Vote sebelum baca!
~•~Perjalanan di desa itu terasa panjang dan melelahkan. Sepanjang perjalanan mereka banyak melewati hutan-hutan bakau, pinus, dan hutan bambu. Jika mereka memutuskan akan pergi meninggalkan desa, mungkin mereka tak akan cukup waktu setengah jam hanya dengan berjalan kaki. Apalagi tempat ini tak padat penduduk, beberapa desa masih banyak sawah dan tambak. Warga memang suka budidaya bandeng sebagai komoditas utamanya.
Nina menghela kemudian menarik napas panjang. "Masih jauh, ya?"
"Udah ah jangan banyak bacot! Lo itu gak usah kebanyakan ngeluh, jalan aja, udah tau desa terpencil masih tanya aja!" sambar Rahman.
"Eh, jaga mulut kamu, ya! Kau yang bawa alamatnya, kan? Sini, aku mau liat berapa rumah lagi yang bakal kita lewati!" balas Nina balik ketus.
Rahman mengeluarkan selembar kertas bertuliskan alamat, kemudian memberikannya kepada Nina tanpa menatap gadis itu. "Nih, makan tuh kertas!"
Nina dengan cepat menyambarnya kasar. Matanya yang besar mendelik melihat kertas itu. Ia ternganga, betapa terkejutnya Nina saat mengetahui mereka harus jalan lewat tujuh rumah lagi, sungguh desa ini enggak karu-karuan jauhnya.
"Ini bener alamatnya? Jangan-jangan kamu ganti?!" tuduh Nina.
Rahman melotot melihat wajah gadis itu. "Enak aja lo asal tuduh!"
Aisyah menghela berat, ia berniat menegur mereka dengan nada agak tinggi. "Sudah! Sudah! Kalian ini seperti anak kecil saja!"
Rahman terdiam, sedangkan Nina masih mengece Rahman dengan menjelek-jelekkan wajahnya.
"Kasian deh loo, dimarahin Aisyah tuh!" julid si Arif.
Rahman mendesis tajam ke arah Arif, matanya itu langsung berapi-api, menjadi panah, dan menghunus wajah itu.
Hanya berselang beberapa menit setelah perdebatan berlangsung, kini mereka tiba di tempat yang mereka cari selama ini.
Nina mencoba membuka lebar kertas itu, kemudian membacanya lagi. "Jalan Urban V No. 10. Ini benar rumahnya, kan?"
"Lo punya mata enggak, sih? Udah dikasih kertas masih tanya. Jelas-jelas ini rumahnya?!" sambar Rahman.
Mereka kini berdiri tegak, berjajar di depan rumah itu. Rumah tua dengan bata merah yang tidak disemen maupun dicat. Rumah yang berlumut dengan atap seng yang bolong-bolong. Dusyan, Arif, Nina, dan Aisyah melongo melihat rumah itu, sedangkan Rahman bersikap biasa saja. Namun dalam hati Rahman sebenarnya gelisah, ia tak biasa tinggal di rumah kumuh seperti itu. Ia bersikap biasa karena mau apa dikata tetap saja KKN akan berlangsung di sini dan ia ingin mendapat nilai memuaskan.
"Ini beneran rumahnya? Kok lumutan banget, enggak dicat, jelek, enggak ada pagarnya lagi! Hallo??? Jadi aku harus tinggal di sana, nih? Kalau ada maling gimana? Kalau ada kelabang gimana? Kalau banyak kecoa gimana? ASTAGHFIRULLAH my body sweety bakal gatal-gatal enggak sampai sehari! Pasti banyak nyamuk juga, aku nyesel kenapa enggak bawa autan. Aku kira tempat yang akan kita tinggali ini bakal fresh, bagus, cantik, berseri, ada kolam renangnya, kayak hotel lah. Ini mah buluk banget!" Nina mengibaskan bajunya, takut debu menempel setelah dekat-dekat dengan rumah itu.
"Alay banget sih lo!" ketus Rahman.
"Kau kurang bersyukur Nina. Seperti Surat Ibrahim Ayat 7 yang artinya: "(Ingatlah) ketika Tuhanmu memaklumkan, "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), sesungguhnya azab-Ku benar-benar sangat keras." Harusnya kau bersyukur ada yang mau menawarkan tempat, bukannya malah jadi gelandangan!" seru Dusyan mencoba mengingatkan wanita itu.
Pintu dari daun jati itu berdecit. Decitannya menggelikan siapapun yang mendengar. Seorang pria keluar dari tempat itu. Jika dilihat dari keriput yang menggores wajahnya, umurnya sekitar 40 tahunan lebih.
Pria berkumis tipis tersebut melihat beberapa anak KKN yang menunggu di depan rumahnya. Beberapa kali ia menggaruk kepalanya yang tak gatal karena ia tak mengenal mereka.
Ya, mungkin jika dosen yang bertemu, pasti ia akan langsung kenal. Beberapa hari yang lalu memang Pak Awwalim menghubunginya, tapi Pak Awwalim tidak bilang bahwa anak didiknya akan KKN hari ini.
Dusyan tersenyum, matanya membesar melihat pria itu datang ke arahnya. Beberapa teman yang lainnya juga bereaksi sama.
Nina menjawil tangan Dusyan. "Eh, eh orang itu datang ke arah kita!"
Hanya beberapa detik sejak keluar rumah, pria itu kini berdiri di hadapan mereka. Awalnya pria itu hanya menatap ke arah anak-anak itu, kemudian tangannya menjulur ke arah Dusyan seakan memintanya bersalaman.
Dusyan menjulurkan tangannya, mencoba membalas salam dari pria itu.
"Saya Joko, saya dihubungi Awwalim bahwa kalian akan datang ke mari," ucap Pak Joko dengan bibir merah kehitamannya yang pecah-pecah.
"Saya Dusyan, dan mereka teman-teman saya .…" Dusyan menunjuk teman-temannya yang lain, serentak mereka semua ikut bersalaman.
Mata Pak Joko beralih menatap Nina. "Kamu terkejut dengan rumah saya?"
Nina menggaruk kepalanya yang tak gatal, ia merasa tak enak. "E-enggak kok, Pak!"
Pak Joko tersenyum tipis. "Maaf jika tak ada penyambutan. Anda semua datangnya sangat mendadak, saya tidak diberitahu Awwalim soal ini."
Dusyan tersenyum canggung. "I-iya, Pak tidak masalah."
"Masalahnya itu kalau kita enggak ada tempat tidur, iya enggak guys!" sahut Arif.
"Tidak ada tempat tidur!" balas cepat Pak Joko.
Arif melongo hebat. Nina menyenggol tubuh Arif. "Kamu sih Rif, kan jadi beneran enggak ada tempat tidur!"
Rahman mendorong pelan tubuh Arif. "Tau lo!"
"Saya akan sediakan beberapa kasur kecil untuk tidur. Mungkin saya akan mintakan di balai desa." Pak Joko tersenyum sumringah. Ia ingin mengusahakan yang terbaik.
Batin mereka alhamdulilah.
Pak Joko meminta semuanya masuk ke dalam. Perlahan, mereka berjalan ke arah pintu. Di depan pintu, mereka melepas sepatunya, kemudian duduk di kursi meja tamu.
Pak Joko masuk ke dalam, kelima mahasiswa itu hanya diminta menunggu sebentar.
Selang lima menit Pak Joko keluar membawa enam gelas cangkir es teh di nampannya. Arif yang merasa haus langsung tersenyum sumringah. "Akhirnya ada air es juga! Minimal es buahlah. Tapi yawes enggak masalah."
Pak Joko meletakkan nampan itu di meja. Satu persatu es teh itu diserahkan. Pak Joko kemudian duduk, mengambil satu gelas dan menyeruputnya. "Silakan di minum!"
Arif yang pertama mengambil. Ia langsung menyeruput teh itu dengan cepat. Hanya hitungan detik sudah habis. Yang lain hanya melongo dibuat malu.
Rahman geleng-geleng. "Buat malu aja lo!"
Arif tersenyum tipis. "Maaf, namanya juga haus."
"Setelah ini, saya akan mengantar kalian ke kamar yang sudah saya sediakan!" seru Pak Joko, kemudian berdiri dan pergi.
~*~
Oke ini baru awal, penasaran sekanjut??
Ikuti, share, dan vote ya!
Sidoarjo, 9 Juni 2023
Authormu 💛
KAMU SEDANG MEMBACA
Hantu Musala: Imam (SELESAI)
Horror(BILA PLAGIAT DIKENAKAN PIDANA PENJARA) (#1 Paranormal 30/7/23) (#45 Setan 3/8/23) (#26 Hantu 1/10/23) (#4 Novelislami 30/7/23) (#10 Horror 14/11/23) Kisah Urban Legend di salah satu desa di Surabaya. Hantu Musala (Musholla) sering meneror korbannya...