18. Kepala Manusia

296 29 0
                                    

Suara ini begitu mengganggu. Bersumber dari ponsel Dusyan yang sebelum pergi ia letakkan pada sebelah kanan Arif. Kebisingan itu membuat kamar yang semula hening malah ramai. Arif perlahan membuka matanya, masih belum melihat dengan jelas. Ia duduk, kemudian mencoba mengucek matanya yang masih buram. Setelahnya pria itu mencoba meregangkan pergelangan tangannya. 

Arif menguap. Tatapannya tak sengaja mengarah ke arah ponsel milik Dusyan. Loh ini kan ponsel milik Dusyan? Oh astaga, sudah jam 12 siang! Aku kesiangan!

Arif mendelik shock. Tak lama pria itu meraba ponsel Dusyan dan menekan tombol 'matikan alarm.' 

Arif menghela. Perlahan matanya mulai melirik sekelilingnya. Teman-temannya masih pada tidur. Pria itu menggelengkan kepalanya pasrah. 

Tak lama Aisyah bangun, membuat Nina juga ikutan bangun. Aisyah sadar karena ponselnya sedari tadi mengeluarkan suara azan. 

Arif mulai melihat samping kirinya. Dusyan tak ada di tempat tidurnya. Pria itu hanya menghela. Berpikir mungkin saja Dusyan masih salat duhur dan tak ingin mengganggu tidur teman-temannya yang lain. 

Rahman terbangun setelah Arif mencoba menggoyangkan tubuhnya. Hanya diingatkan kata salat saja, Rahman sudah mulai bangun. Memang circle ini adalah circle yang benar-benar kuat imannya. 

Aisyah berdiri, kemudian menuju ke arah Arif. "Arif, di mana Dusyan?"

Arif menggelengkan kepalanya tak mengerti. "Aku juga heran, tapi mungkin dia salat duluan dan sengaja tak membangunkan kita."

"Dusyan salat duluan? Setahuku dia selalu menunggu kita dan menjadi imam salat," sahut Nina. 

"Mungkin dia lagi manjat pohon bareng temannya!" seru Arif. 

Aisyah mengernyit. "Temannya?"

Arif mengangguk, "Iya, UU AA."

Candaan Arif disambut tawa dari semuanya. Mereka tak tahu yang ditertawakan kini telah tiada. 

Segera setelahnya mereka mulai beranjak pergi dari rumah, berharap Dusyan ada di musala dan menjalankan salat. Mereka bahkan sudah siap peralatan salat. 

Sesampainya di musala, mereka berwudu. Setelah berwudu bahkan tak ditemukan tanda-tanda Dusyan ada di sini. Aisyah mulai pucat, wajahnya tampak khawatir. 

"Tidak ada Dusyan. Lalu ke mana Dusyan?" tanya Aisyah. 

Rahman melirik Aisyah ketus. "Lo ngapain cari dia terus! Kan ada gue!" 

Rahman mulai tersenyum. Setidaknya ada untungnya buat Rahman ketika Dusyan tak ikut salat kali ini. Dia bisa leluasa membuat Aisyah pelan-pelan jatuh hati padanya. 

Salat dilanjutkan dengan Rahman menjadi imam. Siang yang panas ini mendadak dingin, langit menghitam. Ada yang aneh. Tak biasanya seperti ini. Mereka tak mempedulikan apa-apa selain Dusyan. 

Setelah salat mereka kembali ke rumah. Aisyah mencoba cari Dusyan di ruang tamu, kamar, dan dapur tapi tak ketemu. Napasnya mulai terengah-engah, jantungnya berdebar kencang, keringatnya mulai menetes dari pelipis matanya itu. 

Rahman mencoba menenangkan Aisyah. "Sudahlah Aisyah, ntar dia juga pulang kok! Mungkin ada urusan di balai desa?"

Aisyah menatap Rahman dengan tatapan sayu. Matanya berbinar, berkaca-kaca. "Firasat saya tidak enak Rahman. Entah mengapa ada yang mengganjal di hati ini."

Rahman menghela berat. Ternyata Aisyah sedekat itu dengan Dusyan.

Arif tertawa kecil. "Heh, Aisyah! Jangan cosplay jadi hantu, deh! Wajahmu pucet banget. Biasa aja kali. Tunggu sampai malam, kalau gak balik kita cari, oke??"

Hantu Musala: Imam (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang