19. Tuduhan

257 31 0
                                    

Vote sebelum baca!

~*~

Keempat mahasiswa yang tersisa hanya bersandar di dinding ruang tamu yang di depannya sudah ada kepala Dusyan ditutupi sebuah kain coklat batik Surabaya.

Mereka tidak bisa tidur hari ini. Mengantuk saja tidak sama sekali. Solidaritas yang kuat antar mereka membuat ketika kehilangan satu maka yang lain akan benar-benar mengenang masa-masa yang indah, tentang kebersamaan dulu.

Nina duduk di deretan tengah, matanya tak berkedip, tatapannya kosong. Dalam lamunannya itu, Nina sempat terpikir hal-hal realistis tentang kematian Dusyan yang tiba-tiba. Di mana badan Dusyan? Tubuhnya bahkan sampai sekarang tidak ditemukan. Aku takut jika Dusyan adalah korban mutilasi. Dan Pak Joko? Beliau melarangku lapor ke rumah. Apa alasannya? Mengapa aku enggak boleh lapor? Aku memang sudah curiga dari awal tentang motif pembunuhan ini.

Nina terus menatap Pak Joko. Pria itu hanya diam saja, tapi bajunya basah akibat keringat yang tak henti bercucuran.

Sudah lama Dusyan tak dikuburkan. Entah menunggu apa. Dusyan pasti sedang sedih di sana. Tak lama sebuah keranda datang dibawa oleh mobil pengangkut barang warna hitam. Keranda dengan kain hijau yang menutupinya itu segera diturunkan.

Aisyah merasa bersalah telah mengizinkan Dusyan agar dikuburkan di desa ini. Bagaimana lagi? Pak Joko melarang mereka semua mengatakan ini kepada semua orang di kampus apalagi keluarga Dusyan.

Kepala Dusyan yang sudah dipakaikan pakaian putih terakhirnya, langsung diangkat dan diletakkan di dalam 'kereta jawa' itu.

Isak tangis datang dari Aisyah. Tak henti-henti air matanya mengalir membasahi kedua pipinya. Aisyah mencoba mengusap air mata itu, tapi tetap tumpah lagi. Ia tak bisa mengontrol apapun yang berhubungan dengan Dusyan. Lagi pula Dusyan adalah sahabatnya, tentu berat bagi Aisyah melepaskan.

Nina juga sama. Wanita ini mencoba tegar dengan menenangkan Aisyah. Wajahnya yang memutih pucat, cukup menjadi pertanda bahwa ia bersedih. Selain itu Nina tak ingin meneteskan air matanya. Sedari tadi air mata Nina ditahan agar tak tumpah, semata-mata ingin menjaga Aisyah tetap tenang. Mereka berdua memutuskan tidak ikut ke pemakaman.

Rahman dan Arif membantu Pak Joko serta Pak Naryo mengangkat keranda itu. Memang tak berat karena isinya hanya kepala saja. Mereka ingin menyelidiki tentang peristiwa ini, tapi tak tahu harus mulai dari mana. Memang, setuju untuk KKN di desa ini adalah awal petaka bagi mereka.

Perjalanan mereka kini tak berlangsung lama. Makamnya kebetulan tak lebih jauh dari gerbang masuk. Karena kebetulan ini, Rahman dan Arif yang mengangkat keranda sampai lebih cepat.

Keranda itu diturunkan. Sudah ada tukang gali kubur di sana. Sepertinya bukan warga sini. Bahkan saat menyolati tadi, yang didatangkan adalah warga dari luar desa. Entah mengapa warga desa ini tak mau menyolati. Mungkin mereka tak tahu bagaimana tata cara salat jenazah karena memang sedari dulu mereka sudah tak menjalankan perintah agama. Imannya mungkin setipis tisu.

Diam seribu bahasa. Khidmat. Bayu mengibas dedaunan kering. Daun-daun itu jatuh menghujani makam Dusyan. Diiringi nyanyian ayat nan suci, menjadi tanda perjalanan terakhirnya.

Pemakaman ini diwarnai sendu dan tangis. Terpikir oleh mereka tentang sebuah kematian. Manusia pasti akan mengalami kematian, tapi caranya berbeda-beda. Dosa dan pahala, pasti akan ditimbang nanti. Tibalah kini Dusyan yang berakhir di batas masa.

Perlahan, liang lahat itu mulai ditutup. Kafan Dusyan yang semula terlihat, kini sudah tak terlihat lagi. Para warga menghujani makam itu dengan bunga tujuh rupa yang wanginya menyengat.

Rahman dan Arif saling bergandengan tangan, menguatkan. Bagaimanapun Dusyan sudah berteman lama dan mereka KKN di sini sebab dia juga. Tujuan mulianya belum selesai, kini mereka berempat yang harus menyelesaikannya.

"Dusyan datang ke sini dengan tujuan mulia. Tujuan itu belum terselesaikan. Dusyan pergi duluan. Kini kita wajib menyelesaikan misi itu," ucap Arif.

"Lo benar, Arif! Kita harus serius untuk itu. Jangan pernah takut walau korban selanjutnya adalah kita. Ini demi Dusyan!" balas Rahman kemudian tersenyum kecil kepada Arif.

Pak Naryo menatap makam Dusyan. Pria itu tersenyum kecil. Rasa-rasa misinya malahan yang sudah tercapai. Arif dan Rahman menatap Pak Naryo curiga. Pria itu bukannya sedih malah tersenyum. Bahkan tak ada air mata sama sekali yang menetes sedari tadi.

Arif dan Rahman berjalan, ingin segera balik pulang. Langkahnya mengibas pasir hingga berterbangan. Sepanjang perjalanan matanya masih kosong, memikirkan tubuh Dusyan yang sampai sekarang hilang.

Rahman menatap Pak Joko kemudian matanya berkaca. "Permintaan Bapak sudah saya turuti. Saya harap, Bapak bisa menuruti permintaan saya kali ini."

Pak Joko menggaruk kepalanya yang tak gatal. "Permintaan apa, Nak?"

"Saya ingin Pak Joko meminta warga mencari tubuh Dusyan yang hilang. Saya tidak akan memaafkan orang yang membunuh dia!" balas Rahman, tangannya mengepal kuat.

Pak Joko tersenyum kecil, kemudian mengacak-acak rambut Rahman. "Akan saya usahakan, tapi saya tidak bisa berjanji."

Arif dan Rahman hanya pasrah mendengar itu. Pak Joko tidak bisa memastikan bahwa tubuh Dusyan akan kembali.

Sesampainya di rumah, Rahman langsung menemui Aisyah. Wajah Rahman yang pucat menandakan dirinya khawatir terhadap wanita itu. Perlahan, Rahman mengusap punggung Aisyah. "Sabar ya, Aisyah!"

Aisyah langsung melepaskan lengan Rahman dengan kasar, kemudian sontak berdiri.  "APA-APAAN KAU! DASAR GENIT. DUSYAN SAJA TAK PERNAH MENYENTUH SAYA SEPERTI ITU?!"

Rahman tertunduk. "Ma-maafin gue, Aisyah. Gue enggak bermaksud—"

Aisyah mendongak, seakan menantang pria di depannya. "APA, HA? TAK BERMAKSUD APA? KAU KAN YANG MEMBUNUH DUSYAN!"

Mata Rahman mendelik. "Gu-gue enggak pernah berpikir seperti itu, Aisyah. Gue enggak berani!" 

Aisyah mendorong tubuh Rahman kasar. Padahal selama ini Aisyah dikenal sebagai sosok yang lembut. Kali ini tidak, napas Aisyah memburu seakan sudah kerasukan setan. "Enggak berani kamu bilang? Kamu kan yang selalu bermusuhan dengan Dusyan? Kamu kan yang selama ini menghina Dusyan? Kamu kan yang selama ini lirikannya selalu tak enak dengan Dusyan?"

Nina melihat Aisyah tak bisa mengontrol emosinya. Wanita itu langsung mendekap Aisyah dengan kuat. "Sabar, Aisyah. Kau tidak boleh menuduh Rahman seperti itu. Dia sama-sama sedihnya seperti kita."

Aisyah menggelengkan kepalanya tak setuju. "Tidak Nin, dia hanya bersandiwara. Dia senang Dusyan mati. Dia selalu membuat Dusyan sedih. Saya tak habis pikir, orang macam Rahman bisa hidup di dunia ini. Dia hanya memikirkan nafsunya. Dia tak memikirkan Dusyan sama sekali!"

Aisyah perlahan meneteskan air matanya, kemudian Aisyah terjatuh. Untungnya ada Nina yang menopang tubuh wanita itu.

Rahman meneguk salivanya. Ia hanya dapat menatap Aisyah melontarkan kata-kata kasarnya. "Gu-gue minta maaf soal itu. Tapi gu-gue enggak pernah berpikir soal bunuh teman sendiri!"

Rahman langsung pergi. Air matanya perlahan menetes membasahi pipi sawo matangnya. Ia berlari, menuju kamar dan mengunci pintu kamar itu.

Arif menyusul Rahman. Arif mencoba menggedor-gedor pintu kamar, tapi tak ada respon dari Rahman yang ada di dalam.

Rahman memeluk kedua lututnya, menangis sejadi-jadinya. Mengapa lo nuduh gue, Aisyah. Kalau Arif atau Nina yang nuduh gue, gue enggak masalah. Tapi lo? Lo yang gue sayang, lo nuduh gue kayak gini? Gue sakit banget, Aisyah! Gue ngerasa bersalah sama lo!

~*~

Aduh Aisyah kok jadi gini ya':
Kalau kamu suka, vote ya^^
Komen di sini apakah mau lanjut ?
Sidoarjo, 24 Juni 2023
Authormu 💛

Hantu Musala: Imam (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang