17. Kematian Pertama

327 32 0
                                    

Vote sebelum baca! Komen juga yak!

~*~

Dusyan masih melek setelah kejadian itu. Sementara keempat sahabatnya yang lain sudah tertidur karena seharian menunggu Dusyan siuman. Siapa sangka akan secapek ini menunggu Dusyan sadar?

Perdebatan tadi sudah ditutup oleh kantuk mereka. Hari ini, setelah Dusyan benar-benar pulih mereka baru tidur sekitar jam lima pagi.

Dusyan mengernyit, seperti mendengar sesuatu. Suaranya sangat intens sehingga bermacam pikiran mencoba menebak-nebak, siapa yang ada di luar? Ya, suara ketukan pintu yang agak keras dari luar rumah.

Dusyan sempat melihat teman-temannya yang tertidur pulas. Pria itu menghela. Sudah tak ada yang sadar lagi selain dirinya. Seharusnya Dusyan yang membuka pintu itu.

Langkah kakinya perlahan menuju pintu rumah milik Pak Joko. Tangannya terjulur menyentuh gagang pintunya. Perlahan decit pintu itu berbunyi menggelitik telinga.

Dusyan semakin heran dengan apa yang dilihatnya. Dua orang di depan ini menatapnya dengan lirikan aneh. Mata mereka yang besar menyempit, melirik tajam ke arah Dusyan.

"Kau Dusyan, kan imam baru kami?" tanya salah satu pria dengan tubuh lumayan gemuk itu.

Dusyan mengangguk. "Saya Dusyan, ada apa? Apa yang terjadi dengan musala?"

Pria itu menggelengkan kepalanya. "Musala baik-baik saja, Tuan Imam. Saya diutus kepala desa untuk membawa kamu menghadap beliau."

Batin Dusyan bertanya-tanya. Ia agak bingung karena kepala desa tak biasanya memanggil dia sendiri pagi-pagi.

Pria itu menjulurkan tangannya ke arah Dusyan. "Mari ikut saya!"

Dusyan tak langsung membalas uluran tangan itu. "Ke-ke mana?"

"Ke Pak Naryo, kepala desa kita. Ayo, kita sudah ditunggu!" seru pria itu.

Dusyan tersenyum kecil. Sebelum melangkah, pria itu masih menatap rumah Pak Joko seakan tak ingin meninggalkannya. Sempat ragu untuk berangkat sendiri, akhirnya Dusyan mantap ikut dengan kedua pria itu.

Sebelum berangkat Dusyan mencoba merapikan pakaiannya yang saat ini ia pakai. Pria itu masih memakai baju ngaji yang kemarin dipakai.

Ketiganya kini sudah mulai berjalan. Dusyan menopang kepalanya yang nanar. Panasnya pagi membuat kepalanya agak pening.

Perjalanan terasa jauh. Dusyan merasa ada yang aneh. Ini bukan jalan menuju kantor kepala desa.

"Tunggu, ini mau ke mana? Bukankah arah kantor sebelah sana?" tanya Dusyan.

Dusyan menghentikan langkah kedua pria itu, kemudian menunjuk arah kantor kepala desa yang benar.

Kedua pria itu tersenyum tampak gigi-gigi kuningnya. Mereka tersenyum picik. Segera mereka berlari dan menangkap Dusyan.

Dusyan gemetar. Badannya tidak bisa ia gerakkan karena ditahan mereka berdua.

"MAU APA KAMU?!" sentak Dusyan, dadanya berdebar.

"Ikut saja!" balas pria yang menangkapnya.

Dusyan tak berhenti-hentinya berkeringat. Jantungnya berdebar dua kali lipat ketika tahu niat para penjahat itu. Napasnya memburu. Ia ingin sekali berteriak, tapi tangan pria itu menghalangi dia berbicara.

Dusyan memberontak, kedua penjahat itu kesulitan menangani Dusyan. Kebetulan ada sosok ketiga di belakang mereka. Segera sosok ini mengangkat balok kayu satu meter, kemudian memukulkannya ke kepala Dusyan hingga Dusyan tak sadarkan diri.

Hantu Musala: Imam (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang