9. Diskusi Warga

359 42 2
                                    

Vote sebelum baca!

~*~

Pukul 13.00. Tenggorokan Arif mulai kering. Akhir-akhir ini memang cuaca sedang panas. Arif terbangun dari tidurnya. Ia mencoba duduk dulu, menenangkan pikirannya.

Arif menarik napas, kemudian membuangnya. Ia mulai berpikir, di mana ia harus mendapatkan air. Arif teringat Pak Joko meletakkan air mineral dalam sebuah ceret di meja dekat ruang tamu.

Arif mulai berdiri, ia menopang kepalanya yang nanar sambil berjalan sempoyongan. Keadaannya masih belum sadar 100%. Sebelum keluar, ia mengambil botol minumnya dulu yang kosong.

Tanpa sadar ia sudah berada di ruang tamu. Matanya lirik sana sini mencoba mencari air itu. Akhirnya ketemu. Segera Arif melancarkan aksinya. Ia memegang ceret itu, kemudian berusaha ia miringkan. Diisilah botol itu beberapa menit sampai terisi penuh.

Arif berpikir, dalam Islam seharusnya minum itu duduk. Kebetulan di ruang tamu banyak kursi. Dengan cepat Arif duduk di sebuah kursi. Ia meneguk dua kali air itu sampai Arif merasa lega.

Arif mendengar sebuah keramaian di luar. Seperti ada yang aneh dengan pembicaraan itu. Namun dari sini Arif tak mendengar jelas apa isi percakapannya. Hanya terdengar seperti dengung.

Arif memutuskan keluar rumah. Itung-itung menyegarkan diri. Lagi pula ia sudah tidak mengantuk lagi.

Arif terkesiap dengan apa yang dilihatnya. I-itu mereka lagi ngapain? Arif bertanya-tanya dalam batinnya.

Warga desa terpantau sedang berkumpul. Dengan penerangan berupa lilin seadanya, mereka tampak bergurau satu sama lain.

"Aneh nih, jangan-jangan mau main petak umpet! Nih warga enggak ajak-ajak, ya!" seru Arif.

Arif hanya berpikir random tentang permainan apa saja yang dilakukan warga itu. Bahkan Arif sempat berpikir mereka bermain monopoli. Well, sebelum akhirnya Arif memutuskan untuk mendekat.

"Arif, pokoknya kamu harus ikutan! Aku Dora? Di mana? Di mana?" Arif hanya mempraktikkan bagaimana Dora bermain petak umpet dengan sweeper.

Pria berhidung mancung itu mencoba mengendus, seakan akan mencoba membaca pikiran mereka. Ia kini berada di balik semak.

Semakin dekat Arif semakin mendengarnya dengan jelas. Arif melihat Pak Naryo menyerahkan sebuah foto kecil kepada salah seorang warga. Kepala desa itu tersenyum sadis.

"Kita harus membunuh orang ini!"

Bagai petir yang menyambar di siang bolong, Arif tak berhenti membuka mulutnya saking terkejut mendengar kata-kata yang dilontarkan Pak Naryo. Ma-maksudnya membunuh siapa? Seketika senyumku menjadi palsu.

Arif gemetaran, tubuhnya mendadak tak kuat berjalan lagi, tapi ia memaksanya tetap jalan. Pak Naryo di sana masih tertawa sejadi-jadinya entah menertawakan apa dan apa yang dibahas tadi.

Arif segera berjalan pelan meninggalkan kerumunan itu—takut ketahuan—kalau ketahuan bisa ditangkap.

Arif sampai di rumah. Berlari dengan cepat, membuka pintu dengan kasar, kemudian berhenti. Menarik napas, kemudian membuangnya. Hidungnya rada mengi, ia ngos-ngosan, keringatnya tak henti-hentinya jatuh.

"DUSYAN, RAHMAN, AISYAH, NINA!!"

Teriakan itu membangunkan satu kamar. Awalnya Dusyan terbangun lebih dahulu karena memang ia agak sensitif kalau mendengar suara. Kemudian giliran Aisyah dan Nina yang terbangun. Rahman menjadi peserta terakhir yang harus bangun karena kebiasaannya tidur agak larut.

Hantu Musala: Imam (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang