7. Penyambutan Sakral

414 44 2
                                    

Vote sebelum baca, komen, share!

~*~

Malam ini Pak Joko meminta kelima mahasiswa itu agar bersiap. Pak Joko dan beberapa warga desa telah menyiapkan sebuah sambutan. Walau warga desa agak kurang suka dengan perilaku mereka, Pak Joko yang memiliki pengaruh atas desa itu membuat warga percaya bahwa niatan kelima mahasiswa ini baik.

Tepatnya purnama pertama, warga desa perlu menyambut mereka dengan ritual yang amat sakral. Saking sakralnya Pak Joko meminta mereka berlima berpakaian putih seragam layaknya makna suci itu sendiri.

Bulan kini bertakhta di puncak singgasananya. Ditemani sang bintang yang berkelip, tersebar di sepanjang desa itu. Entah sebab apa, aungan serigala sering muncul bahkan ayam yang tengah tidur terbangun membuat suara kebisingan. Ini jarang terjadi. Ayam yang berkokok di tengah malam. Ada apa ini? Kelima mahasiswa itu sempat menaruh kecurigaan.

Kelima mahasiswa itu dituntun Pak Joko untuk pergi ke balai desa. Dengan perbekalan seadanya—sebuah tas cangklong dan botol yang telah diisi air—mereka pergi dalam rasa lelah yang cukup besar.

Semakin dekat, suara-suara musik semakin keras bunyinya. Di balai itu layaknya ada pesta, sinarnya menerangi malam yang panjang. Kelima mahasiswa itu sempat dibuat silau sepanjang perjalanan. Apalagi setelah sampai. Malahan mereka harus adaptasi karena matanya benar-benar langsung buram karena terkejut melihat sinar secara langsung.

Mereka kini telah berada di balai desa. Mata Dusyan melirik beberapa pria yang minum alkohol di pojok sana. Mereka seperti tak tahu dosa. Memang pendidikan agama di desa ini sudah separah itu.

Dan apa yang Aisyah lihat? Wanita-wanita yang rambutnya ditarik oleh dua sampai tiga pria. Miris hatinya. Bergetar jiwanya. Perlahan air mata Aisyah basah membasahi pipi. Ingin sekali Aisyah mengingatkan betapa pentingnya kerudung seperti yang Nina dan ia pakai sekarang.

Sebagai seorang wanita, hati Nina pun sempat dibuat kalut. Apalagi setelah melihat wanita yang dipecut, dipaksa menari dalam keadaan hanya memakai pakaian dalam saja.

Beberapa wanita yang lumayan terhormat serendah-rendahnya akan menari di panggung balai desa. Wanita-wanita itu menampilkan tarian lenggang. Tari Lenggang adalah tarian selamat datang yang khas dari Surabaya, Provinsi Jawa Timur. Tarian ini dimainkan oleh penari wanita yang menari dengan gerakan yang indah dan juga anggun.

Rahman meneguk salivanya, berharap hanya mimpi. "Bagaimana bisa wanita diperlakukan seperti ini?"

Aisyah mengangguk, "Ini fase yang luar biasa parahnya sehingga wanita sudah tak punya harga diri."

"Aku ingat bagaimana Kandungan Q.S. An-Nur/24:31. Dalam ayat ini, Allah Swt. berfirman kepada seluruh hamba-Nya yang mukminah agar menjaga kehormatan diri mereka dengan cara menjaga pandangan, menjaga kemaluan, dan menjaga aurat. Namun di sini, apa yang kita lihat adalah kebalikan dari tafsir itu sendiri," sahut Dusyan penuh yakin.

"Apa yang mereka lakukan? Mengapa mereka melakukan ini? Ada apa ini sebenarnya? Mengapa wanita harus telanjang? Apakah mereka tidak berontak? Mana rasa malunya?" tanya panjang lebar Nina.

"Goblok?! Lo lihat gimana mereka dengan senyuman itu seakan ikhlas diminta menari dan menghibur para pria. Setelah ini mungkin …." Rahman terhenti.

Dilanjutkan Arif. "Main enjot-enjotan maksudmu, Man?"

Rahman menepuk jidatnya. "Gue bahkan enggak mikir gituan. Setelah ini mungkin mereka bakal disiksa di rumahnya sendiri."

Pak Joko datang lagi setelah tadi pergi sebentar menemui Pak Naryo dan mengobrol dengannya. Pak Joko ingin meminta izin agar mahasiswa itu bisa menyaksikan beberapa penampilan yang seru—menurut mereka.

Kelima mahasiswa itu diminta duduk di lima kursi emas yang sudah tersedia khusus untuk mereka. Aneh sekali, kami hanyalah tamu biasa tapi sambutannya luar biasa. Ini kursi emas tidak pernah aku bayangkan sebelumnya! Dusyan hanya membatin sedari tadi, begitu juga keempat lainnya.

Nina melihat sebuah pohon beringin berdiri dengan gagahnya. Daun-daunnya hijau lebat bahkan sepertinya sangat kokoh. Beringin itu tampak sudah sangat lama. Itu ditandai dengan tekstur batang utamanya yang mulai keropos. Nina hanya menggelengkan kepala tak mengerti, ternyata ada hal-hal seperti itu juga di tempat ini.

Hal pertama yang ditampilkan adalah Tari Lenggang. Ini menunjukkan adat Surabaya yang masih dipegang teguh masyarakat tradisional di desa ini. Penampilan kedua diisi oleh teater musikal pertunjukan maskot Sura dan Baya.

Penampilan itu terus berlangsung hingga memasuki pukul 24.00. Di mana purnama sedang gagah-gagahnya. Kelima mahasiswa tersebut merasa terheran-heran karena warga masih asyik menonton pertunjukan yang bahkan mereka sudah mulai bosan karena diulang-ulang.

Tiba-tiba lampu mendadak padam. Warga desa masing-masing mengambil satu lilin dan satu korek api. Dinyalakanlah lilin itu. Membuat semua yang terlihat hanyalah api yang menyala terang.

Pak Joko mendampingi mereka berlima dari jarak agak jauh untuk menghargai privasi mereka.

Keanehan mulai muncul kembali. Aroma itu datang. Ternyata kabut mulai muncul. Kabut ini bukan embun atau kabut pagi hari, tapi kabut bekas bakar-bakar yang aromanya membuat Nina terbatuk-batuk.

Lonceng dibunyikan Pak RT setempat yang sekaligus kepala desa. Lonceng yang sangat keras sehingga mendengungkan telinga mereka berlima yang matanya sudah kirap-kirap.

Warga berbaris. Mereka kemudian mengitari beringin itu sambil membaca mantra yang mereka berlima sendiri tak paham. Satu wanita yang paling depan, ia membawa sebuah sesaji yang dalamnya ada sebuah daging. Ia seakan ingin menyembahkan daging itu ke arah beringin. Hal ini tampak dari perilaku aneh warga yang sempat sujud dua kali di hadapan beringin itu.

Hanya satu yang tak sengaja mereka berlima dengar. "Beringin lambang kesuburan." Mereka bertanya-tanya, apa artinya? Namun percuma saja tiada yang akan menjawab.

Pak Joko mendekati kelima mahasiswa tersebut. Beliau tersenyum ke arah mereka. Ini semakin membuat Nina penasaran. Ada apa di balik senyuman itu?

"Apa yang mereka lakukan, Pak?" tanya Nina menatap Pak Joko linglung.

"Mereka melakukan sebuah ritual sakral. Jika kau menetap lebih lama di desa ini, kau akan perlahan mengerti tradisi kami," balas Pak Joko.

Mata Nina mengernyit melihat sebuah daging yang disembahkan di depan beringin itu, kemudian mereka menyantapnya bersama-sama.

"Mengapa harus ada daging di sana? Teksturnya terlihat aneh. Mungkin karena saya melihatnya agak jauh?" tanya Nina lagi.

Rahman menyenggol Nina. "Ih, lo kepoan banget!"

Pak Joko tersenyum tipis. "Tidak masalah, Nak Rahman. Temanmu ini hanya ingin tahu tradisi kami. Jadi, daging itu sebagai wujud rezeki yang diberikan kepada kami. Kami harus mempersembahkannya."

Sorot mata Nina melihat ke arah gadis yang belum juga habis makan daging potongan miliknya. "Daging apa yang dimakan? Terlihat agak pucat."

Pak Joko tersenyum kecil. "Itu daging sapi!"

Nina hanya membatin. Bukankah daging sapi biasanya merah menyala? Aku biasa memasak daging sapi untuk rendang! Apa ada daging sapi yang pucat? Atau karena mataku saja yang tampak lamur?

~*~

Halo peps! Up lagi nih. Vote, komen, share ya!
Untuk menyemangati author, coba komen dong gimana kesannya baca cerita ini?

Sidoarjo, 12 Juni 2023
Authormu 💛


Hantu Musala: Imam (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang