.

Pak Suryo mengetuk pintu rumah Mbah Wisesa. Ketukan satu kali belum terdengar dari dalam, ketukan kedua juga masih belum ada respons, ketukan ketiga juga belum ada tanda-tanda Mbah Wisesa akan keluar.

"Pak, Mbah Wisesa sepertinya tidak ada di rumah!" seru Pak Suryo.

Hening. Pak Naryo belum menjawab pernyataan Pak Suryo. Pria itu tampak berpikir keras.

Hantu Musala: Imam (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang