20. Waktu Isya

272 30 0
                                    

VOTE SEBELUM BACA!

~•~

Langit temaram, menggulingkan matahari dan menggantikannya dengan bintang-bintang. Rahman masih termenung dengan kejadian tadi pagi. Aisyah mengatakan sesuatu yang menyakiti hatinya. 

Aisyah masih di depan bersama Nina. Keduanya masih melek. Memikirkan betapa menyeramkannya Dusyan waktu itu. Membayangkan betapa tragisnya tragedi itu. 

Arif pun tidak bisa apa-apa. Menenangkan sama dengan membuat emosi. Bahkan setelah Arif mencoba menghibur, tapi mereka tak sama sekali merespons. 

Arif juga sudah membujuk Rahman untuk keluar kamar, tapi mungkin Rahman butuh waktu untuk sendiri. Arif hanya takut Rahman menyalahkan diri sendiri. 

Terdengar sosok yang mengetuk pintu dari kamar bagian luar. Ketukan ini hanya didengar oleh Rahman saja. Pria itu mengernyit heran. Siapa lagi yang akan ganggu gue? Gue udah capek kayak gini.

"Rahman …"

Ada suara yang memanggil Rahman dari luar. Rahman menopang kepalanya yang nanar, kemudian tersenyum sumringah. Rahman mengenali suara itu. 

Tubuh Rahman langsung gemetaran. Jantungnya berdetak dua kali lipat. Berharap suara yang didengarnya ini benar. 

Rahman berdiri, sikapnya tegak. Jari-jarinya mengepal kuat. Pria itu fokus melangkah maju. Segera setelahnya Rahman sampai di depan pintu kamar. Rahman menyentuh gagang pintu itu, mendengar suara decit pintu yang menggelikan. 

"DU-DUSYAN!" 

Rahman ternganga. Ia tak percaya dengan apa yang dilihatnya itu. Wajah yang putih bersinar, pipi tirusnya, mata sipitnya, hidung mancung kearab-arabannya. Itu membuat percaya bahwa yang dilihatnya ini Dusyan. 

Rahman segera memeluk Dusyan. Saking kangennya, pria itu menggenggam kuat tubuh Dusyan agar ia tak pergi lagi. Tak terasa tetes air mata Rahman turun membasahi pundak Dusyan yang dari tadi diam saja. 

Rahman melepas pelukannya, kemudian mengusap air mata yang ada di pipinya. Ia tersenyum kecil melihat Dusyan ada di depannya. "Lo tau, Syan? Gue merasa bersalah banget sama lo. Lo percaya gue yang bunuh lo?" 

Dusyan tersenyum. Ia menggelengkan kepalanya tanpa sepatah katapun. 

"Lo enggak percaya kan gue bunuh lo? Aisyah nuduh gue bunuh lo, Syan. Hari ini gue mau tunjukin kalau lo masih hidup! Lo belum mati, kan? Semenjak kepergian lo, gue jadi sosok yang lemah. Lo enggak pernah liat gue nangis gini, kan? Sekarang lo bisa liat gue nangis, liat penyesalan gue sama lo. Selama ini gue jahat sama lo, padahal lo baik banget sama gue," jelas panjang lebar Rahman. 

Dusyan masih tak menjawab perkataan Rahman dari tadi.

"Syan, lo enggak apa, kan? Lo enggak marah, kan sama gue?" tanya Rahman khawatir.

Rahman melihat tatapan mata Dusyan yang kosong. Wajahnya memutih pucat seperti mayat. Beberapa tubuh pria itu terlihat kebiruan lebam. "Lo kok pucat banget?" 

Rahman mencoba memegang telapak tangan pria itu. "Tangan lo juga dingin banget. Lo sakit, ya?"

Rahman langsung meraih tangan Dusyan. Pria itu menarik Dusyan dengan kuat sampai keluar. 

"DUSYAN KEMBALI!! TEMAN-TEMAN, DUSYAN KEMBALI!" 

Teriakan Rahman memecah keheningan di ruang tamu. Aisyah yang mendengarnya sontak berdiri. Hah? Dusyan kembali?

Begitu juga dengan Nina dan Arif. Mereka tak percaya sampai Rahman membawa pria itu ke hadapan teman-temannya yang lain. 

Nina dan Arif menatap wajah Dusyan kikuk. Sementara Aisyah bengong beberapa detik, sebelum ia menyadari bahwa Dusyan benar-benar ada di hadapannya. 

Hantu Musala: Imam (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang