Bangun! Bangun!
Suara itu membangunkan warga yang masih tertidur lelap akibat semalaman melakukan upacara penyambutan.
Tiga warga keliling desa termasuk Pak Naryo. Berpegangkan tiga kentongan dan alatnya pula mereka membunyikan suara bising. Entah apa yang terjadi, seruan untuk segera kumpul di balai desa menjadi sebuah tanda tanya besar.
Saking kerasnya suara itu sampai terdengar ke kamar kelima mahasiswa KKN. Pak Joko, yang menyadari ada panggilan istimewa dari RT segera ingin secepatnya berkumpul di balai desa. Sebenarnya cukup aneh juga karena RT di sini bisa menjabat dua jabatan, RT sekaligus kades.
Arif yang pertama terbangun. Disambut uap panas darinya. Jujur, ia sangat kecapekan karena semalaman ia baru tidur jam lima pagi. Itu karena hari ini banyak nyamuk membentuk koloni yang ingin mengisap darah manisnya.
Arif bangun, yang lainnya terbangun. Pak Joko datang ke kamar mereka dan menggoyangkan tubuh keempat mahasiswa yang lain.
Setelah mereka bangun—mereka bahkan belum menggenapkan nyawanya—Pak Joko sudah memintanya cepat-cepat bersiap.
Rahman menghela berat. Tatapannya beralih ke arah Dusyan yang baru saja berdiri sedangkan ia berdiri saja masih belum sanggup.
Dengan keterpaksaan, akhirnya mereka semua berdiri. Satu persatu ke kamar mandi dan mencuci mukanya. Beberapa yang lain berkaca supaya penampilannya enggak jelek-jelek amat.
Pak Joko sudah menunggu mereka di luar. Ia menatap mahasiswa itu lesu, napasnya panas, matanya berapi-api. Ia menghela berat. "AYO CEPAT!"
Kelima mahasiswa itu merasa gemetar. Melihat wajah Pak Joko yang seperti itu, harusnya mereka sadar diri untuk bersiap lebih cepat.
Pak Joko menuntun mereka menuju balai desa. Seperti biasa, kelima mahasiswa itu ditempatkan pada kursi emas tempat paling depan sendiri.
Warga menyoraki mereka. Senyum mereka sumringah. Ini membuat kelima mahasiswa itu curiga.
"Apa yang terjadi? Mengapa mereka menyoraki kita?" tanya Nina heran.
"Mereka mirip anjing gila yang tak terkontrol!" seru Rahman.
Dusyan menggelengkan kepalanya "Stay positive aja. Kita belum tahu yang sebenarnya terjadi."
Pak Naryo mulai naik mimbar paling atas. Ia menghadap ke seluruh warga desa. Pria itu disambut teriakan warga yang tak sabar mendengar berita.
"Wahai warga desa. Jika kau tak beriman maka cobalah beriman. Jika kau tak pernah ibadah, cobalah ibadah. Apapun agama kalian, kalian perlu jalankan. Sebelum ini, 100% dari kita adalah muslim, lanjutkan tren itu wargaku!" seru Pak Naryo disusul sorakan lebih keras dari warga.
Dusyan dan kawan-kawannya tersenyum sumringah. Ini adalah tren positif yang dimulai dari kepala desanya sendiri.
"Ini pasti akibat permintaan kita kemarin. Semoga kita berhasil membuat mereka beriman!" seru Dusyan disusul anggukan Aisyah.
Pak Naryo semakin mengeraskan suaranya. "Kami ingin berubah. Untuk berubah, kami ingin mencari imam baru, kami akan renovasi musala. Jika ada di antara kalian yang ingin menjadi imam musala, silakan ajukan diri!"
Dusyan tersenyum sumringah. Ia ingin mengangkat tangannya tapi ia ragu.
"Dusyan, ini kesempatan lo buat ambil hati warga!" seru Rahman.
Dusyan mengangguk setuju menatap Rahman. Rahman ikut tersenyum tipis.
Perlahan Dusyan mengangkat tangannya. Seketika lirikan seluruh warga termasuk Pak Naryo beralih ke arah Dusyan. Pria itu meneteskan bulir keringat yang tak banyak dari pori di wajahnya. Ia sedikit gugup.
"Akhirnya! Dialah imam kita. Hidup Imam!" Pak Naryo dengan teriakannya mengafirmasikan warga untuk mengikutinya.
"Hidup!" sahut para warga.
"Hidup Dusyan, imam kita!" seru Pak Naryo lagi, kali ini lebih keras.
"Hidup!" sahut warga.
Nina menggaruk kepalanya yang tak gatal. Tak habis pikir semeriah ini dan sesenang ini mereka menyambut imam musala baru.
"Mengapa aneh sekali, warga mendadak senang memiliki imam baru. Sebelum ini bahkan mereka memarahi kita karena membunyikan suara bedug!" seru Nina. Wajahnya pucat, agak khawatir.
"Mungkin ini hidayah dari Allah. Seharusnya kita bersyukur hidayah datang secepat ini," pikir Dusyan positif.
"Hidayah? Hidayah enggak wajar?!" sahut Nina cepat.
"Mikir yang positif aja deh lo, Nin!" ketus Rahman.
Nina menghela berat. "Aku ngerasa ada yang janggal. Kamu harusnya percaya! Firasat perempuan enggak pernah salah!"
"Laki-laki selalu salah, fix no debate!" sahut Arif.
"Bukan gitu, Arif …." Nina ingin mencoba menjelaskan lebih banyak tapi Nina bingung harus mulai dari mana.
"Tapi Nina sepertinya benar. Warga tidak mungkin secepat ini dapat hidayah. Sepertinya firasat kami sama," komentar Aisyah.
Dusyan mengernyit heran. "Aisyah? Ka-kau ikut-ikutan ide Nina? Aku enggak nyangka kamu begitu."
Aisyah menggeleng. "Bu-bukan seperti itu … Ya sudah, coba berpikir positif saja untuk sekarang ini."
Salah satu warga berteriak, membuat ide lagi. "Bagaimana jika kita salat duhur sekarang? Tentu diimami imam baru kita."
Pak Naryo mengangguk setuju, sementara kelima mahasiswa itu kebingungan. Baru kali ini warga sendiri yang memintanya salat. Segera mereka semua beranjak untuk pergi salat. Bagaimana tidak? Warga seakan memaksanya. Dusyan yang masih berpikir positif menuruti mereka untuk menjadi imam salat duhur.
"Tidak mungkin tiba-tiba mereka semua menurut!" Nina menggaruk kepalanya bingung.
~*~
alhamdulilah bisa up lagi. Tetap support aku biar bisa konsisten ya!
Komen jika kamu suka sama cerita ini :'
Andong pocong baru tamat, kalau kamu mau ceritanya, bisa baca disebelah sebelum terbit dan partnya dihapus.Sidoarjo, 13 Juni 2023
Authormu 💛
KAMU SEDANG MEMBACA
Hantu Musala: Imam (SELESAI)
Horror(BILA PLAGIAT DIKENAKAN PIDANA PENJARA) (#1 Paranormal 30/7/23) (#45 Setan 3/8/23) (#26 Hantu 1/10/23) (#4 Novelislami 30/7/23) (#10 Horror 14/11/23) Kisah Urban Legend di salah satu desa di Surabaya. Hantu Musala (Musholla) sering meneror korbannya...