15. Waktu Magrib

295 32 0
                                    

Vote sebelum baca!

~*~

Allahu Akbar … Allahu Akbar …

Dusyan mendengar suara itu dari ponselnya. Pria itu sadar, langit mulai temaram di ufuk barat. Binar jingga membawa matahari turun dari puncak singgasananya.

Sebelum ini mereka semua masih melakukan kegiatan belajar dan mengajar. Anak-anak pun masih bertahan dengan khusyuknya. Mereka yakin, mereka pasti bisa mengaji. Ini membuat kelima mahasiswa itu tersenyum lega.

"Kak, itu suara adzan, ya?" tanya Fajar, salah satu murid yang belajar di sana.

Dusyan mengangguk. "Iya, Dik. Kamu baru tahu?"

Fajar tersenyum kecil. "Seumur-umur saya baru mendengar suara ini, Kak. Setelah Kakak ajarkan tadi, Fajar jadi ngerti kalau ini suara adzan. Tadi kan barusan kakak ajarin?"

Aisyah tersenyum kecil kepada anak itu. "Kalau ada adzan tandanya apa, Adik-adik?"

Semua kompak berkata, "SALAT!"

Dusyan mengajak mereka semua salat. Ini mungkin akan menjadi salat magrib pertama mereka. Mereka excited banget sama kegiatan ini.

Berhubung takut waktu magrib habis, Dusyan dan yang lainnya keluar untuk berwudu. Keadaan musala kosong saat ini. Untuk pria tetap berada di tempat wudu pria begitu juga untuk wanita tetap di tempat wudu wanita.

Dusyan dan Arif selesai wudu duluan. Keduanya memasuki musala lagi. Aneh. Ada yang sudah siap menjadi imam di depan. Dusyan mengernyit heran, tapi ia tersenyum.

Mata Dusyan berbinar. "Ada yang mau jadi imam? Ini kemajuan besar?!"

"Syan, aku kok ngerasa aneh, ya? Tadi kan enggak ada bapak-bapak yang ikut ngaji bareng kita?" tanya Arif kemudian mengusap tengkuknya berkali-kali.

Dusyan tersenyum kecil. "Lihat pakaian orang itu! Sangat sopan seperti orang Arab. Kaffiyeh yang dipakainya menandakan dia tulus untuk menjadi imam. Siapa tahu ada yang sadar akan pentingnya salat? Kita enggak tahu kan hidayah datang dari mana saja!"

Pria itu hanya duduk di mihrab imam. Dusyan melihat tangan pria itu menari-nari memainkan tasbihnya. Dusyan hanya tersenyum kecil, ia berdecak kagum dengan ketulusannya. Namun satu hal yang Dusyan tak mengerti, Dusyan tidak bisa melihat wajahnya karena sedari tadi orang itu tak menoleh ke belakang.

Anak-anak selesai wudu, langsung mereka berlarian ke sana ke mari, meramaikan musala. Aisyah, Nina, dan kedua ibu-ibu yang ikut ngaji tadi juga tampaknya sudah hadir. Mereka bersiap. Namun mereka sempat heran dengan fenomena yang dilihatnya barusan.

"Nin, kamu mengenal imam itu? Mengapa bukan Dusyan yang menjadi imam?" tanya Aisyah mengernyit nanar.

Nina menggelengkan kepalanya. "Aku tak tahu, Aisyah. Mengapa bukan Dusyan? Siapa pria itu? Tampak rapi, sopan, dan aku merasakan hawa positif di sini."

"Pakaiannya seperti orang Arab, saya harap saya dapat melihat wajahnya. Tapi, mengapa ia sama sekali tidak menoleh ke belakang?" Aisyah menggaruk kepalanya yang nanar.

"Iya, Aisyah. Aku juga ingin melihat wajahnya. Kita seperti asing melihat orang itu," balas Nina tersenyum kecil kepada Aisyah.

"Syukurlah ada yang mau menjadi imam salat. Mungkin Allah sengaja mengirimnya untuk memperlancar kita," sahut Aisyah balas tersenyum.

Rahman yang baru masuk langsung melirik imam itu. Pria judes itu mengendus, mencium aroma yang sama seperti yang pernah ia cium sebelumnya. Aroma melati yang wanginya sampai ke luar musala. Rahman memastikan ini benar karena pada saat wudu tadi, Rahman merasa aroma itu menusuk hidungnya.

Hantu Musala: Imam (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang